Hingga lebih dari satu jam, Nadia dan Raga masih berlutut di teras rumah orangtua Mara. Nadia belum berhenti menangis, meskipun isak tangisnya sudah mulai reda. “Mereka tidak mau memaafkanku. Mereka membenciku. Mereka ingin aku mati membawa penyesalan dan dosa. Mereka menghukumku.” “Kita memang pantas dihukum. Jangan salahkan mereka. Orangtua mana yang rela anaknya disakiti.” Raga menyahut. Pria itu menggulir bola mata ke arah daun pintu yang masih tertutup. “Sepertinya papa dan mama masih butuh waktu untuk bisa memaafkan kita, Nad. Ayo, kita pulang. Kamu harus istirahat.” Nadia menggeleng tidak mau. Dia takut tidak punya waktu lagi untuk meminta maaf. Dia khawatir tidak bisa lagi mengingat mereka. Raga mendesah. “Baiklah kalau kamu mau mencoba keteguhan mereka. Aku sudah pernah melaku