Spencer menatap kepergian Anya. Diingatnya terakhir ia menemuinya saat pemakanan neneknya, yang dipanggilnya Nainai Li. Selalu mengagumi gadis itu, tapi tidak berani mengungkapkan perasaannya, kini ia hanya bisa merenung melihat pria lain menggandeng nya. Dan bukan sembarang pria, karena rupanya pria yang dijodohkan dengannya adalah Jackson Han.
Tidak mengenal secara personal, tapi semua orang tahu siapa Jackson Han. Reputasinya gonta ganti pasangan memenuhi halaman tabloid gosip murahan tiap minggunya.
Bukan calon yang cocok untuk Anya, Spencer memutuskan, ia akan memperjuangkan perasaannya. Kini bukan lagi musisi yang kelaparan, ia merasa sudah punya lebih dari cukup untuk dari segi finansial. Tidak sebanding dengan yang dimiliki Jackson, tapi ia yakin ia bisa lebih membahagiakan Anya daripada pria itu.
“Hei!” Suara seorang wanita membuatnya menoleh. Perempuan yang ada bersama dengan Jackson tadi kini duduk di sebelahnya. Tangannya menggenggam segelas minuman beralkohol berwarna biru yang berasa tidak seenak rupanya.
“Hei!” balas Spencer setengah berteriak menyaingi suara lagu. “Kau tidak ikut mereka pergi?”
Karen menggeleng, “Kenalkan, Karen.”
Spencer menerima uluran tangan wanita itu dan menyebutkan namanya.
“Kau teman gadis itu? Anya?”tanya Karen yang dijawab oleh anggukan Spencer.
“Kau? Siapa nya Jackson?” Spencer balas bertanya membuat Karen tertawa tergelak.
Wanita itu menyisip minumannya sebelum menjawab.
“Entahlah. F*ck Buddy??” jawabnya santai tapi Spencer merasa ada sedikit kesedihan di suaranya. “Kau mantan gadis itu?
“Bukan.” Spencer menggeleng. “Kami tidak pernah pacaran. Cuma teman kuliah.”
“Oh… Kulihat caramu memandanginya. Kukira…Hm… Sudahlah, bagaimana kalau kau kenalkan aku pada teman-temanmu. Aku butuh hiburan malam ini.”
***
Anya terbangun keesokan harinya sedikit bingung menatap kamar asing tempatnya berada. Ia mengedipkan matanya sejenak sebelum kemudian sadar ia masih berada di rumah Keluarga Han.
Kelebatan kejadian yang terjadi kemarin langsung menyeruak bahkan sebelum dirinya sempat keluar dari ranjang. Bercak-bercak merah di kulit Ella Han, wajah panik Annie, tawa Jackson yang mengejeknya, pandangan marah Karen, bibir Spencer yang berkerut mengasihaninya…
Perlahan ditegakkannya tubuhnya dari atas kasur. Langit masih tampak gelap dari balik jendela kamarnya. Sudah terbiasa bangun subuh membuat dirinya jadi terbangun sepagi ini walaupun semalam tidur agak larut malam. Anya mengelus lengannya, tepat di tempat Jackson menggandengkan tangannya kemaren ketika keluar dari Club malam.
Sentuhan yang mungkin tidak berarti bagi Jackson, tapi terasa hangat di kulitnya. Gadis itu menghela nafasnya, tidak berpikir akan semudah itu untuk merasakan…jatuh cinta?
Jatuh cinta kah yang dirasakannya ketika denyut jantungnya berpacu ketika pria itu menatapnya? Atau ketika wajahnya memanas melihat pria itu menyentuh wanita lain? Atau bagaimana bibirnya tanpa sedar ikut mengembang ketika melihat nya tersenyum?
Anya menutup matanya sejenak. Bagaimana mungkin pria arogan itu bisa membuatnya merasa seolah ada kupu-kupu dan api berterbangan di dalam dadanya?
Tidak ingin terlalu hanyut dalam lamunannya perlahan Anya merangkak menuju kamar mandinya dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin.
Di bawah Tina Huang sudah terlihat memburu-buru Jinny dan Wang untuk segera menyapu dan mengepel gedung utama.
“Bi,” panggil Anya ke wanita bersanggul rapi itu. “Bagaimana keadaan di rumah kemarin setelah makan malam? Apakah Jie Ella dan Auntie turun?”
Tina menggeleng, membuat Anya mendesah.
“Kurasa aku tidak akan lama tinggal di sini. Membaca tulisan resep saja aku tidak becus.”
“Ish… Bukan salah mu juga sih, Nona. Tulisan Juru Masak Ren memang mirip cacing tanah,” sahut Tina sambil mengelus lengan Anya. “Nona mau sarapan sekarang? Aku bisa meminta staf dapur menyiapkan makanan untukmu.”
Anya menggeleng, “Tidak apa, biar aku saja yang menyiapkan sarapan untuk keluarga besar.”
“Eh… Aku tidak ingat Nyonya Han memintamu untuk melakukannya.”
“Tidak apa-apa, lagipula tidak ada yang bisa kukerjakan sekarang. Paling tidak memasak membuatku sedikit tenang.”
“Hmm… Baiklah kalau begitu. Dan kali ini cobalah untuk tidak meracuni siapa-siapa…” ucap Tina sambil tertawa kecil dan meninggalkan Anya yang berusaha ikut tersenyum mendengar lawakan wanita itu.
Anya membaca buku resep milik Juru Masak Ren berkali-kali, memastikan apa yang di bacanya tidak salah lagi dan memutuskan untuk membuat Bubur Ayam untuk keluarga, lengkap dengan roti goreng dan beberapa macam dimsum tanpa udang dan seafood yang bisa menyebabkan alergi Ella Han kambuh.
Kedua staf dapur yang biasanya menyiapkan makan pagi kebingungan melihat Anya sudah mengaduk aduk panci bahkan sebelum mereka turun dari kamar mereka di lantai 3.
Pukul 8, Anya sudah berdiri di depan meja makan membantu Tina menyajikan sarapan yang sudah dimasaknya dari subuh. Annie adalah yang pertama turun, menggandeng Ella di sebelahnya.
“Selamat pagi Aunty, Jie. Maafkan aku kemarin, bagaimana keadaanmu?” sapanya lebih tertuju pada Ella han.
“Masih hidup, An,” jawab Ella dingin. “Apakah kau memasak sarapan lagi?” lanjutnya ketika melirik aneka hidangan diatas meja yang seharusnya hanya mampu dibuat oleh Juru Masak Ren yang belum datang.
Anya mengangguk, “Aku mengikuti resep Juru Masak Ren. Jangan khawatir, sudah aku pastikan semua bahannya tidak mengandung kacang atau seafood, Jie”
“Ama…” ucap Ella ke arah ibunya, “Bolehkah aku tidak makan? Aku tidak lapar, dan aku takut keracunan masakan Anya lagi. Minta Bibi Huang buatkan aku s**u sereal saja. Aku akan di kamar.”
Annie menatap wajah anaknya sebelum kemudian mengangguk dan memerintahkan Bibi Huang membuatkan s**u untuk Ella.
Wajah Anya pasti memerah mendengar ucapan anak tertua Han yang menolak masakannya mentah-mentah. Ella menghilang ke atas bersamaan dengan munculnya para lelaki, Andrew dan Jackson.
“Ella tidak sarapan?” tanya Jackson sambil mencium pipi ibunya dan kemudian mendudukan tubuh jangkungnya di sebelah Anya.
Gadis itu melirik sekilas ke arah Jackson. Wajahnya tampak segar habis mandi, bau citrus dan cengkeh tercium samar di hidung gadis itu membuatnya ingin lebih mendekatkan badannya ke arah leher Jackson agar bisa lebih tercium dengan jelas. Untung saja pria itu sepertinya tidak sadar dan lebih memperhatikan makanan yang ada di depannya.
“Sudah, biarkan saja kakak mu. Dirinya sedang hamil, semua juga terasa tidak enak. Anya, jangan khawatir, kesalahan yang kau lakukan kemarin hal yang wajar. Aku juga paham kau tidak sengaja melakukannya.”
Annie menoleh ke arah Tina yang hendak naik membawa segelas s**u, “Huang, panggil Nina sekalian. Sudah jam segini masih belum turun juga.”
“Aku datang, Ama… Sabar… “ seru Nina berlari menuruni tangga.
“Apa sih yang kau lakukan di kamar terus?” bentak Annie ke arah anak gadisnya. “Perawan itu wajib bangun pagi!”
“Memang Ama tahu aku masih perawan?!?” Nina balik bertanya sambil menjulurkan lidah ke arah Ibunya yang langsung melotot.
“Aku jadwalkan dengan Dokter Fanny ya! Awas saja!” balas Annie membuat semua orang tertawa kecuali Andrew yang tampak menatap sinis ke arah Jackson.
”Sesuatu mengganggu pikiranmu, kakak ipar?” tanya Jackson sadar akan tatapan dingin Andrew.
“Kau memutuskan untuk bekerja sama dengan serikat buruh Salazar? Tanpa sepengetahuanku? Tidak sadarkah kalau mereka itu gangster?”
“Mereka semua di pegang oleh preman. Salasar, Vega tidak ada bedanya. Paling tidak permintaan yang diajukan Salazar lebih masuk akal daripada organisasi lain.”
“Tetap saja seharusnya kau berunding denganku, aku sudah lama meloby Vega untuk menurunkan biaya bulanan yang ditagihkan ke pada perusahaan, kini mereka menelponku marah-marah karena rupanya Han Company mundur dan malah bekerja sama dengan saingan,” lanjut Andrew berapi api membuat semua orang di meja makan terdiam.
“Andrew, kita bicarakan senin di kantor. Minggu adalah waktu untuk keluarga.Aku yakin Ama tidak ingin mendengar percakapan kita yang membosankan. Dan kau mulai menakuti tamu kita,” tunjuk Jackson ke arah Anya yang tampak langsung kaget karena diikut sertakan dalam percakapan kedua pria itu.
Andrew ikut melirik ke arah Anya sebelum kemudian mendengus dan melanjutkan sarapannya tanpa banyak bicara.
“Ge, aku ada perlu ke mall. Bisakah kau antarkan aku?” tanya Ella.
“Ah… baiklah. Ama kau mau ikut?” jawab Jackson sambil menenggak teh dalam gelas.
Annie menggeleng, “Aku kurang enak badan. Bagaimana kalau kau ajak Anya membeli beberapa baju yang lebih bagus. Minggu malam ajak dia ke acara benefaktor yang diadakan di rumah walikota. Aku tidak ingin calon menantu Han berpakaian lusuh.”
“A..apa aku masih di sini sampai minggu depan?” tanya Anya kaget atas perkataan Annie.
“Apakah kau sudah mau pulang?” Wanita berwajah bulat itu balik bertanya dengan mata membelalak.
“Tentu tidak, Aunty. Aku kira setelah kejadian kemarin, aku akan di minta pulang.”
Annie mendengus, “Paling tidak kau tidak seperti wanita-wanita yang di bawa Jackson untuk bertemu denganku. Tahukah kamu salah satu dari mereka berkeliaran di rumah memakai celana pendek dan tank top? Ck… tidak ada bedanya dengan wanita bayaran.”
Anya melirik ke arah Jackson yang tersenyum ringan mendengar celotehan ibunya, menebak nebak apakah Karen yang di maksudnya.
“Baiklah Ama, kalau kau tidak mau ikut. Ayo kita berangkat. Aku harus pulang sore nanti jadi tidak bisa terlalu lama menemani kalian.”
Jackson berdiri dan mencium pipi ibunya, diikuti oleh Nina. Setelah berpamitan, Anya lalu berjalan keluar rumah, seperti biasa, mengekor di belakang Jackson.