Pagi itu, sarapan bersama dengan keluarga Leon untuk pertama kali terjadi. Namun, raut Olivia kentara masih tak terlalu ramah. Tentu saja hal ini imbas melihat adegan int*m semalam antara Leon dan Kamila.
Di sisi lain, Kamila yang menyadari hal tersebut berusaha membangun suasana— membuka obrolan kecil dengan Olivia hingga membahas mengenai rencana jenjang pendidikan sang puan. "Uhm, Liv ... apa kau tertarik belajar di bangku kuliah? Aku bisa mengaturnya karena aku salah satu pengajar di sana."
"Entahlah, Tante. Aku tidak tertarik dan tidak ingin merepotkan," balas Olivia acuh seraya menyuap roti tawar beroleskan selai kacang.
Sementara itu, Flora dan Kamila saling menatap bergantian sebagai reaksi dari jawaban sang puan.
"Tidak merepotkan, Liv. Justru paman dan tantemu ingin agar kau menjadi lebih baik di masa depan. Salah satunya dengan menimba ilmu lanjutan," timpal Flora memberi pengertian.
"Benarkah paman ingin aku kuliah?" tanya Olivia dengan nada antusias yang kini menyasar Leon. Aksi melahap roti pun mendadak dihentikan sang paman imbas terkejut.
"Uhm, ya. Kuliah bagus untuk bekal masa depan nanti. Selain itu, di sana kau akan bertemu dengan banyak teman baru."
"Baiklah jika itu maumu, aku akan menerima tawaran kuliah."
Kamila sontak melongo tak percaya karena tanpa harus bersusah payah suaminya dapat dengan mudah merubah pikiran Olivia. Sedikit kecewa, itulah gambaran suasana hati sang dosen saat ini.
Tak ingin berlarut dalam over thinking, Kamila segera menggeleng kepala cepat dan memberikan nomor ponselnya jikalau Olivia ingin mengunjungi kampusnya. Kamila akan dengan senang hati mengajak keponakan sambungnya untuk tour keliling kampus.
Beberapa saat kemudian.
Menjelang istirahat makan siang, wajah cantik Kamila terlihat merenung di meja makan sebuah kantin. Perilaku datar sang keponakan sambung yang bahkan terkesan ketus lah yang menjadi penyebab utama kegalauan hati.
Jika boleh jujur, Kamila merasa sangat kecewa dengan perlakuan Olivia padanya. Terlebih sang keponakan sambung hanya memperlihatkan ketertarikan jika menyangkut tentang Leon saja. Padahal, ingin sekali rasanya ia menjalin hubungan akrab karena Kamila merupakan anak tunggal dengan saudara yang sudah saling berjauhan. Kehadiran Olivia diharapkan bisa menjadi seorang teman.
"Hey! Makananmu akan kabur jika hanya dibiarkan saja sedari tadi," celetuk seseorang seraya menepuk pundak Kamila.
"Hey, Zy." Kamila menilik jam tangan yang dipakainya sejenak. " Kau terlambat sepuluh menit dari waktu kita janjian makan siang." Kamila malah memprotes sosok wanita bersurai gelombang bernama Enzy Malora, sahabat yang bekerja di rumah sakit dekat kampus sebagai psikolog. Keduanya telah bersahabat semenjak kuliah semester pertama karena sama-sama mengambil jurusan psikolog.
"Hehehe, maaf, ya. Sesiku dengan pasien terakhir sedikit diperpanjang karena dia mengaku harus mengeluarkan keluh kesahnya padaku," kilah Enzy.
Kamila pun memaklumi dan lantas mulai menyuap makanan ke mulut sedangkan kini giliran Enzy yang penasaran bertanya mengapa sang sahabat begitu seolah terlihat murung.
"Ada sesuatu yang sedikit mengganggu pikiranku, Zy. "
"Katakanlah. Mungkin aku bisa membantu."
Wanita berusia tiga puluh tiga tahun itu mulai menceritakan kronologis mengenai situasi dengan keponakan sambung yang baru saja beberapa hari tinggal di rumahnya. Termasuk interaksi Olivia dan Leon.
"Bagaimana menurutmu, Zy? Apakah aku terlalu jauh berpikir?"
"Menurutku, reaksimu normal. Hanya saja kau sedikit menerka terlalu jauh. Yang kutangkap di sini. Tidak mudah bagi seseorang menghilangkan trauma apalagi kasus yang telah menimpa keponakanmu tergolong sangat fatal. Dan masalah interaksi dengan Leon yang terlampau dekat, menurutku cukup wajar karena suamimu merupakan penyelamat satu-satunya saat Olivia berada di lubang gelap keputusasaan." Enzy menghela napas sejenak. "Saranku, berikan keponakanmu waktu dan jangan jauhi dia karena sikap acuhnya padamu. Aku yakin perlahan Olivia akan terbuka padamu."
Mendengar penjabaran Enzy, Kamila cukup bisa bernapas dengan lega. Ia pun memutuskan untuk mengikuti saran sang psikolog.
***
Sore menjelang malam, Leon baru saja sampai di kediamannya seusai pulang bekerja. Sang pria langsung berjalan menuju dapur karena haus seraya melonggarkan dasi ketat yang bertengger di leher.
Hatinya sedikit pilu karena Flora sang adik harus menginap di rumah sakit untuk keperluan terapi kanker.
"Paman," sapa ramah Olivia yang ternyata sedang berada di dapur mengenakan apron seraya memegang salah satu alat masak.
"Liv, apa yang kau lakukan?"
"Aku sedang memasak makan malam untukmu."
"Untukku saja?" Alis Leon memicing.
"Uhm ... maksudku untuk ibu dan tante juga." Melihat Leon yang hanya datang seorang diri. Olivia lantas mempertanyakan keberadaan ibu sambungnya.
"Maaf, Liv. Ibumu harus dirawat untuk keperluan terapi," balas Leon terdengar berat hati.
Raut antusias Olivia seketika berubah muram kala mendengar pernyataan Leon barusan. Meskipun hatinya tidak terlalu menyayangi Flora seperti menyayangi ibu kandung, tetap saja Olivia sangat menghormati Flora karena telah baik padanya.
"Liv—"
"Silahkan dimakan, Paman. Kumohon, hargai usahaku memasak. Aku permisi ke kamar dulu mengambil sesuatu." Tak ingin kentara sedih, Olivia memutuskan beranjak ke kamar.
Olivia pasti sangat sedih. Aku akan menemuinya nanti setelah selesai mandi, Leon membatin sejenak dan lalu bergegas mandi sebelum menyantap makan malam buatan keponakan sambungnya.
Beberapa waktu kemudian, sebuah insiden tak terduga terjadi. Keran shower di kamar Leon tiba-tiba tak berfungsi di tengah Leon melakukan sesi keramas. Situasi semakin memburuk kala Leon lupa membawa handuk dan matanya mulai terasa pedih.
"Kamila! Apa kau sudah pulang?" pekik Leon yang berasumsi mungkin saja sang istri sudah pulang.
"Kam!"
"Paman, ada yang bisa ku bantu? Kenapa kau berteriak?"
Bukan Kamila melainkan Olivia yang kebetulan lewat dan merespon pekikan Leon. Mau tak mau, Leon yang memang membutuhkan pertolongan segera meminta Olivia masuk ke dalam kamar untuk mengambilkan handuk di atas tempat tidur.
"Kau menemukan handuk ku, Liv? Tolong berikan padaku," pinta Leon yang hanya memunculkan tangan dari balik pintu kamar mandi Olivia pun segera memberikan handuk ke tangan sang paman. "Terima kasih, Liv."
Leon akhirnya bisa bernapas lega dan berniat meneruskan sesi mandi yang belum selesai di kamar mandi lain. Namun, betapa terkejutnya Leon kala mendapati sosok Olivia masih berada di kamarnya. Terlebih, keadaan Leon yang hanya mengenakan handuk saja.
Sementara itu, dapat terlihat dengan jelas pipi Olivia yang mulai merona imbas memandangi tubuh kekar sang paman dari jarak dekat. Uliran tato etnik di d**a Leon semakin membuat Olivia terpesona.
"Maaf bukannya ketus. Tapi, mengapa kau masih di sini, Liv?"
"Uhm, aku masih khawatir mengapa kau berteriak tadi." Olivia sedikit memangkas jarak dengan Leon.
"Oh, tadi keran air kamar mandi mati saat aku sedang keramas. Aku berasumsi Kamila sudah pulang dan berteriak meminta handuk. Tapi, ternyata dia belum pulang," terang Leon.
"Benarkah? Tapi keran di tempat lain baik-baik saja. Biar aku periksa, Paman." Olivia menyeruak masuk begitu saja ke dalam kamar mandi Leon untuk memeriksa.
"Tidak perlu, Liv. Di sana licin dan kau bisa terjatuh nanti," cegah Leon yang terpaksa mengekori Olivia.
Benar saja, tak lama memasuki kamar mandi untuk mengecek keran, Olivia nyaris tergelincir karena lantai licin efek busa sampo berserakan.
Beruntung Leon dengan cepat menyambar tangan Olivia. Meski begitu, tubuh sintal keponakan sambung yang tidak seimbang menyebabkan insiden jatuh tak terelakan.
"Liv!"
Leon dengan sigap rela menjadi tumpuan agar tubuh Olivia tak membentur permukaan lantai.
"Paman!" pekik Olivia setelah Leon melenguh kesakitan imbas tubuh yang tertimpa Olivia. Posisi sang puan kini tepat berada di atas tubuh kekar Leon.
"Aku tidak apa-apa. Bagaimana denganmu, Liv?" tanya Leon khawatir.
"Aku—"
Belum selesai menjawab, Olivia mendadak tertegun saat merasakan sesuatu yang tumpul. dan menonjol menyentuh area tengah sel*ngk*angan. Darahnya berdesir hebat kala ia menyadari bahwa dirinya tengah menduduki 'rudal' milik Leon yang hanya ter-cover handuk saja.
Tak hanya Olivia, Leon pun turut menyadarinya. Sebagai pria normal, hasrat s*x*al-nya bangkit secara otomatis ditandai dengan 'rudal' yang mulai menegang di area terlarang milik Olivia.