Ringannya Rindu

1239 Kata
Lama ya kita nggak ketemu, sejak hari itu ... 'tapi kenapa kamu berubah menjadi begini? *** Aku akhirnya mulai sekolah seperti pelajar SMA. Datang terlambat karena terpaksa nebeng Azkampret, kena hukum karena tidur di kelas, dan juga bolos pelajaran. Seperti kali ini aku membolos pelajaran sejarah, sungguh aku sangat membenci pelajaran penuh cerita kakek moyang yang nggak bisa hidup lagi. Aku selalu berpikir, buat apa kita tahu sejarah? Toh mereka nggak akan bangun lagi dari tanah 'kan? Tapi kalau bangun lagi gue palingan langsung kabur, eh. “Cie langganan bolos, cie...!” seruan nyaring itu membuatku menoleh, menatap dia yang kini menggodaku lewat tatapan matanya. “k*****t, lo juga bolos!” seruku balik dan dia langsung masuk dan duduk di sebelahku. Rooftop area yang ada di sekolahan ini adalah tujuan pertamaku jika aku bolos pelajaran. Udara lepasnya bisa membuatku tenang, dengan semilir angin yang menghanyutkan. Serta hamparan luas langit biru ketika aku memilih rebahan dan menatap angkasa. “Gue bolos pelajaran Matematika, Gurunya siap ngegodain gue soalnya,” jelas Azka, dia adalah kakakku. Walaupun dia itu kakak kandungku, tapi dia nggak pernah suka pelajaran eksak. Berbeda denganku, Kak Al, dan Alfi. Dia yang paling berbeda sendiri, dan keputusannya mengambil IPS cukup membuat Ayah dan Bunda sujud syukur. Ayah dan Bunda mengira bahwa keempat anaknya akan jatuh paling nggak ke Kedokteran dan lain-lain. Tapi Azka merobohkan perkiraan itu, dia masuk IPS dengan nilai yang lumayan baik. “Gue always benci yang namanya sejarah,” ucapku. Azka tersenyum. “Padahal kalau lo hapalin semua materinya, lo bisa aja juara kelas di IPS.” “Hapalin emang mudah, tapi gue nggak tahu fungsi IPS buat apaan,” ucapku ke arahnya yang mengundang tawa. “Hahaha.... Lo nggak tahu alasan Bunda sama Ayah takut kita semua masuk kedokteran? Dokter itu jarang yang bisa slow kayak kita, mereka cenderung kaku, ambisius, dan bertanggung jawab. Setiap hari gue bayangin lo jadi Dokter atau Perawat,” ucap Azka dan tersenyum penuh arti. “Ketika lo marah, lo harus tetap senyum agar pasien lo nggak kabur, nggak boleh teriak.” Eh tunggu dulu deh? Gue kalau marah emang ngapain ya? Gigitin bantal, teriak-teriak, kayak kemarin pas ngusir Kakak-kakaku dari kamar. Oh no.... “Ketika lo ngambil keputusan, maka lo harus siap!” “Nggak semunya yang di IPA bakal jadi dokter 'kan? Kita masih bisa jadi Guru misalnya(?)” “Lo jadi Guru, nggak pantes. Lo itu nggak sabaran, see?” Aku berdecak, aku nggak suka hal-hal yang berbau sabar bahkan memakan waktu lama. Di antara kami berempat yang paling sabar hanya Kak Al sama Azka. Walau Azka tingkat sabar di arah negatif, contohnya aja telat. Sabar dalam berangkat sekolah. “Iyain dah, gue mau jadi apa nggak tahu, pengangguran aja kalik ya? Habis lulus SMA nikah?” tanyaku menatap Azka dengan polos. “Si anj, di ajak ngomong masa depan malah kayak gini. Btw, lo nggak ada ketemu sama Reyhan ya habis MOS?” Reyhan? Lama gue nggak ketemu dia, hampir satu bulan lebih. Aku menggeleng dan menatap Azka dengan tanda tanya. “Kenapa?” “Reyhan kecelakaan dua hari lalu, sekarang sih palingan di apartemennya!” “Hah? Kecelakaan? Loh ko nggak di rumah sakit aja?” tanyaku beruntun, iya 'kan? Habis kecelakaan bukannya di RS malah di Apartemen, kenapa nggak di rumah aja ada yang ngurus? “Reyhan nggak terlalu suka Rumah sakit, karena dia nggak suka di lihat lemah dan lainnya. Ntar siang pulang bareng gue, gue mau jenguk dia!” ajakkan Azka aku angguki dengan mantap. Walaupun dia nggak aku kenal, ketika orang ngajak aku menjenguk dia. Pasti aku ikut, aku paling khawatir sama orang sakit. Selanjutnya kami berbicara hal-hal kecil, seperti aib kami, dan dua kakak kami. Berdua dengan kebahagiaan antara saudara. Mungkin kita memang terlihat seperti musuhan di luar, tapi entah kenapa aku merasa. Bahwa Azka lah orang pertama yang akan bergerak ketika aku terluka. Dan dari percakapan kecil itu, aku tahu kalau Azka sama Reyhan satu kelas. IPS-1. Kelas unggulan anak IPS. Ternyata mereka berdua pinter juga, ya? *** Kami sudah berdiri di depan pintu sebuah Apartemen yang ternyata nggak kecil itu. Aku baru tahu kalau Reyhan anak orang kaya, aku kira dia anak yang sederhana kayak aku sama Azka. Azka sendiri nggak mengetuk pintu, tapi mengotak-atik password yang ada di samping kanan pintu. Nggak lama pintu kebuka dan aku bisa melihat isinya. Aku terkejut saat lampu biru gelap menyinari mataku. Belum lagi cat di tembok berwarna biru dan beberapa ornamen berbentuk sulur berwarna hitam membuat mataku di manja akan keindahan. Desain yang bagus untuk sebuah ruangan, dan dalam hati aku jadi berpikir. Berapa biaya yang di pakai hanya untuk membuat ornamen-ornamen itu? “Biasa aja liatnya, ayo!” ajak Azka. Aku mengangguk dan mulai melangkah. Hanya sedikit pigura yang terpasang di sana, ada foto wanita cantik dan sebuah foto keluarga. “Kakak sering ke sini?” tanyaku. Azka mengangguk. “Gue sering ke sini, udah dari awal kenal Reyhan. Cuma Reyhan aja yang jarang kerumah.” Aku mengangguk dan saat Azka membuka sebuah pintu, yang aku duga adalah kamar Reyhan. “Lo udah sampai, tumben cepet. Nggak pulang dulu lo?” Itu Reyhan. Dia berbaring memunggungi kami. Memamerkan punggung tegapnya itu pada kami. Aku meliriknya, melihat apa yang berubah di tubuhnya. Jawabannya adalah, tangan kanannya. Di tangan itu ada sebuah luka, yang belum kering. Suara Reyhan juga serak tadi. “Tau aja lo, gue turun dulu mau cari makan, mau nitip apa?” tawar Azka. Aku melangkah memasuki kamar itu saat dia berucap, “Cariin gurame bumbu pedas deh kalau ada.” “Jangan yang berbau protein hewani, beliin aja sayuran Bang, gue yang masakin,” ucapku mantap. Tiba-tiba Reyhan berbalik, menatapku dengan pandangan horror yang aku abaikan. Aku tetap melangkah, mendekati tubuhnya dan meletakkan bawaanku. Sekeranjang buah yang aku beli beberapa saat lalu pas pulang sekolah. “Oke, lo yang masak gue beliin!” Saat Azka sudah pergi barulah Reyhan bersuara. “Cia... lo ngapain?” Aku menatap Reyhan dari atas sampai bawah, sebenarnya mau menangisi dia. Tapi nggak bisa. “Menjenguk si Api yang lagi sekarat,” ucapku asal. Dia tersenyum. “Gue nggak separah itu buat lo jenguk,” ucapnya dengan nada yang menahan tawa. Aku menatap Reyhan marah. “Lo nggak ada keliatan hampir sebulan, dan hari ini, gue baru liat lo lagi yang tiduran kayak mayat!” “Gue bisa bangun,” ucapnya ragu. Aku berdecak. “Lo bisa bangun, iya. Tapi--” “Iya,” potongnya. “Gue kangen lo, udahan ya ngomelnya!” Aku terdiam dan menatap Reyhan shok. Bisa-bisanya dia bilang kayak gitu pas gue lagi marahin dia? Nggak romantis tauk. “Nggak mau berhenti, lo ngapa nggak di rumah sakit aja? Malah sendirian di sini!” “Karena, nggak ada lo di rumah sakit. Adanya suster-suster tua yang nyuruh gue minun obat terus.” Reyhan tersenyum manis. Astaga... apa yang salah sama dia? Kenapa sekarang penuh gombalan gini? “Rey, lo sehat?” “Nggak, gue lagi sakit karena cinta gue di pertanyakan!” Astaga, nah kan? “Yaudah gue keluar dulu ya, kalau otak lu udah beres gue baru balik lagi.” Aku berbalik dan meninggalkannya. Menuju sebuah sofa dan menanti kehadiran Azka untuk memasak makanan. Makan siang buat kita bertiga. Si saat seperti ini, gue malah bayangin. Kenapa Azka itu kayak setan di antara gue sama Reyhan ya? Jika dua orang berbeda gender bersama, maka orang ketiganya setan. Dan yang ketiga itu Azka. Jadi Azka setan 'kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN