2. Harga

1102 Kata
“Dia hanya mau satu kali saja, malam ini,” kata wanita muda yang berpakaian minum berwarna hitam ketat. Sedikit saja dia menungging, dalamnya pasti terlihat. Bahkan, buah dadanya tampak sesak. Para pria beruang di sofa salah satu karaoke mahal itu saling pandang, seulas senyum meremehkan terbit. “Seperti apa dia? Hanya sekali? Wah. Dia perawan?” Salah satu pria berkomentar sarkas, tak percaya pada seseorang yang masuk ke dunia gelap gemerlap itu adalah perawan. Sudah pasti pernah ternoda, setidaknya sekali. “Selama lima tahun berteman, baru kali ini dia mau. Sebab dia sangat butuh uang. Jadi, aku tawarkan dengan harga yang tinggi, sebab temanku ini langka.” Wanita itu tersenyum sopan, menyembunyikan keresahannya. Sekali lagi para pria itu saling pandang. Hanya satu yang duduk tenang di ujung sofa. Kemeja hitamnya terbuka dia kancing di atas, memperlihatkan sedikit garis tegas di dadanya. Wajahnya teduh tapi dingin, tatapannya tajam menembus redupnya cahaya lampu. Tidak ada ekspresi di wajahnya yang datar, tapi aura kekuasaan dari caranya bersandar pada sofa saja sudah cukup membuat orang lain segan. Dia meneguk minumannya pelan, berpikir wanita seperti apa yang ditawarkan. Seorang gadis, mungkin? Marketing wanita muda itu sepertinya berhasil membuat para pria penikmat sentuhan itu penasaran akan gadis yang disebutkan. Termasuk sosok yang duduk di ujung sofa itu. Perawan? Ah, mereka membayangkan bagaimana sempitnya memasuki gua yang baru pertama kali terjamah. “Bawa dia ke sini, kami akan tentukan harga sekaligus bonusnya untukmu.” Salah satu pria mengusulkan. Dia tertawa, masih meremehkan sosok perawan itu. Wanita muda itu diam sesaat, berpikir. Sekilas melirik pria di sofa, seakan tertarik pada sosok itu. “Baiklah. Aku akan memanggil temanku dulu. Yang bayarannya besar dan cepat, dialah pemenangnya.” Senyum lebar yang menawan dengan bibir merah menyala itu balik mengejek orang-orang itu. “Deal!” Mereka sepakat. Maka si wanita itu itu keluar dari ruang karaoke itu. Membuang napas panjang begitu pintu tertutup di belakangnya. “Sial. Para singa itu lapar. Madam Choo belum memberikan asupan pada para b******n itu,” katanya mendumel. Dia kemudian menghubungi seseorang yang baru saja ditawarkan. Yang dihubungi mengatakan kalau sudah sampai dan baru saja memasuki bar setelah beradu argument dengan para penjaga. “Ih, basah!” Victoria, gadis itu datang dengan tubuh basah, tapi tak begitu kuyup. “Hujan, Mil,” balas Victoria sambil mengibaskan rambut pendeknya yang basah. Wanita muda itu mengeluh, tapi dia tidak punya waktu. Setelah beberapa lama bekerja di bar itu, dia tahu mana yang menjadi kesukaan pada pengunjung, terutama pada elit yang membuang uang di sana tak peduli seberapa banyak yang mereka buang demi kenikmatan di atas ranjang. “Ya sudahlah. Ayo pergi. Kau sudah di tunggu,” katanya menarik tangan Victoria begitu saja. “Hei, Mil, ayolah.” Victoria protes tapi tidak digubris oleh Milli, temannya itu. Tiba di ruang karoke yang tadi, pintu ruang itu terbuka, menyingkap cahaya redup dan campuran parfum mahal serta asap rokok. Riuhnya percakapan seketika hening saat dia wanita itu masum. Milli mendorong tubuh Victoria memasuki ruangan lebih dulu. Para pria elit berduit yang semula tengah asyik mengobrol mengalihkan perhatiannya ke arah keduanya. Milli tersenyum menggoda dengan langkah percaya diri dia berdiri di tengah ruangan, menjadi pusat perhatian pada pria itu. Beberapa di antara mereka ditemani wanita cantik dan seksi. “Aku kembali, tuan-tuan yang terhormat,” katanya lalu menarik tangan Victoria. Victoria yang penampilannya masih tampak berantakan, setelan formal yang tampak basah menempel di tubuhnya, matanya jelas menunjukan kebingungan. “Ini dia. Teman yang aku bilang tadi,” kata Milli. Beberapa pria yang duduk di sofa mewah langsung saling pandang lalu tertawa pelan. Seorang di antaranya bersandar, menatap dari ujung kepala hingga kaki Victoria dengan ekspresi kecewa. “Serius, ini yang kau maksud, Mil?” Suara berat itu terdengar sinis. “Kukira model atau setidaknya seseorang yang tahu cara berpakaian untuk malam seperti ini. Bukan seseorang yang datang hendak cari kerja,” timpal yang lain lalu tawa pun terdengar bak kor suara. “Tidak mungkin kan seleranya Madam Choo berubah, Mil? Hanya karena hujan di luar membuat seleramu menjadi aneh begini. Lihat, dia masih mengenakan pakaian kerja.” Milli tertawa kecil, terpaksa. Dia berusaha menutupi rasa canggung. “Dia cuma belum sempat ganti. Langsung aku bawa ke sini begitu dia datang,” katanya membela meskipun dia mulai kesal juga. Mungkin temenannya itu tidak akan laku malam ini. Sial. Bonus untuknya pasti melayang. Tapi di sampingnya, Victoria hanya diam, tak membalas apapun. Dia berdiri tegak, membiarkan tetes air hujan jatuh dari rambutnya. Tatapannya datar, nyaris kosong. Dia tidak memohon, tidak juga menjelaskan, hanya berdiri diam seakan lelah untuk peduli pada tatapan siapapun. Andai saja dia tidak didesak, tidak dikejar rentenir, dia tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tempat seperti itu. Namun dia di sana, dengan keterpaksaan. “Kalau begini, harga yang tadi kau tawarkan terlalu tinggi, Mil,” ujar salah satu pria lain. Dia menghembuskan asap rokoknya sambil tertawa renyah. “Kita bisa mendapatkan yang lebih menarik dari harga segitu.” Tawa kembali mengisi ruangan lagi. Tapi hanya satu orang yang tidak ikut tertawa. Sosok pria yang duduk di ujung sofa itu memperhatikan Victoria sejak dia memasuki ruangan. Dia tidak mengatakan apapun, hanya memutar perlahan gelas di tangannya. Matanya tajam penuh penilaian. Senyum miringnya dia sembunyikan saat menyesap minuman. Merasa tidak asing dengan gadis itu. Dalam diam, sesuatu di dalam dirinya bergeser. Dia tidak melihat wanita yang acak-acakan atau tidak menarik. Dia hanya melihat seseorang yang sedang berusaha tetap berdiri meski semuanya tampak runtuh. Dan dia sadar gadis itu adalah sosok yang sempat menciumnya secara sembarang di basement perusahaan. Sementara yang lain masih tertawa, pria itu bersandar, bibirnya menyunggingkan senyum samar. “Biar aku yang menilai,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi mampu membuat ruangan seketika hening. Semua mata beralih padanya. “Alex, apa maksudmu?” tanya salah satu pria yang cukup mengenal dirinya. Alex Valendra, sosok yang sejak tadi diam dan jadi pengamat itu hanya selalu hadir di sana tanpa bermain wanita. Jelas, apa yang dia katakan barusan mengejutkan seisi ruangan. Tapi Alex tidak mengatakan apapun, hanya berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri Victoria yang sepertinya belum menyadari bahwa pria yang datang padanya itu adalah dari permainan yang dia mulai secara tidak sengaja. Milli menelan ludahnya gugup. Alex hanya menatap Victoria yang masih tak peduli. Ada kilatan sesuatu di matanya, minat, hasrat dan mungkin, rencana. “Aku yang akan mengambilnya. Milli, sampaikan pada Madam Choo, aku akan membelinya. Aku juga akan memberimu bonus. Tapi jangan halangi aku.” Jari telunjuk Alex mengarah lurus pada Milli yang hendak bersuara. Sebelum Victoria menyadari maksud dari perkataan Alex, dia sudah lebih dulu menarik tangannya untuk menjauh dari sana. Sial, hanya sentuhan tangan saja reaksinya begitu besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN