Petaka Kuliah Hari Pertama

1371 Kata
Olivia merenung di kamar seusai insiden tak tertuganya dengan Leon. Ya, momen tubuh Olivia yang berada di atas sang paman sambung berakhir saat Leon terkesiap dan mendorong tubuh Olivia karena kedua belah ranum mereka nyaris bersentuhan. Flashback Saat menyadari rudalnya menegang di area terlarang sang keponakan sambung, Leon cepat-cepat bangkit mengambil posisi duduk. "Maaf jika tidak sopan, Liv. Ayo cepat berdiri," ujar Leon yang kini dalam posisi duduk dan masih ditindih Olivia. Sementara itu, tanpa Leon ketahui, Olivia semakin bergel*njang karena merasakan pergerakan Leon yang secara otomatis menyebabkan pergesekan rudal di tengah area terlarang semakin terasa nikmat. "Bagaimana jika aku tidak mau paman?" balas Olivia hampir kehilangan akal, terbawa naf*u mengga*rahkan. "Apa maksudmu?" Tak merespon dengan kata, Olivia perlahan semakin mendekati bibir Leon. Anehnya, untuk sejenak, Leon seolah terbawa suasana, menatap penuh hasrat bibir Olivia. Namun, beruntung akal sehat masih berpihak pada Leon, secara kilat tangan kekar itu spontan mendorong tubuh Olivia, tetapi berusaha tak terlalu kasar. "Liv, Kita salah. Aku pamanmu!" "Tapi kau bukan paman kandungku," sergah Olivia dengan netra memelas. "Kita tetap salah, Liv. Tolong, jangan pernah kau lakukan lagi, mengerti?" tanda Leon mulai terlihat frustrasi dan sedikit menaikan nada bicara. Keduanya sudah sama-sama dalam posisi berdiri berhadapan sekarang. Meski begitu Olivia masih bungkam enggan menjawab peringatan Leon sampai sang paman akhirnya terpaksa lebih lantang menyentak. "MENGERTI?!" Olivia pun terkesiap dan sontak barkata, " Aku ... mengerti, Paman." "Bagus. Sekarang cepat kembali ke kamarmu. " Membawa tubuh yang gemetar, Olivia melesat melewati Leon, beranjak keluar menuju kamarnya. S*al! Aku sepertinya sudah berlebihan pada Olivia, sesal Leon dalam hati seraya menundukkan kepala. TOK ... TOK! "Liv, ini aku. Apa kau ada di dalam?" Suara ketukan pintu dan juga sapaan Kamila sukses membuyarkan angan Olivia yang masih termenung. Cepat-cepat ia membenahi sikap dan memperbolehkan sang tante masuk. "Hey. Bagaimana harimu, Liv?" tanya ramah Kamila. "Hmm, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya," balas Olivia sedikit gugup karena masih terngiang perilaku terlarang pada suami tantenya. "Ah, aku ingin memberikan ini padamu." Kamila menyerahkan beberapa goody bag besar, menaruhnya di atas tempat tidur Olivia. "Ini beberapa pasang baju baru model.kekinian. Kuharap kau menyukainya. Mereka cocok untuk dipakai saat kau kuliah nanti," lanjut Kamila mengulas senyum. "Terima kasih, Tante." Sejujurnya, secuil rasa bersalah singgah di hati puan berambut pendek sebahu itu pada Kamila. Namun, rasa ingin bersama Leon sangat besar dan bahkan tak terbendung lagi karena mereka kini satu atap. Meski begitu, untuk mendistraksi hati Olivia memutuskan untuk mengikuti saran Kamila dan ibu sambung yakni mengenyam pendidikan kuliah. "Tante. Bisa kah kau daftarkan kuliah?" tanya Olivia. "Tentu. Datanglah besok ke kampus." Netra Kamila berbinar karena Olivia mulai mau menata hidupnya lagi. Di sisi lain. Leon memutuskan mengunjugi Club malam untuk menenggak minuman beralkohol favoritnya. Tak lupa ia mengajak sahabat bernama Damian yang sama-sama berprofesi sebagai CEO. "Kali ini apa lagi? Masihkah tentang Kamila yang menunda memiliki anak?" tanya Damian yang baru saja datang lalu duduk di sebelah Leon di meja Bar. "Ch! Jangan sok tau. Aku sangat menghormati keputusan Kamila karena aku mencintainya," sergah Leon seraya menenggak whisky. "Lalu apa? Kau tidak biasanya minum dan mendatangi Bar jika tidak frustrasi, Bro," tanya Damian menginterogasi. Damian hapal betul tabiat Leon karena mereka sudah bersahabat sejak masa kuliah. Damian dan Leon bahkan terkenal dengan julukan cassanova playboy karena sering gonta-ganti kekasih. Namum, Leon tobat karena semenjak bertemu dengan Kamila dan menikahinya. Sedangkan Damian masih asik berpetualang meski usianya sama dengan sang sahabat yakni 35 tahun. "Ya, kau ada benarnya. Memang aku sedikit frustrasi. Aku bahkan terkadang tak bebas jika Kamila lupa meminum pil." Entah pengaruh sedikut mabuk atau hanya ingin meluapkan beban pada sahabat, Leon akhirnya berkata jujur. "Kalau begitu bagaimana jika kau lampiaskan saja. Kamila tidak perlu tau, Bro," sulut Damian memanas-manasi Leon. Bukan bermaksud jahat, Damian hanya kasihan jika Leon terus menerus mengalah sementara sang sahabat memiliki ga*rah berlebih terutama dalam hal bercinta dan juga beromansa. "Hai, Handsome!" Tak lama, dua gadis cantik nan random yang masih terlihat cukup muda menghampiri Leon dan Damian. Dengan gelagat manja serta mengenakan mini dress seksi, keduanya menggoda Leon dan Damian. "Ayolah, Le. Mereka menunggu kita. Aku akan bersenang-senang duluan jika kau masih menimbang-nimbang. Aku berjanji akan merahasiakan ini dari siapapun termasuk Kamila," ajak Damian berbisik ke telinga Leon. Berbeda dengan Leon yang masih duduk di tempat dan tak merespon, Damian memutuskan untuk pergi membawa salah satu gadis seksi yang menggodanya. "Kau mau melakukannya di hotel atau di rumah, Paman," rayu si gadis Club Malam seraya mengedipkan sebelah mata. Namun, Leon malah terkesiap kala sebutan "paman" menguar barusan. Matanya sontak terperangah, menatap seksama sosok puan penggoda di sebelahnya. Betapa terkejutnya Leon saat sosok si puan malah malah menjelma menjadi penampakan Olivia. keponakan sambung "Bagaimana, Paman Aku tak sabar ingin bersenang senang denganmu," cecar gadis malam berpenampakan serupa Olivia lagi. Ini gila! Aku pasti sudah mabuk dan berhalusinasi. Aku harus segera pulang! *** Hari ini merupakan hari pertama Olivia menjalani kuliah sekaligus dua hari sudah sang paman mendiamkannya imbas insiden kamar mandi. Hal itu diperkuat dengan acuhnya sikap Leon yang kerap merespon datar apapun yang Olivia layangkan serta menghindari sang puan jika berpapasan. Meski merasa sedih, Olivia pasrah dan memutuskan untuk fokus ke kegiatan kuliah pertamanya. Bisnis manajemen menjadi jurusan yang ia pilih karena mungkin setelah kuliah puan itu akan berdikari mendirikan bisnis sendiri. Dengan menumpang mobil Kamila, pagi itu Olivia terlihat menjadi gadis cantik yang kembali menjalani kehidupan normal anak seusianya. Setelah sampai di Kampus, sang puan dengan penuh percaya diri melenggang ke ke kelas. Meski begitu, Olivia tak ingin terlalu menjalin pertemanan. "Hai, apa kau murid baru? Aku Kinar, bolehkah aku duduk di sebelahmu?" sapa suara puan bernama Kinar yang memakai kacamata bening dan berponi. Olivia pun merespon biasa, kentara sedikit acuh dan mempersilahkan Kinar duduk di bangku sebelahnya. "Dan namamu?" "Olivia. Kau bisa memanggilku Liv." "Ah, Olivia," gumam Kinar mengulang nama Olivia. "Apa kau baru? Yang kutahu kelas sudah berjalan dua minggu dan aku belum pernah melihatmu," lanjut Kinar penasaran. "Uhm, ya. Tanteku dosen di sini dan aku baru saja pindah ke kota ini." Obrolan keduanya berjalan dengan santai meski Olivia tak banyak bicara. Tak lama, jam pelajaran dimulai dan mereka pun fokus menyimak. Beberapa waktu kemudian. Hari menjelang senja. Olivia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan dengan Kinar masih membuntutinya. "Maaf ya jika kesannya membuntuti tapi sebenarnya aku sudah berteman baik dengan seseorang bernama Nana. Entah mengapa. Aku tak bisa menemukannya hari ini. " Tak apa," balas Olivia seraya berjalan menatap ke arah depan. Saat melewati lorong cukup sepi kelas kosong, suara jeritan cukup keras mengaung. Sontak baik Olivia dan Kinar saling bersitatap. "Aku akan memeriksanya." Olivia berjalan cepat mencari sumber suara meski Kinar telah mencegahnya. Tak lama, netra Olivia melebar sempurna kala melihat pemandangan memilukan di sebuah kelas kosong. Seorang gadis meronta dengan mulut dibekap saat satu dari tiga pria hampir menggahinya. "HEY BAJ**GAN KOTOR!" pekik Olivia murka. Olivia yang ter—triger kejadian kelam masa lalu terutama aksi nekat sang paman yang menghajar ayah tiri yang bejad, memutuskan untuk maju menyelamatkan gadis tak berdaya itu. "Ch! Beraninya kau menjadi sok pahlawan!" ancam salah satu pria yang ditenggarai pemimpin sekumpulan pria jahat. Rautnya terlihat murka karena Olivia mengganggu sesinya. "Body-mu boleh juga. Sayang sekali, kau akan mengalami nasib sama seperti gadis itu," timpal mencemooh sang pria lagi menampilkan raut mes*m. Pintu di belakang Olivia tiba-tiba dibanting keras, nyatanya mereka tak hanya bertiga melainkan berempat. Namun, dengan keteguhan hati Olivia tetap tak gentar. Ia tidak peduli lagi dengan nyawanya asalkan gadis yang sedang dipersekusi bisa selamat. Beberapa saat kemudian. Leon yang hendak pulang bekerja sejenak menatap dua bungkus cokelat ukuran cukup besar. Sepertinya aku sudah keterlaluan mengacuhkan Liv. Aku akan akan meminta maaf dan memberikan cokelat ini. Semoga saja hubunganku dengannya bisa normal kembali seperti keponakan dengan paman meskipun aku bukan paman kandungnya. Setelah bergumam sesaat, Leon memasukan cokelat tersebut ke dalam tas dan bersamaan itu ponselnya berdering pertanda panggilan masuk. Leon langsung mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat detail nomor masuk. "Halo." "Selamat malam apakah benar saudara adalah Leon Smith wali dari Nona Olivia Denver?" "Benar. Siapa ini?" "Kami dari pihak kepolisian ingin menginformasikan bahwa Nona Olivia mengalami insiden cukup fatal dan sekarang berada di rumah sakit." Jantung Leon seketika terjun bebas diiringi rasa bersalah dan juga kepedihan mendalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN