Layar laptop nampak terang di mana Gyan fokus mengerjakan sesuatu di sana. Keningnya mengkerut, seperti sedang berpikir keras. Pekerjaan yang menumpuk, ditambah masalah yang datang, benar-benar menguras pikiran. Namun sebagai laki-laki, ia tidak mudah menyerah dengan keadaan. Ucapan Kael semalam terus terngiang-ngiang di telingnya. Membangkitkan emosi yang diredam susah payah. Bagaimana bisa pria itu berkata dengan mudahnya, hanya karena egonya terluka atas keputusan Rhae menyembunyikan keberadaan Nio. “Sial!” Gyan membanting pulpen yang ada di meja. Lalu mendorong tubuhnya ke belakang, bersandar pada kursi. Terdengar embusan napas kasar dengan tanganya memijat pelipis yang berdenyut nyeri. “Memisahkan anak dengan ibunya? Apa dia sudah gila?” Ketika sibuk mengumpat, Gyan dikejutkan deng