Bab 7: Blue Yang Manipuliatif

2596 Kata
Residenza Aurelia Nova, Roma, Italia. Di jantung Kota Roma, Italia, terdapat sebuah kompleks perumahan eksklusif bernama Residenza Aurelia Nova. Berlokasi tidak jauh dari Vatikan, kawasan ini menjadi tempat tinggal kalangan atas, dengan rumah-rumah modern yang diberi sentuhan klasik. Setiap rumah memiliki fasad megah dengan jendela-jendela besar dan pintu kayu berukir, dihiasi tanaman bougenville yang menjalar indah di dinding luar. Jalan setapak yang melintasi kompleks itu terbuat dari batu basalt yang khas, memberikan nuansa Roma kuno yang tak lekang oleh waktu. Sebuah rumah bercat putih gading dengan taman depan kecil yang dipenuhi mawar tampak sunyi di siang itu. Di balik salah satu jendelanya yang besar, terlihat Lucia—seorang wanita paruh baya dengan rambut cokelat keemasan—tengah duduk di sofa ruang tamu. Lucia duduk dengan gelisah, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Di tangannya, ponsel berwarna hitam terus ia genggam erat. Jemarinya yang lentik sesekali mengetuk-ngetuk layar, mencoba kembali menghubungi seseorang yang sangat ia khawatirkan. Putrinya, Emely, yang kini tinggal jauh di New York. Nada tunggu terdengar, tetapi seperti sebelum-sebelumnya, panggilan itu berakhir tanpa jawaban. “Astaga, kenapa dia tidak menjawab teleponku?” gumamnya dengan suara sarat akan emosi. Lucia meletakkan ponsel di pangkuannya sejenak. Kemudian, kedua tangannya ia satukan di depan d**a, mencoba meredakan rasa cemas yang terus menggerogoti pikiran. Matanya yang sendu melirik ke arah jam dinding bergaya klasik di ruang tamu. Jarumnya menunjukkan pukul dua siang. Di sana mungkin masih pagi, tapi apa dia benar-benar sesibuk itu? pikirnya menerka-nerka. Ia bangkit dari sofa lalu berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman kecil di depan rumah. Lucia memandang ke luar, memperhatikan jalanan sepi di kompleks perumahan itu. Pohon-pohon pinus Italia yang menjulang tinggi di sepanjang jalan memberikan bayangan teduh, sementara kicau burung gereja terdengar samar di kejauhan. Namun, semua ketenangan itu tidak berarti apa-apa baginya. Lucia kembali mengambil ponsel yang tadi beralih ia letakkan di meja. Kali ini, ia mengetikkan pesan singkat untuk putrinya. Lucia Emely, Mommy sudah meneleponmu berkali-kali. Tolong kabari Mommy segera kalau kamu baca pesan ini. Mommy khawatir. Pesan itu terkirim, tetapi hanya meninggalkan tanda centang satu di layar, menandakan bahwa Emely belum menerimanya. Lucia mendesah panjang, merasa makin frustrasi. Ia kemudian berjalan menuju dapur yang berada di sudut ruangan dan mengambil segelas air mineral untuk meredakan kekhawatirannya. Sementara itu, sebuah sedan hitam mewah dengan logo berkilauan meluncur perlahan memasuki halaman. Mobil itu bergerak mulus menuju area parkir khusus di samping rumah, berhenti dengan presisi yang sempurna. Mesin mobil dimatikan lalu suara pintunya yang terbuka terdengar. Erlan melangkah turun dari mobil. Pria itu mengenakan setelan casual—kemeja linen biru muda yang digulung hingga siku dan celana panjang abu-abu gelap. Dengan langkah mantap, ia menuju pintu utama rumahnya yang terbuka otomatis begitu ia mendekat. Begitu masuk ke rumah, pria itu langsung mengeluarkan suaranya. “Cia!” panggil Erlan dengan nada lembut, seperti kebiasaannya saat memanggil sang istri. Suara baritonnya menggema di ruang tamu yang luas dan tertata rapi. “Baby?” panggilnya lagi, kali ini dengan suara sedikit lebih keras. Beberapa saat kemudian, Lucia muncul dari arah dapur. Rambut cokelat keemasan yang tergerai rapi membingkai wajah cantiknya, meski saat itu tampak dihiasi kecemasan. Erlan langsung menangkap ekspresi gelisah di wajah sang istri. Alisnya sedikit terangkat. “Sayang, kamu sudah pulang?” sambut Lucia dengan senyuman kecil. Erlan mengangguk pelan sambil memasukkan tangan ke saku celana. “Hmm.” Dehaman singkat meluncur dari bibirnya. Tatapan tajamnya meneliti wajah sang istri. “Kenapa wajahmu seperti itu? Ada masalah?” tanyanya, tak ingin membuang waktu. Lucia menggigit bibir bawahnya, menatap Erlan sesaat sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Aku mencoba menghubungi Emely dari tadi, Sayang, tapi teleponku tidak dijawab. Satu pun,” jawabnya dengan suara yang terdengar sangat khawatir. Erlan memiringkan kepala sedikit, mencoba mencerna situasi. “Hari ini hari Minggu dan di sana masih pagi, mungkin saja dia masih tidur,” duganya. Lucia menggeleng pelan. “Tidak biasanya Emely begini. Mau itu hari libur sekalipun, dia selalu bangun pagi, Lan, bahkan lebih pagi dari kita.” Ekspresi Erlan berubah sedikit serius. Ia mengalihkan pandangannya dari sang istri dan menarik napas pendek sebelum bertanya dengan suara yang lebih rendah. “Early ke mana?” Orang yang ia maksud adalah putra bungsu mereka, adik Emely. “Tadi dia ke luar. Katanya mau bertemu sebentar dengan temannya,” jawab Lucia sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Erlan mengangguk sekali. “Tenanglah,” hiburnya. “Biar aku yang menghubungi mereka. Aku akan memastikan keadaan Emely.” Lucia mengangguk kecil. “Ya, Sayang,” balasnya pelan. Ia lalu menutup mata ketika Erlan mendekat dan mengecup lembut bibirnya. Setelah menenangkan istrinya, Erlan bergerak menuju ruang tamu. Ia menjatuhkan tubuhnya dengan santai ke atas sofa kulit berwarna cokelat tua. Pandangannya tertuju pada ponsel di tangan, jari-jarinya lincah mengetik sesuatu sebelum akhirnya ia menyentuh ikon panggil. Di layar ponsel, terlihat nama salah satu bodyguard pribadi yang ia tugaskan untuk menjaga Emely. Erlan menunggu dengan sabar, sementara nada sambung terdengar di telinganya. *** “Daddy, jangan lupa, ya, jangan biarkan Mommy pergi. Harus tunggu aku pulang sekolah. Oke, Daddy?” Untuk yang kesekian kalinya, Amara memohon pada sang ayah dengan mata berbinar penuh harap. Gadis kecil itu memandang pria di hadapannya dengan raut wajah serius, seolah-olah janjinya adalah harga mati yang tak bisa dilanggar. Blue menghela napas pelan. Ia membungkuk sedikit hingga tubuhnya sejajar dengan gadis kecil itu, lalu menatapnya dengan tatapan penuh kelembutan. Bibirnya melengkung dalam, membentuk senyuman lembut. “Ya, Daddy janji. Mommy tidak akan pergi tanpa menunggumu pulang,” katanya. Ia lalu mengecup puncak kepala Amara dengan penuh kasih sayang. “Belajar yang rajin, ya, dan jangan lupakan pesan-pesan Daddy.” Amara mengangguk antusias, wajah cerianya tak terbendung. Senyuman yang terpancar di wajah gadis kecil itu berbeda dari biasanya. Lebih lepas, lebih hidup. Semua itu karena Emely, wanita yang Amara percayai sebagai ibunya. Namun, Blue tahu kebenarannya. Wanita itu bukanlah ibu kandung Amara, melainkan sebuah ilusi yang ia ciptakan demi kebahagiaan putrinya—dan niat terselubungnya terhadap Emely. Ketika Amara akhirnya pergi bersama Gina menuju sekolah, Blue tetap berdiri di teras depan. Pandangannya tak lepas dari gerbang besar yang kini ditutup rapat oleh para bodyguard. Sekilas ia tampak seperti memandangi sesuatu di kejauhan, tetapi pikirannya tengah terfokus pada hal lain. Pria itu merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel, lalu mulai mengetik sesuatu di layar sebelum menempelkannya ke telinga. Setelah beberapa detik, panggilannya pun terhubung. “Halo, selamat pagi, Sir.” Terdengar suara Porter, asistennya yang setia, dari ujung telepon. “Pagi, Porter,” balas Blue datar. “Apakah kau sudah bertemu mereka?” Ia langsung bertanya pada intinya. “Sudah, Sir. Saat ini mereka sedang bersama saya dalam perjalanan menuju kediaman Anda,” jawab Porter sigap. Blue mengangguk kecil meski Porter tak bisa melihatnya. “Bagus. Aku tunggu mereka di rumah. Jangan terlalu lama.” “Baik, Sir.” Setelah panggilan berakhir, Blue menurunkan ponselnya dan menyimpan kembali perangkat pintar itu ke saku celana. Ia berdiri sejenak, menatap halaman rumah yang luas sekaligus asri. Pria itu kemudian berbalik dan melangkah masuk rumah. Begitu melewati ruang depan, pandangannya sekilas menangkap seorang pelayan yang tengah sibuk membereskan perabotan. Tanpa menghentikan langkah, Blue berkata, “Buatkan aku teh. Jangan terlalu manis.” Pelayan itu segera menjawab dengan sopan. “Baik, Tuan.” Ia langsung bergerak menuju dapur, meninggalkan tugas sebelumnya untuk memenuhi perintah sang majikan. Blue berjalan ke sofa di ruang TV, menghentikan langkahnya sejenak sebelum meraih remote yang tergeletak di atas meja kaca. Dengan gerakan santai, ia duduk di sofa. Tubuhnya tenggelam dalam bantalan empuk. Pria itu lalu menyalakan televisi, memindah-mindahkan saluran dengan ekspresi datar. Sebenarnya, ia tak benar-benar mencari tontonan menarik. Layar menyala hanya untuk mengisi keheningan yang melingkupi ruangan itu. Keheningan yang seolah-olah menggaung di pikirannya. Blue melirik jam di dinding. Waktu seperti berjalan lambat, seakan-akan sengaja mengujinya dengan rasa bosan yang terus membayangi. Di sela keheningan, ketukan langkah seorang pelayan muncul dari arah dapur. Wanita itu membawa nampan kecil dengan secangkir teh yang mengepul di atasnya. “Permisi, Tuan,” ucap pelayan itu sopan seraya menunduk sedikit, meletakkan cangkir teh di meja. “Silakan diminum, Tuan.” Blue hanya mengangguk tipis, lalu mengambil cangkir itu dengan gerakan ringan. “Terima kasih,” katanya singkat. “Sama-sama, Tuan.” Pelayan itu buru-buru melangkah pergi, meninggalkan ruangan untuk melanjutkan tugasnya yang tertunda. Blue membawa cangkir itu ke bibirnya, meniup sedikit sebelum menyeruput teh hangat tersebut. Rasanya pas, tidak terlalu manis seperti yang ia minta. Ia menyeruput teh beberapa kali dengan tenang, membiarkan kehangatan meresap ke tubuhnya. Setelah cangkir kembali diletakkan di meja, Blue memejamkan mata sejenak, menikmati ketenangan sesaat. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Setelah sekitar dua puluh menit menunggu, derap langkah terdengar dari arah depan rumah. Blue membuka mata, segera bangkit dari sofa, dan melangkah ke ruang depan. Di sana, Porter telah tiba bersama dua pria berbadan tegap serta berseragam hitam, yang tampak menunggu dengan kaku di dekat pintu masuk. Blue berhenti beberapa langkah di depan mereka, pandangannya datar. Ia menelusuri kedua pria itu dengan tatapan penuh penilaian. “Kalian sudah tahu kalau semalam Emely berada di Azure Nightclub?” tanyanya tiba-tiba. Suaranya memecah keheningan. Pertanyaan itu membuat kedua bodyguard saling berpandangan. Raut bingung menghiasi wajah mereka sebelum salah satunya memberanikan diri untuk menjawab dengan nada yakin. “Semalam Nona Emely tidak keluar, Tuan. Dia berada di apartemen.” Blue mendengar jawaban itu sambil menarik sudut bibirnya dalam senyuman kecil yang sarkastik. Ia memalingkan pandangan, menahan tawa tanpa suara sambil menggeleng pelan. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah ke sofa di ruang depan, duduk dengan santai, dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Tatapannya kembali terarah pada kedua pria itu, kali ini lebih tajam. “Sekarang sudah hampir jam sepuluh pagi dan kalian masih berpikir Emely ada di apartemennya?” Suaranya dingin, penuh sindiran. Membuat kedua bodyguard itu makin gelisah. Salah satu dari mereka memberanikan diri bertanya, “Apa maksud Anda, Tuan?” Blue mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, memperhatikan mereka dengan intens. “Emely ada di kamarku, dan dia masih tidur.” Pernyataan itu membuat kedua bodyguard tertegun. Tatapan heran mereka tak bisa disembunyikan, tetapi keduanya juga tak berani bereaksi berlebihan di hadapan Blue. Sementara itu, Porter tetap berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi tenang, seolah-olah sudah terbiasa dengan situasi semacam ini. “Semalam, Emely datang ke club bersama teman-temannya,” ujar Blue akhirnya. Suaranya kembali memecah keheningan. “Dia merayakan pesta di sana, dan kabar buruknya …,” ia berhenti sejenak, “dia diberi obat perangsang oleh salah satu temannya.” Kedua bodyguard itu sontak tertegun. Kekagetan jelas terlihat di wajah masing-masing. Salah satu dari mereka bahkan tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi cepat-cepat mengurungkannya saat tatapan Blue menyipit, memberikan peringatan tanpa kata. Blue menghela napas panjang lalu mengangkat bahu dengan cuek. “Oke, langsung saja ke intinya.” Ia bersandar, kembali melipat tangan di d**a sebelum melanjutkan, “Aku memanggil kalian ke sini karena ada sesuatu yang perlu kalian lakukan untukku.” “Apa itu, Tuan?” Salah satu bodyguard bertanya. Blue memiringkan kepalanya sedikit, memandang mereka dengan ekspresi tajam. “Jangan bocorkan apa pun kepada Erlan atau mereka semua—Blaxton, William, atau Sanders.” Saat salah satu bodyguard hendak membuka mulut untuk merespons, tetapi Blue langsung mengangkat tangannya, menghentikan mereka. “Aku belum selesai.” Kedua bodyguard itu langsung menutup mulut rapat-rapat, sementara tubuh mereka makin kaku. “Mulai sekarang, Emely akan lebih sering tinggal di rumah ini daripada di apartemennya. Jika Erlan atau siapa pun bertanya, kalian wajib mengatakan bahwa Emely baik-baik saja di apartemennya. Katakan, dia melakukan aktivitas seperti biasa. Tidak ada yang mencurigakan, semuanya harus tampak sempurna. Apakah ucapanku jelas?” pinta Blue. “Tuan, bagaimana mungkin kami bisa berbohong kepada Tuan Erlan? Jika ketahuan, kami pasti dihukum, Tuan,” protes sang bodyguard. Blue hanya mengangkat bahu. Ekspresinya dingin dan tak peduli. “Itu bukan masalahku. Tapi, jika kalian menolak perintahku atau berani melawanku, aku tidak akan ragu melaporkan keteledoran kalian kepada Erlan. Apalagi kalian hampir membiarkan Emely celaka semalam. Dia nyaris dilecehkan di club. Jika Erlan atau Blaxton mengetahui itu, menurut kalian, apa yang akan mereka lakukan?” Kedua bodyguard itu terdiam. Keringat dingin mulai membasahi pelipis mereka. Kedua pria itu saling berpandangan, kebingungan tergambar jelas di wajah mereka. “Pilihan ada di tangan kalian.” Blue bersandar kembali, memandang mereka dengan tajam. “Dan, aku butuh jawaban kalian sekarang. Yes or no?” Pria itu seolah-olah sengaja melirik jam tangannya. “Lima menit untuk berpikir.” Namun, sebelum mereka bisa bernapas lega, Blue menambahkan dengan santai. “Ah, terlalu lama. Dua menit saja.” Kedua bodyguard itu tampak makin gugup. Mereka saling berpandangan sekali lagi, mencoba mencari solusi dalam kebisuan. Namun, Blue tampaknya tidak tertarik memberikan mereka waktu untuk berdiskusi. “Dua menit terlalu panjang juga. Sekarang, waktu kalian hanya dua detik.” “Apa?” Mata kedua bodyguard kompak membelalak. “Satu setengah detik .…” Blue sengaja mempermainkan mereka dengan nada pelan. “Kami setuju, Tuan!” ucap mereka serempak. Keringat dingin makin banyak mengalir di wajah kedua pria itu. Porter—yang berdiri di sudut ruangan—nyaris tersenyum. Ia bahkan menahan tawa yang hampir meledak, merasa geli menyaksikan kedua bodyguard itu begitu ketakutan di hadapan Blue. “Bagus! Pilihan yang sangat cerdas.” Blue tersenyum tipis, tatapan tajamnya melemah menjadi sekilas ekspresi puas. Ia menegakkan tubuh, bangkit dari duduknya. “Kalian tahu bahwa di dunia ini tidak ada yang menjual nyawa cadangan. Pilihan kalian untuk mematuhiku adalah keputusan yang benar.” Blue memandang kedua bodyguard itu sejenak. “Jika Erlan memberikan informasi apa pun pada kalian, kabari aku. Ingat, meskipun kalian bekerja untuk Erlan, mulai sekarang, kalian juga menjadi sekutuku,” tegasnya sebelum memutar tubuh lalu melangkah lebar, meninggalkan mereka yang masih berdiri kaku di tempat. Salah satu bodyguard—yang sejak tadi mencoba menenangkan diri—menghela napas panjang. “Wah, masalah besar ini,” gumamnya sambil menggaruk pelipis meski tak ada rasa gatal di sana. Rekannya hanya menatap sekilas, sebelum mengalihkan pandangan ke Porter yang masih berdiri tegak di sudut ruangan. Porter mengedikkan bahu ringan, ekspresinya netral. “Mulai sekarang, kalian harus lebih berhati-hati. Kalian berada di posisi yang sulit. Dan, jangan lupa ….” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya melembut menjadi bisikan. “Blue Sinclair adalah pria yang manipulatif. Jika kalian ceroboh, kalian sendiri yang akan menanggung akibatnya.” Kedua bodyguard itu tertegun. Mereka saling berpandangan, lalu menatap Porter dengan ekspresi bingung sekaligus khawatir. “Sudahlah.” Porter mengibaskan tangan di udara dengan santai. “Urusan kalian di sini sudah selesai. Sekarang pergilah!” Tak ingin memperpanjang masalah, kedua bodyguard itu pun mengangguk serempak. Tanpa banyak bicara, mereka segera meninggalkan kediaman Blue. Di sisi lain, setelah memastikan semuanya beres, Blue berjalan santai menaiki tangga menuju lantai atas. Kini, ia berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan gerakan halus, ia membuka pintu tanpa suara, kemudian melangkah masuk ke ruangan yang nyaman dan redup. Di tengah-tengah ruangan, matanya segera tertuju pada ranjang besar yang mendominasi kamar. Di atasnya, tubuh molek sang wanita masih berbaring, kali ini dengan posisi melingkar. Wajahnya tenggelam di antara bantal-bantal empuk. Napasnya teratur, menunjukkan bahwa ia masih terlelap dalam tidurnya. Wanita itu adalah Emely, si Kucing Liar yang kini berada di bawah kendali Blue. Blue berdiri diam di sana untuk beberapa saat. Kedua tangannya diselipkan di saku celana, sementara tatapan tajamnya menatap ke arah ranjang. Beberapa detik kemudian, pria itu pun bergerak menuju sofa yang berada di sisi ruangan. Ia duduk dalam gerakan tenang, melemparkan tubuhnya ke sandaran dengan santai. Satu kakinya ia tumpangkan di atas kaki yang lain, lalu ia memandang ke arah ranjang dengan sabar “Tidurlah sepuasmu, Emely,” gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Karena hari ini kita akan berbicara panjang. Sangat panjang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN