Di Mall, Nina memisahkan diri bersama teman temannya, meninggalkan Jackson dan Anya berdua di salah satu butik pakaian dengan merk yang cukup terkenal. Walau sering mengunjungi pusat perbelanjaan itu, Anya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke toko tersebut.
Selain harganya yang tidak terjangkau bagi nya, model yang di jajakan di butik itupun jauh berbeda dengan yang biasa di pakainya.
Tangan Anya memilah milah gaun-gaun di gantungan baju tanpa ada menemukan satupun yang sesuai dengan seleranya.
“Kita sudah di sini setengah jam, dan belum ada satupun yang kau coba.” Jackson mengangkat tangan kanannya yang memakai jam ke depan wajahnya.
Pria itu sedang duduk diatas sofa memainkan handphone di tangan kirinya, sambil setengah menguap.
“Aku tidak bisa lama-lama di sini, An. Sudah kukatakan bahwa aku harus pulang sore ini.”
Anya mulai menghela nafas kesal. “Apakah aku membuatmu terlambat akan janjimu dengan Karen, Tuan Han?”
Jackson menoleh kaget dengan semburan kemarahan dari Anya yang juga di sesali oleh wanita itu karena kemudian dirinya menggumamkan, “Maaf…” ke arah Jackson.
“Semua gaun ini terbuka dan ketat. Walaupun terlihat sangat indah, tapi hanya orang orang bertubuh semampai macam Karen yang terlihat anggun memakainya. Orang pendek macam aku akan terlihat seperti memakai daster untuk mengepel lantai.”
Anya melirik sekilas ke arah Jackson yang masih menatapnya dengan mata terhibur karena kini bibirnya sedikit tertarik seolah hendak tersenyum.
Pria itu berdiri dan menarik lengan Anya keluar dari toko, “Baiklah kalau begitu, kita temui salah seorang kenalanku saja.”
“Ah? Siapa?” tanya Anya kebingungan.
“Sudah, jangan banyak bertanya. Ikut saja.”
Jackson berhenti sejenak untuk mengetikkan beberapa pesan singkat di handphonenya, sebelum kemudian berjalan lagi keluar dari pusat perbelanjaan dengan menggenggam pergelangan tangan Anya yang kecil.
Lengan Anya yang kurus terasa sangat aneh dalam telapak tangannya yang lebar. Membuatnya seolah sedang menggenggam tangan anak kecil daripada seorang wanita. Walau memang berbeda umur 12 tahun dengan Jackson, tapi Anya dan Karen hampir seumuran. Membuat Jackson heran dengan perbedaan fisik keduanya yang mencolok.
Sepertinya gadis ini lupa untuk melewati masa pubernya, pikir Jackson dalam hati.
Anya menuruti tarikan tangan Jackson yang menggengam pergelangannya dengan kuat tapi lembut.Sentuhan hangat dari tangan lebar itu merambat menaiki lengannya dan bertengger di pipinya membuatnya bersemu merah.
Anya memegang sisi wajahnya dengan lengan kirinya yang bebas, berusaha menghilangkan rasa panasnya sebelum Jackson menyadari efek sentuhannya. Mengingat selama ini dirinya memang belum pernah bergandengan tangan dengan pria manapun.
Jackson membukakan pintu untuknya dan mereka berkendara menuju sebuah rumah megah tak jauh dari pusat perbelajaan.
“Ayo, turunlah!” perintah Jackson sambil membukakan pintu untuk Anya.
Gadis itu membaca papan yang tertulis di depan rumah:
Luis Wang
Fashion Designer
Anya mengenali nama itu. Luis adalah perancang busana pengantin yang cukup terkenal di kotanya. Beberapa temannya yang sudah menikah sering mengharapkan untuk bisa mengenakan busana rancangan Luis Wang yang selain panjang antrian, juga tidak murah.
Jackson menarik pintu depan rumah yang juga merangkap sebagai butik milik Luis. Anya berjalan mengikuti Jackson yang melangkah di depannya melewati deretan baju pengantin putih yang terpajang di rak-rak yang terbuka.
Didalamnya beberapa orang tampak berlalu lalang terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Pelanggan yang kebanyakan wanita tampak memilah-milah baju yang tergantung di rak. di temani oleh staff yang bekerja di sana. Sementara teman dan keluarga mereka, duduk dengan sabar menunggu calon pengantin di sofa yang tersebar di ruang tunggu. Sebagian tampak memainkan ponselnya dan terlihat bosan seperti yang dilakukan Jackson ketika menunggunya berbelanja.
Anya terus mengikuti Jackson yang berjalan melewati lantai satu kemudian naik ke atas.Rupanya lantai atas juga penuh oleh lebih banyak lagi gaun pengantin. Bukan hanya gaun putih tapi juga gaun-gaun casual berwarna-warni berderet berjejeran.
Jackson baru menghentikan langkahnya ketika mereka tiba di depan sebuah ruangan dengan pintu kaca buram yang tertutup. Pria itu mengetuk pintu pelan yang di jawab oleh teriakan, “Masuk!” dari dalam.
“Jackson!” sapa pria bertubuh jangkung yang baru saja di temui nya semalam di lapangan basket. “Ketika aku membaca pesan yang kau kirimkan memberitahuku kau akan kemari, aku hampir terkena serangan jantung, tahu! Jangan bilang kau ingin membeli salah satu gaun pengantinku,” ucapnya sambil nyengir.
“Tsk… Sialan! Kenalkan ini Anya Li,” decak Jackson sambil menunjuk ke arah gadis yang ada di belakangnya. “Dia membutuhkan sebuah gaun untuk dikenakan ke pesta Minggu depan. Semua baju yang ada di butik mall tidak ada yang sesuai dengan seleranya yang tinggi, jadi kubawa dirinya kemari. Mungkin salah satu design mu ada yang cocok untuknya.
Luis melirik ke arah gadis yang terlihat bersembunyi di belakang Jackson. Diam-diam mengikuti gosip keluarga Han, segera dikenalinya Anya sebagai wanita yang di usung oleh Annie sebagai calon istri Jackson.
Sebuah ide muncul di dalam benak Luis membuat dirinya tiba-tiba merasa kegirangan akan kesempatan yang di dapatnya. Didorongnya tubuh temannya menjauh agar dirinya bisa melihat Anya lebih dekat.
“Hai, Anya. Aku Luis,” ucapnya sambil menjulurkan tangannya menyalami Anya yang membalas salamnya.
Pria itu kemudian menggumam pelan sambil berjalan mengitari Anya dengan tangan menggaruk dahinya. “Hmm… Acara apa yang akan kalian hadiri?” tanya Luis.
“Benefaktor yang diadakan walikota.” Jackson menjawab sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Luis mengangguk-angguk mendengar jawaban Jackson, “Ok… ok… Kurasa aku bisa menyelesaikan sebuah gaun sebelum Minggu. Bagaimana kalau aku ukur dulu badanmu Anya?”
“Hah? Aku tadinya hanya berharap membeli salah satu gaunmu yang sudah jadi. Bukan membuat gaun baru untuknya,” sahut Jackson kaget.
“Jangan khawatir, aku yakin kau bisa membayar jasaku,” jawab Luis sambil meraih gagang telepon diatas mejanya dan meneriaki salah satu asistennya untuk masuk ke dalam.
“Bukan itu masalahnya, aku tidak ada waktu untuk menunggu mu mengukur,” di liriknya lagi jam tangannya. “Aku ada urusan dan harus pergi.”
“Jika kau tidak bisa menunggu, pergilah. Akan kuantar Anya pulang nanti dalam keadaan utuh. Janji!” balas Luis sambil melambaikan tangannya seolah mengusir Jackson membuat pria itu mengkerutkan dahinya.
“Benarkah kau tidak keberatan?” tanyanya memastikan.
“Yes! Pergilah… sudah jangan ganggu aku mengukur,” usir Luis bersamaan dengan datangnya sang asisten.
Jackson berdiri dari kursinya agak ragu untuk meninggalkan Anya sendirian, tapi di saat yang bersamaan dirinya sudah memiliki janji makan malam dengan wanita yang baru di kenalnya seminggu yang lalu. Seorang pramugari cantik di salah satu maskapai yang sering di pakainya ketika bepergian.
“Hm… Baiklah kalau begitu,” ucapnya sambil berjalan menghampiri Anya yang masih berdiri mematung dari tadi.
“An, Luis akan mengantarmu pulang. Maafkan aku meninggalkanmu di sini tapi aku sudah ada janji,” ucap Jackson sambil menatap mata Anya yang kelam.
Pria itu menelan ludah ketika merasakan tarikan dari bola mata Anya yang hitam, memandangnya lekat-lekat, penuh dengan ucapan dalam diamnya gadis itu.
Membuatnya tanpa sadar kemudian bertanya, “Apakah kau ingin aku menemanimu di sini? Aku bisa membatalkan janjiku jika kau mau.”
Untung bagi Jackson, Anya kemudian menundukkan wajahnya sambil menggeleng. Membuat Jackson tersentak seolah terlepas dari sebuah ilmu sihir yang mencengkeramnya barusan.
Apa ini? Mengapa aku memikirkan apa yang inginkan gadis ini? Peduli apa aku padanya!
“Baiklah, aku tinggalkan kalian. Luis, kau yang bertanggung jawab atas Anya kepada ibuku ya. Jangan sampai terjadi apa-apa padanya,” ucap Jackson sambil buru-buru melangkah keluar tanpa menoleh ke arah Anya lagi. Tidak ingin dirinya tersedot semakin dalam ke kekuatan aneh yang dimiliki dalam tatapan gadis itu.
Seolah sadar akan apa yang dirasakan teman baiknya, Luis semakin dibuat penasaran oleh gadis yang kini berdiri sendu di hadapannya.
“Jangan hiraukan Jackson, Anya. Apakah kau ingin minuman? Kopi? Teh? Jus?” tanyanya setelah Jackson menghilang di balik pintu kantornya.
“Air putih saja. Terima kasih, Ge,” jawab Anya pelan.
Luis mengangkat telepon di mejanya dan kembali meneriakkan pesanan Anya ke orang di ujung sambungan.
“Ok. Mari kita mulai. Kita akan membuat Jackson terpesona olehmu!”