Hujan masih belum juga reda menguyur Morphile itu seperti menumpahkan semua amarahnya ke kota, di antara riuhnya petir, sebuah mobil berhenti di depan hotel berbintang yang berdiri megah di distrik pusat bisnis.
Victoria masih diam di kursi belakang. Tangannya menggenggam erat ujung tas kerja yang kini sudah kering, meski dinginnya udara dari AC mobil menusuk kulitnya. Dia belum berani bertanya apapun sejak Alex memintanya ikut tanpa banyak kata.
Begitu pintu mobil dibuka, pelayan hotel segera menyambut. Alex berjalan lebih dulu, langkahnya tenang dan pasti. Jas hitamnya kering sempurna seolah hujan pun enggan menyentuhnya. Victoria mengikuti dari belakang tanpa kata, matanya menunduk, jantungnya berdetak tak beraturan. Dia sendiri tahu apa yang mungkin akan dilakukan, sebab dialah yang meminta Milli untuk mencari seseorang yang mau membayarnya hanya untuk satu malam. Keputusan itu sudah Victoria pikirkan matang-matang.
Mereka naik ke lantai atas dengan lift pribadi. Hening. Hanya suara dari mesin lift dan detak waktu di antara mereka.
Ketika pintu kamar terbuka, ruangan itu tampak luas, elegan, dan terlalu sunyi. Lampu kuning temaram menyinari lantai marmer yang licin. Jendela besar menampilkan panorama kota yang berkilau di tengah hujan.
Alex melepaskan jasnya, meletakkannya di kursi, lalu dia menatap Victoria. Tatapannya tajam, tapi tidak lagi sekadar menilai. Ada sesuatu di balik mata itu yang sepertinya sedang menimbang sesuatu.
“Kau sedikit berbeda sekarang, Nona,” katanya pelan, nada suaranya datar tapi mengandung makna.
Victoria menegakkan tubuhnya, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdetak kencang. Dia gugup, sekaligus takut. Bayangan saat disentuh oleh tangan asing, membuat perutnya terasa bergejolak. Tapi dia meyakinkan dirinya untuk bertahan demi sang ayah yang dititipkan mendiang ibunya.
Dia mencoba mendongak, memberanikan diri untuk menatap sosok itu yang cukup tinggi di depannya. Tapi dalam ingatannya dia asing. “Aku tidak mengerti maksudmu, Tuan,” katanya jujur.
Alex menatapnya lama, mengambil langkah mendekat perlahan. “Kau tidak ingat aku?” Dia memastikan ingatan gadis itu seberapa kuat.
Victoria mengerut, dia mencoba mencari sesuatu dalam ingatannya. Tapi sayangnya, dia tetap merasa asing dengan sosok pria di depannya.
“Aku kecewa, Nona. Padahal dua jam pun belum berlalu sejak pertemuan kita,” katanya dengan suara rendah tapi menggema di antara dinding-dinding kamar, membuat udara di sekitar seolah menegang.
Victoria menatapnya bingung. Dia diam untuk beberapa saat, hingga sesuatu di benaknya menyeruak, bau bensin, langkah kaki berat, teriakan dari kejauhan, dan seorang pria yang dia tarik asal di basement perusahaan tempatnya bekerja.
Satu hal lagi yang membuat mata Victoria membulat sempurna, ciuman itu!
Sial! Seketika Victoria merasakan lagi ciuman itu, cepat, gugup, dan panik. Dia menemukan hanya itu satu-satunya cara agar yang mengejarnya tak menyadari bahwa dia adalah target.
“Kau … tidak mungkin.” Napasnya tercekat, dia berbisik lirih. Ingat juga saat dia memberikan beberapa lembar uang pada pria itu sebagai bayaran untuk ciuman sekilasnya itu.
Pria itu menyunggingkan senyum samar, tapi bukan yang hangat. Lebih seperti membuat pengakuan yang tertunda.
“Kau ingat sekarang, Nona?” tanyanya. Langkahnya terhenti telah di hadapan Victoria yang berdiri kaku.
Gadis itu menatapnya tak percaya. Semua rasa malu, ketakutan, dan bingung bercampur menjadi satu.
“Jika itu ….” Ucapannya menggantung, dadanya kian berdebar ditambah aroma maskulin yang menusuk ketika Alex semakin dekat dengannya. Victoria juga merasakannya, tatapan tajam yang seakan mengulitinya perlahan.
Alex menunduk sedikit, menatapnya langsung.
“Ya. Aku yang kau cium sembarangan di basement tadi, Nona,” katanya mengakui.
Suara petir menggema di luar, menutup keheningan yang tiba-tiba terasa berat. Victoria mundur setengah langkah, tak tahu harus ke mana. Dia tidak menyangka, orang asing yang menyelamatkannya dari kejaran tadi itu adalah sosok yang akan bermalam dengannya. Victoria cukup tahu banyak pekerjaan yang dilakukan oleh Milli, temannya itu setiap malamnya.
“Kenapa? Kau takut?” Alex menyeringai melihat ketakutan Victoria.
“Tidak. Aku hanya ….” Hanya sekilas saja Victoria mengangkat dagu.
Sial. Andai dia tidak butuh uang cepat karena terdesak. Tapi dia sama sekali tidak berpikir kalau Milli akan menjualnya seperti itu.
“Hanya untuk satu malam saja, Vic, jika kau memang butuh uang cepat.” Ingatan saat Milli mengatakannya dengan begitu mudah.
“Kenapa?” Alex kembali bertanya, dia terus melangkah mendekat pada Victoria yang justru mundur hingga tubuhnya terbentur dinding yang dingin. “Takut? Kau yang memulainya di parkiran itu, Nona. Jadi, ayo lakukan permainan,” katanya dengan nada rendah yang entah bagaimana membuat Victoria meremang.
“A-pa maksudmu?” Dia tergagap, sungguh, keberanian dirinya seakan terkikis habis.
Dia mengangkat wajahnya, menatap Alex yang masih tak melepaskan tatapannya dari wajah cantik Victoria yang basah. Tatapannya fokus pada satu titik, bibir merah yang tampak gemetar samar itu membuatnya ingat ciuman di basement. Tidak pernah ada yang seberani itu pada Alex, yang kemudian membuatnya merasa tertarik.
Victoria menelan ludahnya, gugup semakin membuatnya tak mampu berkutik. Sialnya, sisi hatinya berbisik kalau dia punya banyak tuntutan yang semuanya membutuhkan uang.
“Kau akan bermain denganku. Kau yang mulai permainan, atau aku?” Alex menawarkan. Sesuatu dalam dirinya terasa bergejolak. Ada getar aneh yang tak biasa hadir, bahkan ketika sosok yang dekat dengannya sekalipun tak lagi menghadirkan getar halus yang membuatnya ingin sekali bermain.
Entah sudah berapa lama, minggu, atau bahkan bulanan, bisa pula tahunan dirinya gak merasa setertarik ini pada wanita. Ciuman sekilas di basement itu masih terbayang, bahkan rasa penasarannya tergoda untuk mencicipi sekali lagi bibir ranum yang sedikit terbuka itu.
“Milli bilang, kau butuh uang?”
“Hah?” Demi apapun, Victoria tidak pernah mengalami hal yang aneh seperti itu. Dia seakan tak mampu berkutik kala sorot elang itu mengarah padanya, mengunci tubuhnya. Dia tidak pernah selambat itu merespon. Victoria punya pertahanan yang luar biasa soal logika, tapi kali ini entah bagaimana dia mendadak menjadi bodoh.
Alex tertawa. Dia menarik diri dari hadapan Victoria. Dia memasukan kedua tangannya ke saku celana, tatapannya masih tak lepas dari wajah Victoria yang berantakan. Anak rambutnya bahkan menempel di kulit wajahnya.
“Aku tak menyangka, kau sebodoh itu,” komentar Alex sambil menggelengkan kepalanya. Minatnya tiba-tiba hilang, meski hasratnya belum bisa dia tenangkan, malah semakin terusik dengan wajah cengo wanita di depannya. Entah karena memang bodoh atau masih terkejut karena pengakuan Alex soal ciuman basement. “Lupakan saja. Sepertinya, kau tak lagi butuh uang itu.”
Mata Victoria seketika membulat. Satu kata saja, uang! Kertas yang digunakan untuk alat tukar bernama uang itu berhasil menarik seluruh kesadaran Victoria.
“Kau akan memberiku berapa jika aku bermain?” Nadanya tiba-tiba meremehkan. Dia mendesis semua.
Sebelum Alex berbalik, Victoria menatapnya dengan berani, menantang, dan satu lagi dadanya membusung yang membuang senyum miring Alex muncul saat itu juga.
“Tergantung bagaimana kau bermain, Nona. Aku akan memberikan apapun yang kau minta. Jika kau berhasil membuatku puas, aku akan memberimu tambahan.”
Victoria terdiam. Hatinya menolak, tapi pikirannya menghitung berapa uang yang dia butuhkan untuk membayar banyak hal, termasuk dalam pekerjaan.
“Silakan pergi jika kau tak bisa bermain.” Suara Alex lebih dulu terdengar sebelum Victoria menyanggupi permainan pria itu. Nadanya penuh penghinaan dan tatapannya terkesan meremehkan.
Alex berbalik dengan tenang, tangannya masih di saku celana, postur tubuhnya memancarkan arogansi dan kekuasaan. Dia melangkah perlahan menuju jendela besar yang menghadirkan panorama kota, seolah percakapan dengan Victoria tidak pernah terjadi.
Namun, dia terdiam ketika sesuatu melingkar di pinggangnya, kaku dan gemetar. Senyumnya muncul saat itu tapi dia diam membiarkan Victoria memulainya.