Apa yang salah sama aku?
Kenapa d**a ini bergemuruh, kenapa aku melihatnya dengan penuh senyum dan kagum?
Apa ini yang disebut cinta?
***
Melihat dia yang kini menunduk meminta maaf padaku rasanya ada yang aneh. Ada getaran aneh yang membuatku tersenyum saat menatapnya.
Aku masih ingat siapa dia, kakak OSIS dengan wajah lugu dan penuh senyum, dia manis dan juga tampan. “Nggak papa ko kak!” ucapku dengan santai seraya mengusap-usap baju bagian perut yang ketumpahan minuman yang aku beli.
“Maaf banget!”
“Nggak papa,” balasku.
“Rizki Agung, panggil saja Rizki!” ucapnya dengan mengulurkan tangannya tiba-tiba.
Aku menatapnya dengan alis terangkat sebelah sebelum menjawab, “Btw, gue udah tau nama lo kak!”
“Kapan kamu tahu namaku?” ucapnya masih dengan nada sopan yang terselip di dalam ucapannya.
Berbeda sekali denganku yang nggak ada sopan-santunnya ke orang. “Pas MOS, kakak nyasar ke kelompokku!”
“Eh,” ucapnya terkejut. Aku sendiri hanya tersenyum.
“Ciarra kak, panggil saja Cia! Salam kenal ya!” seruku membalas jabat tangannya yang masih nggantung dari tadi.
Jabat tangan singkat tapi sanggup membuat darahku berdesir hebat. Oh tidak....
Apa ini yang namanya cinta?
Cinta pada pandangan pertama?
Aku meneguk ludahku susah payah sebelum pamit meninggalkannya.
Aku harus menyingkir atau sebentar lagi aku akan menjerit lebay.
Kembali ke kelas dan melirik Putri yang termenung menatap langit dari balik jendela kelas.
Kami satu tempat duduk, dan sengaja memilih tempat pojokan nomor dua dari belakang. Tepat di dekat jendela yang menghadap angkasa. Kelasku di lantai dua, dan hal itu yang membuat angkasa terlihat jelas jika suasananya secerah ini.
“Mikirin siapa, Put?” tanyaku langsung.
Dia terkejut dan menatapku kaget, lalu dia memintaku duduk dengan isyarat tangannya. “Hm... Ci, kak Azka tuh orangnya gimana menurut lo?” tanya Putri pelan-pelan.
“Azka siapa?” tanyaku bingung. Apa iya Azkampret atau Azka lainnya mungkin.
“Kakak lo,” ucapnya ragu.
Tunggu dulu, eh. “WHAT?”
“Iya jadi kak Azka kemarin-kemarin line gue, sampai sekarang juga masih. Kasih perhatian gitu, udah makan belum, udah belajar belum, dan lain-lainnya.” Putri menghela napas dan menunggu reaksiku.
Tapi aku hanya terdiam, aku kaget, kaku mau bilang apa.
Azka setauku bukan orang yang perhatian pada cewek, kecuali dia....
“Terus dia nembak gue kemarin, gue bingung mau jawab apa. Jadi gue minta waktu dulu aja ke dia, buat mikir dulu. Gue juga nggak enak ke lo kalau jadian sama Azka,” ucapannya bikin aku mengernyit.
“Lah, kenapa nggak enak?” tanyaku bingung.
“Lo itu adeknya, dan lo temen gue. Kalau nanti ada masalah gue sama Azka, gue takutnya lo ikut masalah ke gue,” ucapnya lirih.
Aku mengernyit, masalah dia sama Azka ko gue juga kena sangkut pautnya, apaan sih?
“Nggak deh, gue nggak pernah nyampurin asmara kakak-kakak gue, juga gini ... kita itu selama nggak cerita satu sama lain, kita nggak pernah ikut campur!” Aku menjeda ucapanku sebelum melanjutkannya. “Lagipula, lo ada rasa nggak sih ke kakak gue?”
Putri menghela napasnya, mungkin karena jawabanku yang nggak akan ikut campur itu kali ya?
“Gue sih nyaman sama Azka, anaknya enak, bisa ngertiin gue dan dengerin apa kata gue. Dia nggak pernah maksain apapun ke gue. Mungkin ya, karena lagi pdkt itu kali. Tapi emang gue nyaman ngobrol sama Azka, bawaannya nyambung terus!” seru Putri sepertinya antusias banget.
“Gini sih Put, ya. Lo tanyain diri lo sendiri aja, terutama hati lo! Kalau lo suka sama Azka ya terima dia, tapi inget, harus sejalan sama kata hati lo, jangan sejalan sama pikiran lo!” ucapku, sok bijak padahal jones belum pernah pacaran seumur hidup.
“Iya Ci, lagian gue juga masih kecil. Belum mau pacaran dulu,” ucapnya lesu yang malah mengundang senyumanku.
Jujur aku nggak pernah bayangin kalau temen aku bakal pacaran sama salah satu kakakku. Bayangin orang lain pacaran...
Bayangin diri ini dapet cowok idaman aja nggak pernah, takut habis melayang lalu jatuh lagi. Kan sakit.
***
Hari itu aku lagi menonton tv di ruang tengah saat kak Al duduk di sampingku dengan tiba-tiba. “Ci!” panggilnya.
“Apaan kak?” tanyaku bingung.
“Kenapa cewek itu bingungin ya?” tanyanya. Aku mengernyit, kata cewek itu berarti semua cewek 'kan?
Lah, gue juga cewek.
“Maksudnya?”
“Iya mereka tuh bingungin, punya rasa tapi di pendem mulu, jaim gitu.” Aku belum paham maksud kak Al apa, jadi aku hanya menyauti dengan polos.
“Terus?”
“Kalau suka mereka bisa senyum-senyum sendiri. Apalagi kalau nangis--”
“Senyum-senyum juga kak, kalau nangis?” potongku.
“Nggak, mereka tuh cenderung diem. Terus nangis nggak tahu apa masalahnya, tiba-tiba nangis. Lah kita kaum cowok kan bingung, dia nangisnya kenapa?”
Kita?
Kaum cowok?
“Kak, nggak salah nih. Cia cewek loh kak?” tanyaku bingung.
“Lah, lo cewek?” Aku mengangguk. “Kirain cowok, sih. Salah siapa nggak peka-peka!”
“Peka apaan sih, kakak kenapa?” tanyaku aneh.
Ini kakak gue yang paling waras kenapa?
“Lo tuh di ajak curhat malah ngeselin, mirip cowok. Ngaku cewek pula!” omelnya.
“Lah, kakak cerita aja belum, dari tadi bahas 'cewek tuh bingungin', emang cewek yang mana? Sampai bikin abang gue pegang jidatnya?” tanyaku baru paham kalau ternyata dia itu lagi mau curhat, tulalit ya gue?
Kak Al mengehela napasnya lalu merebahkan kepalanya di sandaran sofa. “Dia anak komplek sebelah, kenal kakak udah dari jaman SMP. Dia tahu kakak suka sama dia, tapi tadi dia jalan sama orang lain, terus pas baliknya...,” ucapan kakakku sengaja di gantung. “dia nangis, meluk kakak nggak jelas, pas di tanya kenapa, dia malah diem aja.”
“Hayoloh kak, abis di apain sama orang itu tadi!” seruku yang membuat kak Al menjitak kepalaku. “Sakit!”
“Nggak bakalan di apa-apain juga, orang dia jalan sama orang yang kakak kenal.”
“Siapa kak?”
“Kepo lo!”
“Lah, tadi katanya mau curhat?” tanyaku bingung.
“Cukup segitu aja, nggak perlu ngasih tau lo siapa-siapanya. Makin kepo malah berabe akhirannya!” omel kak Al.
“Najis kak,” balasku.
“Btw, lo nggak ke kamar Azka?” Pertanyaan kak Al membuatku mengernyit.
“Ngapain? Enakan juga di sini, ada tv-nya,” ucapku seraya tersenyum puas.
“Lah pacar lo lagi main ke rumah, ya kali lo nggak ada nemuin dia?”
Pacar gue siapa?
“Siapa? Perasaan gue masih jomblo ngikutin abang-abang gue.”
“Reyhan, dia ada di kamar Azka dari pagi, main nggak keluar-keluar dari kamar.”
Aku mengernyit, Reyhan?
Pacar gue? Ya kali.
“Lah, Reyhan bukan pacar gue kali, kak! Ane masih jomblo, masih mencari anak alim buat di jadiin pacar sekali sehidup semati.”
Kak Al mengernyit. “Gue kira lo berubah pikiran dan jadi nerima Reyhan, cek ke kamar Azka deh. Takutnya ada apa-apa, Azka barusan keluar ada keperluan katanya. Temenin gih dek!”
Aku mendengus. “Iya deh, sekalian kalau dia belum makan, gue suruh makan!”
“Emang ada makanan?” tanya kak Al.
“Ada lah, si Alfi tadi masak.”
“Oh, Alfi,” ucapnya yang seperti biasa saja dan nggak ada semangat-semangatnya.
Perasaan aja atau memang kakak kembarku ini lagi ada masalah?
Aku mengedikkan bahu dan berjalan ke kamar Azka, kamar yang berdampingan dengan kamarku.
Tanpa mengetuk pintu aku masuk, karena memang sudah kebiasaan. Juga abang-abangku nggak pernah ngerepotin kalau ketauan lagi ngapain sama aku.
Namun, aku lupa kalau di kamar ini adanya Reyhan bukan Azka. “Anjir, lo ngapain masuk nggak ngetuk pintu dulu, untung gue udah pakai baju!” omelnya.
Aku mengernyit. “Lah, lo ngapain gak makai baju?” tanyaku. Nggak mungkin 'kan dia habis mandi?
Orang kamar mandi ada di ruangan ujung sana. Kamar mandi ada dua, di lantai satu sama lantai dua, dan letaknya di paling ujung. Jadi kalau pagi-pagi mau sekolah ya, mandinya antri.
“I-it-itu l-la-lagi a-an-anu,” ucap Reyhan terbata.
“Apaan anu-anu, anu ada sejuta makna!” sentakku.
“Abis tidur siang, gue kalau tidur nggak pakai baju.”
“Oh, kirain lagi ngapain.”
“Emang biasa aja?” tanya Reyhan sambil menyelidik.
“Udah biasa liat cowok cuma pakai boxer, keluar gih makan. Alfi tadi udah masak!” perintahku.
Aku berbalik memunggunginya, dan melangkah pergi. Mengabaikan ekspresi Reyhan yang mungkin saja terkejut.
Aku sudah biasa lihat cowok pakai boxer doang, tapi mereka itu kakak-kakaku. Kalau Reyhan kayak gitu?
Paling ngibrit duluan gue!