Jeritan penuh kenikmatan bergema di seluruh ruangan, menggema dalam setiap sudut seolah menciptakan melodi yang membakar semangat Blue. Setiap nada yang keluar dari bibir Emely seakan menjadi bahan bakar yang tak henti-hentinya menyulut gairah Blue, membuatnya semakin menggebu-gebu.
***
Esok paginya…
"Selamat pagi, Nona Amara sudah bangun rupanya?" sapa seorang wanita lembut yang mengenakan seragam pengasuh rapi berwarna biru pastel. Wajahnya yang selalu dihiasi senyuman ramah itu adalah Gina, seorang pengasuh penuh bagi Amara, bocah kecil berusia empat tahun itu.
"Selamat pagi juga, Nanny," balas Amara dengan ceria, sudut bibir mungilnya melengkung manis. Gadis kecil itu sedang duduk di atas ranjangnya, memeluk erat boneka kelinci favoritnya yang sudah agak lusuh karena sering dipeluk.
Gina mendekat dengan langkah ringan, lalu duduk di tepi ranjang, tepat di samping Amara. Tangannya yang hangat mengusap pelan rambut Amara yang masih sedikit berantakan.
"Bagaimana tidurmu semalam? Apakah nyenyak... atau sangat nyenyak?" tanyanya dengan nada riang, seperti kebiasaan yang ia lakukan setiap pagi. Gina tahu pertanyaan ini sering kali mengundang tawa kecil dari Amara, tapi pagi ini reaksi gadis kecil itu berbeda.
Amara menggeleng pelan, mata bulatnya menatap lurus ke arah boneka kelinci di pangkuannya. Wajah cerianya berubah sedikit murung.
Gina mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Amara. "Kenapa, sayang? Boleh Nanny tahu alasannya?" tanyanya dengan suara lembut.
Amara mengangkat kepalanya perlahan, menatap wajah Gina dengan mata besar yang mulai terlihat berkaca-kaca. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya menjawab, "Karena semalam aku tidak sempat lihat Daddy." Suaranya terdengar lirih, penuh rasa rindu.
Gina menghela napas panjang. Ia tahu betapa pentingnya kehadiran seorang Ayah bagi gadis kecil ini. "Daddy kan lembur di kantor, sayang. Nanny sudah jelaskan kemarin malam, kan?" ujarnya sambil mengusap lembut punggung Amara.
Gadis kecil itu mengangguk pelan, tapi senyumnya belum kembali. "Iya, aku tahu, Nanny. Aku nggak marah kok. Aku ngerti kalau Daddy sibuk kerja buat aku... dan buat jemput Mommy pulang, iya kan, Nanny?" katanya dengan nada polos namun sarat dengan harapan.
Gina tertegun. Kata-kata Amara menusuk relung hatinya. Gadis kecil itu terlalu pintar untuk usianya, terlalu dewasa dalam memahami situasi yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan.
Gina mencoba tersenyum. "Iya, Amara benar. Daddy bekerja keras untuk Amara, dan supaya Mommy bisa pulang suatu hari nanti," jawabnya, berusaha menyembunyikan kesedihan di suaranya. Ia tahu betapa besar kerinduan Amara terhadap sosok Ibunya yang tak pernah terlihat wujudnya—bahkan Amara sendiri tidak tahu seperti apa wajah Ibunya meskipun hanya sekedar lewat selembar foto.
“Sudah, Amara jangan sedih lagi ya?” ujar Gina sambil mengulas senyum. Tangannya dengan gerakan lembut membelai rambut halus Amara yang masih sedikit acak-acakan. “Sekarang lebih baik kita mandi, lalu bersiap-siap, dan setelah itu sarapan sebelum berangkat ke sekolah.”
Amara menatap Gina dengan wajah serius. “Aku mau ke kamar Daddy sebentar, Nanny. Aku mau ketemu. Sebentar saja, please?” pintanya dengan penuh harap.
Gina terdiam, menyimak permintaan Amara. Ia tahu gadis kecil itu merindukan Ayahnya, tetapi ia juga paham bahwa majikan-nya itu pasti sangat lelah setelah lembur hingga larut malam. Setelah beberapa saat mempertimbangkan, Gina menjawab dengan suara lembut, “Sepertinya Daddy masih tidur, sayang.”
“Sebentar saja, Nanny. Kalau Daddy masih tidur, aku janji nggak akan membangunkannya. Aku cuma mau lihat Daddy. Cuma lihat, sebentar saja,” kata Amarah bersungguh-sungguh.
Gina menghela napas panjang. Ia memahami perasaan gadis kecil itu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah, tapi janji ya? Kalau Daddy masih tidur, Amara tidak boleh membangunkannya. Kasihan Daddy, semalam pasti lelah sekali setelah pulang kerja,” ujarnya.
Amara mengangguk penuh semangat. “Iya, aku janji, Nanny!” katanya dengan senyum lebar yang membuat Gina tersenyum tipis.
Tanpa menunggu lebih lama, Amara turun dari tempat tidur dengan cekatan. Kakinya yang mungil berlari kecil keluar dari kamar, meninggalkan Gina yang hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat semangat bocah itu. Gina berdiri, membereskan sedikit sprei di atas ranjang sebelum menyusul Amara perlahan.
Sementara itu, Amara sudah sampai di depan kamar Ayahnya. Kamar itu berada di ujung koridor, tiga pintu dari kamarnya sendiri. Dengan hati-hati, ia membuka pintu.
Amara mendorong pintu kamar Ayahnya yang tidak terkunci dan melangkah masuk. Suasana kamar itu jauh berbeda dari biasanya. Biasanya, kamar sang Ayah selalu rapi dan teratur, tetapi pagi ini terlihat berantakan. Pakaian pria dan wanita bercampuran, berserakan di lantai. Namun, dengan kepolosannya, Amara tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Matanya langsung tertuju ke arah ranjang. Senyum kecil tersungging di bibirnya ketika ia melihat sang Ayah, Blue, tengah tertidur pulas. Tetapi senyumnya perlahan memudar ketika matanya menangkap sosok lain—seorang wanita asing yang tertidur di samping Ayahnya. Wanita itu membelakangi Blue, tubuhnya terbungkus selimut yang sama.
Kening Amara berkerut. Ia menatap wanita itu dengan bingung. ‘Wanita itu siapa ya?’ bisiknya dalam hati. Kakinya yang mungil melangkah perlahan mendekat ke arah ranjang, matanya bergantian menatap Ayahnya dan wanita itu.
‘Atau... jangan-jangan dia Mommy?’ pikir Amara penuh harap. ‘Mungkin semalam Daddy terlambat pulang karena pergi menjemput Mommy? Kalau begitu, kenapa Mommy tidak bangun menyapaku?’
Kini Amara sudah berada di sisi ranjang. Ia memperhatikan Ayahnya yang tidur miring, wajahnya terlihat damai. Perlahan, ia menaikkan salah satu kakinya ke pinggir ranjang, berusaha mendekat untuk mencium pipi Ayahnya. Meski sedikit kesulitan, akhirnya ia berhasil. Bibir mungilnya menyentuh lembut pipi Ayahnya sebelum ia cepat-cepat turun kembali ke lantai, takut mengganggu tidur Ayahnya.
Namun, tindakannya itu cukup untuk membangunkan Blue. Pria itu menggeliat pelan sebelum matanya terbuka, terlihat sedikit linglung. Ia menoleh ke arah Amara, dan rasa terkejut terpancar di wajahnya. "Sayang?" gumamnya dengan suara serak, masih setengah sadar. Ia melirik ke samping, di mana Emely masih tertidur pulas. Seketika, raut wajahnya berubah gugup.
"Daddy, maafkan aku. Aku nggak bermaksud membangunkan Daddy," ucap Amara cepat, suaranya terdengar penuh penyesalan.
Blue menghela napas pendek, mencoba menenangkan dirinya. Dengan cekatan, ia menegakkan tubuh sambil menggenggam selimut erat-erat, memastikan kain tebal itu tetap menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Tidak apa-apa, sayang. Sekarang memang sudah waktunya Daddy bangun. Terima kasih ya, Amara sudah ke sini, jadi Daddy nggak sampai kesiangan," ujarnya dengan lembut, berusaha mengalihkan perhatian putrinya.
Amara mengangguk perlahan, senyumnya kembali mengembang. “Iya, Daddy.”
Blue melirik situasi sekeliling, menyadari betapa tidak pantasnya kondisi kamar ini untuk dilihat oleh putrinya. “Amara, boleh Daddy minta tolong untuk membelakangi Daddy sebentar? Daddy mau bersiap dulu,” pintanya dengan nada tenang.
Amara tidak berpikir panjang. Ia mengangguk dengan antusias dan segera memutar tubuhnya, membelakangi Ayahnya. “Iya, Daddy!” jawabnya..
Begitu Amara membelakangi, Blue dengan cepat turun dari ranjang, memungut handuk yang tergeletak di lantai, dan melilitkannya ke pinggangnya dengan sigap. Ia memastikan dirinya sudah cukup rapi sebelum memberi tahu putrinya. “Sudah, sayang. Sekarang boleh lihat Daddy lagi,” katanya sambil tersenyum lega.
Amara memutar tubuhnya kembali menghadap Ayahnya. Blue tersenyum lembut sambil mengangkat tubuh mungil putrinya dengan mudah ke dalam gendongannya. Ia mencium kening Amara sekilas, aroma khas anak kecil itu seolah menjadi pengingat akan cinta tanpa syarat yang ia miliki untuk gadis kecilnya.
Sambil menggendong Amara, Blue melirik sekilas ke arah ranjang. Emely masih terlelap, selimut menutupi tubuh polosnya dengan rapi. Blue merasa lega melihat wanita itu tidak terbangun.
“Amara belum mandi? Tumben sekali,” ucap Blue lembut.
Amara memandang Ayahnya dengan senyum polos. “Tadi Amara mau lihat Daddy dulu. Semalam kan kita nggak sempat ketemu,” jawabnya.
Blue terdiam sejenak. Kata-kata putrinya membuat hatinya terenyuh. Ia tahu betapa penting dirinya bagi Amara, tetapi situasi semalam memang tak terhindarkan. Dengan lembut, ia membelai pipi Amara. “Daddy minta maaf ya, Nak. Daddy sangat sibuk semalam,” ucapnya tulus.
Amara mengangguk kecil, tanda ia menerima permintaan maaf Ayahnya.
Namun, tiba-tiba Amara mengarahkan pandangannya ke arah ranjang, tepat ke arah Emely yang masih terlelap. “Daddy, itu siapa?” tanyanya sambil menunjuk wanita itu.
Pertanyaan polos itu membuat Blue tercekat. Ia menoleh, mengikuti arah pandangan putrinya. Sebelum ia sempat menjawab, Amara melanjutkan, “Apakah dia Mommy? Apakah semalam Daddy jemput Mommy?”
Blue terdiam, bingung harus menjawab apa. Namun, tatapan penuh harap dari Amara membuatnya semakin tertekan. Ia tahu gadis kecil itu selalu memimpikan kehadiran Ibunya, dan kini pertanyaan polos itu terasa seperti ujian besar.
“Daddy? Kok diam saja?” desak Amara, suara kecilnya mulai terdengar tidak sabar. “Dia Mommy, kan? Mommy Emely?”
Tunggu!
Apa kata Amara tadi? Mommy Emely?
Apa jangan-jangan selama ini Blue membohongi putrinya kalau nama Ibu kandung bocah itu adalah Emely?
Oh, astaga! Jika benar demikian, lantas apa maksud dan tujuan Blue membohongi Amara seperti itu dan melibatkan Emely? Apa rencana Blue sebenarnya, sehingga dengan beraninya dia melibatkan si "kucing liar" sejauh ini?
Entahlah—kehidupan Blue memang penuh dengan misteri.
Blue menghela napas panjang. Ia menatap wajah polos putrinya dan akhirnya mengambil keputusan. “Iya. Dia Mommy-mu. Mommy Emely,” jawabnya dengan suara lembut.
Amara tampak hendak berseru kegirangan, tetapi Blue segera meletakkan telunjuk di depan bibir putrinya. “Sstt... Mommy masih tidur. Kasihan, dia sangat lelah.”
Amara mengangguk dengan cepat, lalu mendekatkan bibir ke telinga sang Ayah. Dia berbisik pelan, "Mommy kelelahan karena semalam dijemput sama Daddy, ya?"
"Ya," jawab Blue singkat. Namun, dalam diam, sudut bibirnya terasa berkedut menahan senyum ketika mengingat kebenaran di balik kelelahan Emely yang sebenarnya.
Semalam, mereka bercinta tak hanya sekali, tetapi tiga kali penyatuan hingga Emely terkapar lemah tak berdaya akibat kelelahan dan akhirnya jatuh tertidur.
“Sekarang kita keluar ya, Nak? Biarkan Mommy tidur sebentar lagi. Kasihan kalau dibangunkan sekarang,” ajaknya sambil melangkah keluar dari kamar dengan Amara masih dalam gendongannya.
Setelah tiba di luar kamar, Blue meminta Amara untuk mandi terlebih dahulu. Gadis kecil itu menurut, dan Gina segera datang untuk membantunya. Sementara itu, Blue kembali ke kamarnya untuk bersiap. Ia masuk ke kamar mandi, membiarkan air dingin menyegarkan tubuhnya.
Tak lama, ia keluar dari kamar mandi dan langsung bersiap-siap dengan pakaian santai. Tidak seperti biasanya di pagi hari, kali ini Blue memilih mengenakan outfit casual yang nyaman. Ia memutuskan untuk tidak masuk kantor hari ini. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan—terutama dengan Emely.
Blue menatap ranjang sekali lagi. Emely masih tertidur pulas, tubuhnya tampak lelah namun damai. Ia mendekat, membungkuk untuk mencium puncak kepala gadis itu dengan lembut. “Tidurlah, karena setelah kau bangun maka ada banyak kejutan yang telah aku persiapkan untukmu,” bisiknya pelan sebelum melangkah keluar dari kamar menuju lantai bawah.
Di meja makan, Amara sudah menunggunya dengan wajah ceria. Blue tersenyum, berusaha mengenyahkan kecamuk di pikirannya.
"Daddy, apakah Mommy belum bangun?" tanya Amara dengan nada penuh harap. Wajah mungilnya tampak memelas, menunjukkan betapa ia sangat ingin segera bertemu dan memeluk sosok yang selama ini dirindukannya.
Blue menarik kursi dan duduk. Ia menatap Amara dengan lembut sebelum menjawab, "Belum, Sayang. Mommy masih sangat kelelahan, jadi kemungkinan besar dia akan tidur sampai siang." Blue tersenyum kecil, mencoba meredakan kekecewaan di wajah Amara. "Tapi jangan khawatir, nanti setelah Amara pulang sekolah, Amara sudah boleh bertemu Mommy."
Namun, alih-alih merasa lega, wajah Amara semakin murung. Dengan nada memohon, ia berkata, "Kalau begitu, Amara izin saja hari ini, ya, Daddy? Amara nggak mau ke sekolah. Amara mau tunggu Mommy bangun di rumah. Boleh ya?"
Permintaan polos itu membuat Blue terdiam sejenak. Ia memahami rasa rindu putrinya, tetapi ia tahu pentingnya pendidikan bagi Amara. Dengan tegas namun lembut, Blue menggeleng pelan. "Daddy nggak setuju, Sayang. Amara harus tetap sekolah. Itu penting."
Amara menundukkan kepala, bibir mungilnya cemberut. Blue menghela napas panjang, merasa tak tega melihat putrinya sedih seperti itu. Ia meraih tangan kecil Amara dan menggenggamnya erat. "Nak," ucapnya dengan suara lembut, "Daddy janji, nanti setelah Amara pulang sekolah, Mommy masih akan ada di rumah. Amara bisa bertemu Mommy dan menghabiskan waktu bersamanya."
Amara mengangkat wajahnya, menatap Ayahnya dengan mata berbinar namun tetap ragu. "Tapi... bagaimana kalau Mommy pergi lagi, Daddy? Bagaimana kalau saat Amara pulang, Mommy sudah nggak ada di rumah?" tanyanya dengan nada khawatir.
Blue tersenyum kecil, lalu merapikan rambut halus Amara. "Daddy janji, Nak. Mommy tidak akan pergi lagi. Daddy akan pastikan Mommy tetap di sini."
"Janji ya, Daddy? Janji Daddy nggak akan biarkan Mommy pergi lagi?" desak Amara, seolah ingin memastikan Ayahnya benar-benar serius.
"Ya, Daddy janji. Mommy akan tetap di sini untuk Amara."
***