Tidak memiliki baju lain yang lebih bagus, apalagi lebih seksi seperti yang di minta Jackson, Anya akhirnya memutuskan untuk memakai lagi gaun yang tadi di pakainya untuk makan malam bersama. Paling tidak noda air sudah mulai mengering dan tidak nampak lagi gaun berwarna coklat muda itu.
Dipoleskannya sedikit makeup ke wajahnya yang kini terlihat jauh lebih cerah setelah mandi. Bedak, blush on, lipstick, dan 5 menit kemudian gadis itu sudah berada di bawah.
Ruang makan sudah sepi dan bersih. Sepertinya Bibi Huang sudah membereskan bekas bekas piring yang berantakan.
Jackson sedang duduk di ruang depan menunggunya. Baju dan celananya yang tadi basah oleh siraman air sudah di ganti dengan kaos lengan panjang dan jeans gelap. Ia sedang memainkan handphone yang di pegangnya masih tidak sadar akan kehadiran Anya yang sudah ada di belakangnya.
Kesempatan itu di pakai Anya untuk diam-diam mengamati pria itu. Rambutnya yang hitam legam tersisir rapi ke belakang membuat penampilannya terlihat segar. Bahunya yang bidang bersandar pada sofa, tampak kokoh mengundang Anya untuk menyandar kan kepalanya. Belum lagi terpaan bau parfum segar yang di kenakan pria itu, membuatnya semakin ingin mendekat dan menempelkan hidungnya ke tengkuk Jackson.
“Ehem…” Anya berdeham berusaha mengusir pikiran aneh itu dari benaknya sekalian menarik perhatian Jackson untuk menoleh.
“Oh kau sudah siap?” tanyanya kaget. Baru kali ini dirinya tidak perlu menunggu seorang gadis bersiap hingga berjam-jam lamanya. Karen biasanya perlu waktu paling tidak sejam untuk berdandan, belum kalau harus dihitung waktu untuk mandi.
Jackson melirik jam tangan di pergelangan tangannya.
Hm..15 menit? Rekor , gumam benaknya sambil menoleh kembali ke arah Anya. Tapi sesuai juga dengan dandanan yang di lakukannya. Sangat minimal. Dan, apakah gadis ini tidak punya baju lain?
“Maaf, aku tidak membawa banyak baju. Ini satu-satunya bajuku yang paling bagus,” jawabnya seolah sadar akan arti pandangan Jackson yang mengerutkan alisnya sambil menatap badannya dari atas hingga ke bawah.
Pria itu bangkit dari duduknya, meraih jaket kulit yang ada di sebelahnya dan langsung berjalan menuju pintu.
“Tidak masalah. Tidak akan ada yang peduli juga, ayo kita berangkat!” jawabnya setengah merendahkan.
Anya yang tampaknya tidak peduli sindiran Jackson bertanya, “Tidakkah kita perlu berpamitan kepada ibumu?”
“Ama pasti sudah tidur. Jangan khawatir. Ayo kita pergi, kita perlu menjemput temanku dulu sebelumnya.”
Anya mengekor Jackson dari belakang yang membukakan pintu mobil sport untuknya. Jackson terdiam sepanjang jalan, wajahnya menatap lurus ke jalan, tampak mengacuhkan Anya.
Gadis itu akhirnya menolehkan kepalanya keluar jendela mengamati gedung-gedung yang berjejer di sisi jalan. Jarang keluar hingga larut malam, Anya menikmati indahnya jalanan yang penuh dengan cahaya lampu di malam minggu yang terlihat gemerlapan ketika mobil yang di pacu Jackson melaju kencang dengan mulus di jalan tol.
Mobil berbelok keluar tol dan mulai melambat ketika memasuki lobby sebuah gedung apartemen, sebelum akhirnya berhenti. Jackson meraih ponsel dari saku jaketnya dan mengetikkan sesuatu di dalamnya. Pria itu kemudian keluar dari dalam mobilnya dan membukakan pintu Anya.
“An, maafkan aku. Tapi kau perlu pindah ke kursi belakang,” ucapnya singkat.
Anya menurut dan keluar dari sisi penumpang. Mobil sport berpintu dua itu membuat Anya harus merangkak dan melompat masuk dengan susah payah menuju kursi belakang setelah Jackson menekuk kursi di depannya.
Jackson tetap berada di depan menyandar pada mobilnya selama beberapa menit hingga sesosok wanita berkaki jenjang muncul dari dalam loby yang langsung di kenali Anya sebagai Miss Beautiful yang ada di berita gosip yang di bacanya bersama Mei.
Dari tempat Anya duduk bisa dilihatnya mata Jackson yang melebar menatap wanita cantik yang dengan anggunnya melangkah menghampirinya. Wanita itu melayangkan ciuman panas di bibir Jackson sementara pria itu mengelus pinggangnya dan membantunya masuk ke dalam mobil sport yang di tungganginya.
Anya hanya mampu menelan ludah melihat kecantikan wanita yang mengenakan baju ketat berwarna merah dengan potongan serba pendek itu. Rambutnya yang berwarna coklat dibiarkan terurai bergelombang menuruni bahunya yang berkulit putih. Bau harum menyeruak masuk ke dalam mobil bersaing dengan wangi parfum Jackson mulai membuat Anya merasa mual.
“Karen, ini Anya,” ucap Jackson menunjuk ke arah Anya dengan jempolnya ketika pria itu masuk kembali ke dalam mobil lagi dan mengaitkan sabuk pengamannya.
Wanita itu menoleh ke belakang, tangannya di letakkannya ke paha Jackson yang duduk disebelahnya.
“Hai Anya, senang berjumpa denganmu,” ucap Karen tersenyum.
Anya hanya mampu melongo kebingungan menyikapi tingkah Jackson yang membawa wanita lain di hadapannya.Dirinya tahu bahwa Jackson pernah mengencani Miss Beautiful tapi tidak sadar kalau ternyata mereka masih berhubungan.
Gadis itu akhirnya memutuskan untuk tidak ambil pusing akan kehadiran Karen. Jika Jackson tidak menganggapnya sebagai calon istri, bisa apa dia. Yang penting dirinya sudah berusaha sebaik mungkin menjalankan apa yang di harapkan darinya.
Selama perjalanan menuju club malam, Anya lebih memilih untuk menenggelamkan diri ke dalam lamunannya. Wajahnya menoleh keluar jendela kecil di belakang mobil sport Jackson yang sungguh tidak nyaman. Untung saja kakinya pendek, karena tidak banyak ruang untuk bergerak jika kau duduk di belakang.
Sesekali diliriknya Karen yang sedang menceritakan tentang kesibukannya hari itu, dari satu photo shoot ke photo shoot berikutnya. Lengan wanita itu terus menerus berada di bagian tubuh Jackson. Mengelus lengannya, membelai pahanya, membenahi rambutnya, membuat Anya penasaran, itukah yang biasa dilakukan orang yang sedang berkencan? Mengingat dirinya sendiri belum pernah melakukannya, ia bertanya-tanya, bagaimanakah rasanya menyentuh seseorang yang kau cintai? Atau ketika orang itu membalas sentuhanmu.
Diperhatikannya, Jackson tidak membalas sentuhan Karen. Pria itu tampak menatap lurus ke jalanan, sambil sesekali melirik ke spion. Membuat pandangan mereka beradu beberapa kali ketika dirinya sedang dengan sengaja melirik wajah pria itu dari kaca tengah. Ketika hal itu terjadi biasanya Anya buru-buru mengalihkan pandangannya ke samping.
Dari kaca spionnya, Jackson melirik lagi ke arah wajah Anya yang terpalingkan ke samping. Gadis itu tampak tidak terpengaruh akan kehadiran Karen, yang sebetulnya sengaja di lakukan Jackson dengan harapan Anya cemburu, marah atau tersinggung dan memutuskan untuk mengakhiri perjodohan yang di rencanakan kedua orang tua mereka.
Sialan…Gadis ini sepertinya terlalu bebal atau hanya mengincar kekayaanku hingga tidak peduli dengan adanya wanita lain selama ia bisa menikahiku, umpat Jackson semakin kesal melihat tingkah Anya.
Sesampainya di club yang di tuju, Jackson menggandeng pinggang Karen masuk ke dalam sementara meninggalkan Anya mengekor di belakangnya.
Sekilas diliriknya Anya yang sedang mengerutkan dahinya dengan mata terbelalak dengan pandangan liar menatap ke sekeliling dance floor yang sudah terlihat penuh dengan orang yang berjoget. Bisa di tebaknya ini mungkin kali pertamanya gadis itu masuk ke dalam tempat semacam ini. Dirinya terlihat canggung seolah sedang berada di luar zona nyamannya.
“Apakah kita mendapatkan kursi Vip, sayangku?” tanya Karen mendekatkan bibirnya ke telinga Jackson mengalihkan perhatiannya dari Anya.
Jackson mengangguk dan menunjuk kursi sofa di lantai 2. Memiliki kenalan pemilik Club malam sungguh merupakan sebuah keuntungan. Ketika orang biasa harus berjubel mengantri diluar, Jackson langsung bisa masuk. Bahkan di meja-meja Vip disebelah mereka, tampak orang-orang terpandang di kotanya. Pengusaha, pemilik pabrik, bahkan pejabat, semakin membuat dirinya semakin merasa angkuh. Sesaat tidak disadarinya bahwa Anya sedang kebingungan di dance floor setelah terpisah darinya.
Gadis itu memutar kepalanya ke sekeliling arah mencari sosok pria jangkung yang membawanya kemari. Tapi yang bisa di lihatnya dari tubuh mungilnya hanyalah tubuh orang yang berdesakan disekelilingnya.
Beberapa mulai menghimpit badannya yang kecil, dan bahkan seorang wanita yang sedang berjoget di sebelahnya tanpa sengaja menginjak kakinya yang bersandal terbuka menggunakan high heelnya yang runcing. Membuat Anya melompat ke sakitan dan hampir terjatuh, tepat ketika sepasang tangan kekar menopang tubuhnya.
“Kau tampak kehilangan arah, Nona,” ucap pria itu dari belakang.
Anya berputar dan menatap sepasang mata coklat seorang pria bertubuh kekar. Memakai kemeja putih yang tergulung di lengannya, tampak deretan tato menghiasi lehernya penuh hingga ke lengan, membuat Anya makin melotot ketakutan.
Seorang wanita dengan rambut coklat dan badan jangkung mirip Karen yang model, tapi berwajah jauh lebih menarik dari Karen, berdiri disebelahnya.
“Hush… Kau menakuti gadis ini, Tom,” ucap wanita itu sambil menggandeng pria bernama Tom yang barusan menolongnya. “Aku melihatmu datang bersama Jackson. Pria itu sudah ada diatas, bagaimana kalau ku antar kau naik, sweetie? Aku kebetulan kenal dengan pria playboy itu,” lanjut wanita berbibir merah itu sambil menggandeng tangan Anya.
“Sampaikan salamku untuk, Jackson!” teriak pria dengan pandangan menakutkan itu sebelum berjalan ke arah yang bertentangan.
Anya hanya menurut ketika wanita itu menarik lengannya sambil mendorong orang orang yang berkerumun di sekitarnya.
“Namaku Lucia, tadi adalah kekasihku Tomas, kami pemilik Club malam ini. Jangan khawatir, tidak akan ada yang bisa menginjakmu di ruang Vip, sweetie,” bisik wanita itu ke telinganya. Nada suara Lucia terdengar sangat tenang dan penuh percaya diri membuat Anya merasa aman berada di dekatnya.
“Te..terima kasih, Lucia,” ucapnya sambil berjalan menaiki tangga ke lantai 2.
“Jangan sungkan. Kurang ajar sekali Jackson sudah meninggalkan gadis selembut dirimu sendirian di tengah-tengah kerumunan orang-orang barbar di bawah,” decak wanita itu.
Perlahan sosok Jackson muncul di pandangan Anya. Tampak tidak sadar bahwa Anya sudah tertinggal, pria itu sedang duduk bersilang kaki sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Karen yang tampak sedang membisik kan sesuatu di telinganya.
“Jackson!” teriak Lucia menggelegar. Suara nya mampu mengalahkan dentuman musik yang berdetak kencang dari speaker. “Teganya kau membawa adik kecilmu ke tempat ini dan meninggalkannya di bawah sementara kau bermesraan di sini?”
Jackson menoleh ke arah Lucia dan langsung melebarkan sebuah senyuman di wajahnya sambil berdiri. Lengannya terbuka dan memeluk wanita bergaun lengan panjang selutut itu sambil berkata, “Nona Lucia Salazar, bagaimana kabarmu dan Tomas? Dan aku tidak meninggalkannya, kukira dia ke toilet tadi.”
Jackson melirik ke arah Anya yang masih berdiri kaku di belakang Lucia.
“Tomas baik baik saja. Dia menyampaikan salam untukmu. Baiklah, aku sudah mengantarkan anak domba kecilmu yang tersesat. Aku masih banyak urusan. Sampai jumpa lagi, dan selamat menikmati malam minggumu,” balas Lucia sebelum berbalik ke arah Anya. “Laporkan padaku jika Jackson berani meninggalkanmu lagi, sweetie.”
Anya tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Terpesona oleh kepercayaan diri yang terpancar darinya benar benar berbanding terbalik dengan dirinya.