Bab 8: Tamparan Emely untuk Blue 1

991 Kata
*** Emely terbaring di atas ranjang yang luas. Tubuh polosnya tertutupi kain tebal yang membungkus dengan kehangatan. Cahaya matahari pagi mulai menyelinap lembut melalui celah tirai, menciptakan bayangan halus di dinding dan garis-garis cahaya yang menerpa kulit pucatnya. Wajahnya tampak tenang, seolah-olah menandakan ia masih terjebak dalam sisa-sisa mimpi. Namun, keningnya mulai berkerut tipis, tanda wanita itu mulai tersadar dari tidurnya. Emely menggeliat pelan, mencoba mengubah posisi tubuhnya yang terasa kaku. Namun, gerakan itu justru memicu rasa nyeri di sepanjang punggung hingga ke pundaknya. Sebuah helaan napas panjang lolos dari bibirnya, diikuti oleh desahan kecil. Kepalanya terasa berat, seolah-olah dipenuhi kabut tebal. Membuatnya enggan membuka mata meski kesadaran perlahan menyeruak. Tangannya terangkat perlahan, mengusap wajah yang masih hangat karena sisa tidur. Ia berusaha mengusir rasa pusing di pelipisnya. Kamar itu sunyi, hanya detak jarum jam yang samar terdengar. Menciptakan kesan hening yang menusuk. Dalam keheningan itu, tubuh Emely berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan yang mulai menyapa. Setelah beberapa saat, Emely pun berhasil membuka matanya. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya fokus pada plafon kamar yang asing. Seketika keningnya mengerut lebih dalam. Rasa bingung menyeruak, mengguncang hatinya. Dengan gerakan hati-hati, ia mengangkat selimut yang membungkus tubuh dan mendapati dirinya tak berbalut sehelai kain pun. Matanya membelalak. Ada keterkejutan yang melintas di wajahnya, tetapi itu segera digantikan oleh ekspresi datar. Jantungnya berdebar kencang saat potongan kejadian semalam mulai menyeruak dalam pikirannya. “Tahan sebentar. Mungkin ini akan terasa sakit bagimu.” “Ahh, Emely ..., oh, f**k!” Ingatan itu menyergap tanpa ampun. Napas Emely memburu, dadanya naik-turun cepat. Kilasan suara desahan dan sentuhan yang membuatnya kehilangan kendali kembali terputar seperti film. Sosok pria itu. Sentuhan yang terlalu intim. Kenikmatan bercampur penyesalan. Semua berputar-putar di pikirannya, menciptakan pusaran emosi yang membuat tubuhnya gemetar. Emely memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Namun, berbagai pertanyaan terus bermunculan dalam benaknya. Apa yang sudah ia lakukan? Mengapa ia membiarkan hal itu terjadi? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Namun, lamunannya buyar ketika suara berat dan rendah terdengar di ruangan. “Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?” Suara itu, suara yang begitu dikenalnya dari semalam, bergema di tengah keheningan. Emely tersentak, hampir berteriak. Ia mendongakkan kepala, lalu matanya bergerak cepat mencari sumber suara. Pandangannya akhirnya tertuju pada sosok pria di sudut kamar. Blue duduk dengan santai di atas sofa, hanya mengenakan celana panjang santai. Rambut hitamnya tampak acak-acakan, tetapi wajahnya tetap menyiratkan pesona yang mengintimidasi. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah-olah pria itu menikmati kekacauan yang terlihat jelas di wajah Emely. “Blue ....” Suara Emely bergetar, hampir tak terdengar. Ia menatap pria itu dengan campuran rasa marah, bingung, dan malu. Emely menegakkan tubuhnya di atas kasur. Sebelah tangannya menahan selimut di d**a dengan genggaman erat, sementara sepasang matanya menatap Blue dengan penuh kebencian. Di sisi lain, Blue menegakkan tubuh, bangkit dari duduknya, lalu melangkah ringan dan berhenti di dekat ranjang. Ia menyodorkan ponsel kepada Emely. “Telepon ibumu karena dia sudah berulang kali menghubungimu,” ujarnya. Saat Emely hendak mengambil ponsel darinya, ia justru sengaja menjauhkan benda tersebut, membuat wanita itu makin menatap tajam padanya. “Katakan padanya, bahwa kau sedang di apartemenmu. Sengaja terlambat bangun karena sangat kelelahan. Jika dia bertanya ke mana kamu semalam, jawab saja bahwa kamu tidak pergi ke mana-mana.” Blue kembali menyodorkan ponsel itu ke arah Emely. “Kau tidak berhak memerintahku seperti ini! Memangnya kau pikir kau siapa?” Emely menatap kesal pada Blue. Lalu, dengan gerakan kasar, ia merampas ponsel dari tangan pria itu. “Aku Blue Sinclair,” jawab Blue. Ia tertawa pelan saat melihat ekspresi Emely. Wanita itu menampilkan wajah yang penuh kebencian terhadapnya. “Kecuali jika kau ingin kejadian di club terbongkar, silakan saja jawab pertanyaan ibumu sesuka hatimu,” lanjutnya dengan nada yang tenang tetapi tajam. Emely terdiam, tidak mengatakan apa pun lagi. Ia tahu, apa yang Blue katakan memang benar. Jika ia salah menjawab, kejadian semalam di club pasti akan langsung diketahui oleh ibunya. Emely termenung, tampaknya tengah mempertimbangkan banyak hal. Lantas, ia menghela napas pendek sebelum fokus menatap layar ponsel. Dengan perlahan, ia membawa benda itu ke telinga kanan, menunggu teleponnya di jawab oleh sang ibu. “Halo, Sayang.” Suara Lucia terdengar di telinga Emely. “Kamu baik-baik saja, kan, di sana?” tanya wanita paruh baya itu dengan nada khawatir. Sejenak, Emely menghela napas dan melirik tajam pada Blue. “Iya, Mom, aku baik-baik saja. Aku baru bangun, jadi tadi tidak dengar saat kamu menelepon,” jawabnya meski dengan nada ragu. Ia menatap curiga saat Blue naik ke ranjang dan mengambil posisi di belakang tubuhnya. Emely merasa gugup ketika pria itu mengecup lembut punggungnya yang polos. Ia berusaha untuk bergerak menjauh, tetapi sebelum sempat melakukannya, pria itu dengan sigap melingkarkan tangan kekarnya di sekitar perutnya. Menahan Emely dengan lembut tetapi kuat, seolah-olah tak memberinya ruang untuk melarikan diri. Tubuh Emely berakhir bersandar pada d**a pria itu. Emely terjebak, tak punya pilihan selain pasrah dalam pelukan Blue. “Tumben kamu bangun siang, Sayang?” Suara Lucia kembali terdengar di seberang telepon. Emely menelan salivanya dengan susah payah. “Iya, Mom .... Kemarin ... aku banyak tugas di kampus yang membuatku sangat lelah,” jawabnya berkilah, dengan suara yang gemetar. Bibirnya bahkan sedikit bergetar, tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang dirasakan. Bagaimana mungkin Emely tidak gugup ketika Blue, yang berada di belakangnya, dengan nakal menyentuh dadanya? Pria itu menangkupnya, meremas dengan lembut, dan sesekali memainkan putingnya—memelintir dengan ibu jari dan telunjuk. Emely menggigit bibir, berusaha menahan diri agar tidak meloloskan desahan akibat sentuhan pria itu. Dengan sekuat tenaga, ia mencengkeram pergelangan tangan Blue, mencoba menghentikan gerakan tersebut. Namun, kekuatannya tak sebanding dengan tenaga pria itu, membuat usahanya berakhir sia-sia. Bukannya menjauh, Blue justru makin nekat. Ia menarik tubuh Emely yang molek, membiarkannya bersandar pada sandaran ranjang. Selimut tebal yang sebelumnya menutupi tubuh wanita itu pun disingkirkan tanpa ragu. Emely menunjukkan protes, tetapi bukan lewat kata-kata, melainkan melalui tatapan tajam yang penuh perlawanan. Namun, Blue seperti biasanya, tidak memedulikan reaksi tersebut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN