Bab 4

1165 Kata
Tiba-tiba, akal sehatnya Victoria terputus. Semua hal yang terjadi pada hidupnya hingga dia mengambil keputusan itu berputar dengan tidak sopannya di benak. Padahal dia sudah berusaha keras menyembunyikannya, tapi apalah kala kenyataan tak mampu dia tutupi lagi. Air mata yang sudah menggenang dia paksa surut. Dia bukan orang lemah yang menangis saat dihina, saat diremehkan hanya karena tak bisa bermain. Ketika Alex dengan arogannya menarik kembali uang yang sudah disepakati dengan Milli sebelum pergi tadi, bagaimana mungkin Victoria membiarkan temannya itu dapat masalah. Cukup. Cukup dirinya saja yang menanggung beban hidupnya, jangan orang lain juga. Dia mengambil sebuah keputusan yang secepat kilat, didorong oleh insting bertahan dan harga diri, Victoria mengambil langkah cepat dan berlari. Namun, langkahnya tidak diarahkan untuk keluar. Langkahnya terhenti ketika sesuatu mendorongnya keras. Victoria tidak hanya menabrak, dia menghantamkan seluruh tubuhnya, sekencang mungkin, ke punggung Alex. Alex yang sedang berjalan tenang, terhuyung maju. Langkahnya terhenti ketika sesuatu mendorongnya keras, dan dorongan itu cukup kuat hingga dia hampir kehilangan keseimbangan untuk sepersekian detik. Keningnya berkerut karena terkejut dan sedikit marah atas gangguan tak terduga itu. Victoria tidak memberinya kesempatan untuk berbalik atau memarahi. Dia dengan kaku melingkarkan lengannya di sekeliling pinggang Alex, memeluk erat tubuh kekar pria itu. Punggung Alex terasa keras dan padat seperti dinding. "Aku akan bermain," bisik Victoria, suaranya tercekat dan serak, tenggelam di balik kemeja Alex. Kata-kata itu lebih terdengar seperti janji pahit yang dia ucapkan pada dirinya sendiri daripada sebuah persetujuan. "Aku akan bermain denganmu malam ini,” katanya mengulangi. Matanya terpejam erat, kilasan romantisme dengan kecup mesra dia abaikan. Di dalam benaknya slide kenangan silih berganti, bahkan hal yang membuatnya menangis pun tak terkecuali. Keheningan kembali menyelimuti. Alex tidak segera bergerak. Dia hanya berdiri di sana, merasakan pelukan kaku dan gemetar dari wanita di belakangnya. Dia tahu, kali ini, Victoria menyerah. Entah karena harga diri yang akhirnya tunduk pada tuntutan nasib, atau perhitungan logis yang memenangkan pertarungan batin, Alex tidak tahu. Namun, yang dia rasakan bukanlah kepuasan layaknya seorang pemenang. Pelukan Victoria terasa aneh. Bukan nafsu yang menyerang Alex lebih dulu, melainkan sensasi yang tak terduga, seperti bersandar. Sentuhan Victoria yang putus asa dan tanpa pamrih, justru membuat Alex merasa ada sesuatu yang mendorongnya untuk rileks. Alex, yang hidupnya selalu penuh kendali, tekanan, dan perhitungan bisnis yang tegang, merasakan sedikit ketenangan dari beban berat dan kaku yang menempel di punggungnya. Ada sesuatu dalam putus asanya Victoria yang entah bagaimana membuat Alex merasa santai, sebuah perasaan yang sangat asing baginya. Atau mungkin, sudah lama sekali dia tak merasakannya. Dia mengangkat tangannya, sejenak ragu, kemudian perlahan, dia menyentuh lengan Victoria yang melingkar di pinggangnya. Sentuhan Alex bukan untuk melepaskan, melainkan untuk menahan. "Mengapa? Berubah pikiran?" tanya Alex, suaranya kini tidak lagi berupa perintah dingin, melainkan lebih seperti gumaman yang sarat dengan pertanyaan. Victoria memejamkan mata, menekan wajahnya lebih dalam ke punggung Alex. "Aku membutuhkan uangmu," jawabnya, kejujuran brutal itu adalah satu-satunya hal yang tersisa padanya. Alex terdiam. Dia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Victoria dan bau ketakutan yang samar-samar terasa. Dia mengerti. Ini bukan permainan rayuan, ini adalah kesepakatan yang menyakitkan. Perlahan, Alex membalikkan badannya, cengkeraman Victoria di pinggangnya terlepas. Dia kini berhadapan dengan Victoria, menatap matanya yang keras. "Kau tidak perlu memaksakan diri," ujarnya, nadanya kini melunak dengan cara yang belum pernah didengar Victoria sebelumnya. "Jika kau memaksakan diri, tidak ada artinya bagiku." Victoria menelan ludah. "Aku tidak punya pilihan." Alex mengangguk pelan, seolah mengonfirmasi kenyataan pahit itu. Dia mengangkat tangan dan menyentuh pipi Victoria, mengusapnya dengan ibu jarinya. "Baiklah," kata pria itu, suaranya tegas kembali, namun kali ini bercampur dengan kelembutan yang membingungkan. “Mainkan peranmu, Nona. Tapi pastikan kau melakukannya dengan benar, seolah kau menginginkannya. Maka dengan demikian kesepakatan itu tetap lanjut.” Victoria terdiam, dia berpikir bagaimana memulai. Tapi, sebelum dia bergerak, Alex sudah lebih dulu memaksanya untuk mendongak, lalu tanpa kelembutan, seakan terburu, pria itu lebih dulu mempertemukan bibir keduanya. Mata Victoria membulat sempurna, kaget dengan apa yang Alex lakukan. Ketika tangannya hendak mendorong d**a bidang pria itu, tapi sesuatu di pikirannya menghentikannya. Victoria tidak punya pilihan, maka dari itu dia memilih memejamkan mata, membiarkan Alex melumat bibirnya perlahan. Ciuman itu berhenti, pria itu menjauhkan wajah mereka. Napas Alex menyapu wajah Victoria, hangat. “Kenapa diam? Bukankah kau yang memulainya tadi? Kau bahkan seakan tak peduli siapa yang kau cium. Sekarang, berubah?” Ada nada mengejek dari suara pria itu. Tapi Victoria diam, dia menenangkan jantungnya yang berdetak kencang. Ada sosok bayangan di benaknya yang menghantui, membuatnya bergerak kaku. Bayangan itu, tak mungkin Victoria khianati. Dia bergelut dengan hati dan pikirannya, antara setia atau realita yang tak bisa bekerjasama dengannya kali ini. “Sudahlah. Aku tidak mau bermain dengan boneka,” kata Alex. Dia mengambil langkah mundur, bersiap untuk pergi lagi. Tapi sekali lagi Victoria menghentikannya. Tanpa aba-aba, dia menarik kerah kemeja Alex dan mendaratkan ciumannya. Meski ragu, dia mencoba untuk memainkan perannya, seperti yang pria itu katakan tadi. “Maaf, Ti, maafkan aku kali ini saja,” batin Victoria di sela ciumannya yang memimpin. Victoria seakan bisa merasakan seringaian saat berciuman itu. Bibir Alex bergerak dengan intensitas yang mengejutkan. Dia tidak membiarkan Victoria berpikir, hanya merasakan. Alex melingkarkan tangannya di pinggang ramping Victoria, menarik tubuh itu semakin menempel dengannya dan mengimbangi permainan bibir Victoria. Victoria sendiri bisa merasakan tubuh Alex yang kokoh dan berotot menempel padanya. Rasa panas mulai menjalar, dari bibir turun ke seluruh tubuh. Pria itu memiringkan kepalanya, memperdalam ciuman itu, dan Victoria tanpa sadar membuka mulutnya sedikit, memberi akses pada Alex. Sensasi yang menghantam Victoria sangat luar biasa. Ada rasa takut, tapi juga ada kejutan seperti ledakan gairah yang tak terduga mulai membakar dirinya dari dalam. Otaknya yang tadinya tegang, kini terasa kosong, hanya ada sensasi panas dan desakan bibir Alex yang semakin menguasai. Dengan gerakan lembut Alex melepas blazer wanita itu, lalu membawa Victoria ke atas ranjang, menidurkannya tanpa melepaskan ciumannya. Victoria mengerang pelan, sebuah suara yang tercekat di tenggorokannya. Tangannya yang semula terkulai lemas kini naik secara refleks, mencengkram bahu Alex lalu merambat ke leher pria itu, membalas pelukannya dengan kekuatan yang setara. Ciuman Alex semakin dalam, semakin rakus, membuat Victoria mengerang sekali lagi. Ciuman pria itu turun ke leher, refleks Victoria menengadah, memberi akses lebih pada Alex untuk meninggalkan jejak merah di sana. Dunia seolah berhenti di antara napas mereka yang kembali bertaut. Suara hujan di luar terdengar samar, tergantikan oleh debar di d**a Victoria. Ruang hotel itu terasa panas, meski lampu redup dan AC menyala. “Ah.” Suara Victoria lolos saat pria itu menyesap kulit lehernya kuat. Namun …. Drrrr. Drrr. Nada getar ponsel di saku celana Victoria membuatnya membuka mata. Sepersekian detik diam, dia segera mendorong d**a Alex kuat, tapi tak membuatnya lantas menjauh. Pria itu menopang tubuhnya dengan kedua tangan di sisi Victoria. Napas keduanya terengah. “Maaf,” ucap wanita itu. Tangannya merogoh saku celana, mengambil benda yang menjadi pengganggu itu dengan jari gemetar. Tian. Satu nama itu muncul sebagai pemanggil. Spontan saja Victoria mendorong kuat tubuh Alex lantas menjauh. Alex duduk di sisi ranjang, menatapnya tanpa ekspresi, tapi matanya tajam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN