Cinta Yang Belum Terucap.

1242 Kata
Ruang pertemuan di Luxury Grand Tower dipenuhi oleh para pria dan wanita berpakaian formal dengan aroma parfum eksklusif dan percik cahaya dari jam tangan mahal. Mereka adalah para pemegang saham—pemilik sebagian dari laju perusahaannya, dan juga pengawas diam yang bisa mengangkat atau menjatuhkan reputasi siapa pun hanya dengan data dan grafik. Vasko melangkah masuk dengan tenang, namun penuh wibawa. Setelan jas armani berwarna navy membalut tubuh tegapnya sempurna. Aura seorang pemimpin muda yang berpengaruh langsung menyapu ruangan. Semua mata mengarah padanya—beberapa mengangguk hormat, sebagian lainnya tersenyum ramah namun menyimpan agenda dalam benaknya. Sebagai CEO, Vasko tahu betul apa yang menjadi tugasnya dalam pertemuan seperti ini. Menyampaikan laporan kinerja kuartalan atau tahunan, Ia harus menunjukkan seberapa jauh perusahaan berjalan, apakah grafik naik atau turun, apa faktor pendorong dan penghambat, dan bagaimana mereka mengatasinya. Semua data disajikan dalam presentasi visual yang elegan dan mudah dimengerti, lengkap dengan proyeksi masa depan. Menjawab pertanyaan dan kekhawatiran para investor– Ada tanya jawab yang kritis namun penting. Mengapa dividen belum dibagikan? Apa rencana ekspansi? Bagaimana mereka bersaing di tengah pasar yang kian padat? Vasko menjawabnya dengan kalimat lugas tapi tenang, menunjukkan kendali penuh dan visi jangka panjang. Memaparkan rencana strategis perusahaan ke depan– Seorang CEO bukan hanya pelaksana, tapi juga penggagas masa depan. Vasko menjelaskan rencana ekspansi digital, aliansi internasional, dan inovasi baru dalam produk. Setiap kalimatnya menanamkan harapan dan kepercayaan. Meyakinkan mereka untuk tetap percaya – Di balik data dan rencana, ada satu hal yang lebih penting: membangun rasa percaya. Dalam senyum tipis dan tatapan matanya yang mantap, Vasko menegaskan bahwa perusahaan ini bukan hanya bergerak untuk laba, tapi juga untuk membentuk masa depan. Pertemuan berjalan panjang, namun semua berlangsung dengan tertib dan lancar. Vasko mendengarkan dengan sabar, berbicara dengan percaya diri, dan menjawab dengan kepala tegak. Sesekali ia melirik jam tangannya, bukan karena terburu-buru, tapi karena pikirannya masih menyimpan satu nama di sudut hatinya—Selin. Saat sesi ditutup dengan tepuk tangan kecil dan suara-suara lega dari para investor, Vasko kembali ke ruangannya. Ia melepaskan dasi dan duduk sejenak di kursinya. Matanya menerawang ke luar jendela, menatap langit Jakarta yang mulai mendung. "Perusahaan bisa kujaga," bisiknya pelan. "Tapi bagaimana dengan Selin? Bagaimana dengan anak kami?" Di balik tanggung jawab dan dunia bisnis yang dingin, ada sepasang tangan yang ingin melindungi seorang gadis—bukan karena dia bagian dari perusahaannya, tapi karena dia adalah rumah bagi hatinya. “Kita ke mana sekarang, Tuan?” Tedy bertanya sambil membenarkan posisi duduknya di belakang kemudi, setelah mobil mewah itu mulai melaju tenang di bawah langit sore yang mulai menguning. “Kita cari baju hamil yang bahannya lembut, makanan sehat untuk ibu hamil, dan vitamin yang dokter tulis tadi,” ujar Vasko tanpa menoleh, nadanya tenang tapi penuh makna. Tedy menoleh sedikit, keningnya berkerut. “Untuk siapa?” “Untuk Selin,” jawab Vasko singkat, namun ada hangat yang menyusup di balik suaranya. “Oh, iya…” Tedy menelan ludah dan memilih diam. Ia sudah lama tahu bahwa sang bos menyimpan sesuatu untuk gadis pelayan itu, tapi ia tak menyangka bahwa perasaan itu telah menjelma menjadi tindakan yang begitu nyata—dan istimewa. “Mmm… kita ke mall saja, ya?” usul Tedy, berharap sang bos bersedia ikut memilih. “Kamu saja. Aku mau pulang.” Vasko menyodorkan resep dari dokter Lexy dengan tenang, seolah-olah memilih baju hamil adalah bagian dari tugas asisten pribadi yang tertulis jelas di kontrak kerja. Tedy menerima kertas itu dengan perasaan campur aduk. “Ah, tapi saya enggak paham baju seperti apa yang harus saya beli. Dan—” “Kamu tanya penjualnya. Bilang saja gadis itu enggak gendut, badannya kecil. Cari yang bahannya lembut, enggak bikin gatal, pokoknya nyaman.” Nada Vasko terdengar seperti sedang membicarakan barang koleksi mahal yang harus dirawat sepenuh hati. Tedy menghela napas panjang. Kepalanya mulai terasa berat. Seharian ini ia sudah menjadi tangan kanan yang tak kenal lelah—mengatur jadwal meeting, menyiapkan presentasi, menyusun dokumentasi. Dan sekarang… belanja baju hamil? “Duh… ribet,” gumam Tedy pelan, nyaris seperti desahan frustrasi. Namun belum sempat ia menikmati keluhan itu, tatapan tajam Vasko langsung menembus dari kaca spion tengah. Tedy tersentak kecil dan langsung menunduk, pura-pura sibuk membaca resep. Dalam diam, Vasko tersenyum kecil. Ia tahu Tedy mengeluh, tapi ia juga tahu bahwa pria itu akan tetap melakukannya. Karena meski terlihat keras kepala, Tedy adalah orang yang setia. Sama seperti dirinya… yang kini mulai belajar setia bukan hanya pada keluarga dan perusahaan, tapi juga pada satu nama lembut yang kini mengisi ruang di hatinya—Selin. Di luar, langit mulai redup. Matahari tenggelam perlahan seperti memberi selimut pada dunia yang lelah. Dan di dalam mobil yang melaju pelan itu, seorang pria sedang diam-diam membangun masa depan—dengan sepotong harapan dan cinta yang mulai bertumbuh tanpa rencana. --- "Nona harus menjaga diri. Mulai sekarang saya akan menjaga Anda selama dua puluh empat jam penuh." Gendis berkata lembut, tangannya yang cekatan masih sibuk menyisir rambut basah Selin yang tergerai seperti aliran sutra hitam. Udara kamar wangi dengan aroma mawar dan vanila, sementara Selin duduk tenang di depan cermin bundar besar berbingkai emas. Baru saja ia selesai mandi, namun hatinya kini justru terasa beriak. "Kenapa?" tanyanya lirih, suara Selin terdengar seperti desir angin yang ragu. Gendis berhenti menyisir sejenak. Lalu, dengan suara yang hampir seperti bisikan suci, ia berkata, "Nona sedang hamil." Kalimat itu jatuh perlahan, namun menghantam keras ke dasar hati Selin. Ia menoleh dengan cepat, kedua matanya membulat, berkaca-kaca dalam kebingungan dan keterkejutan yang menyesak. "Ba-bagaimana bisa?" Tatapannya tertuju pada perutnya sendiri, yang masih rata, belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan kecil di dalamnya. Gendis tersenyum lembut, namun penuh arti. "Nona adalah milik Tuan saat ini. Ini memang dirahasiakan, tapi saya yakin, seluruh penghuni mansion pasti telah mencium kabar ini. Semua tahu bahwa Nona sedang mengandung anak dari Tuan Vasko." Dada Selin terasa sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan gemuruh yang mengguncang dirinya dari dalam. "Apa Karlota tahu?" tanyanya penuh khawatir. Nama itu mengandung bayangan. "Tentu saja, Nona," jawab Gendis mantap. "Tapi Nona tak perlu khawatir. Saya tidak akan pernah menjauhi Nona. Bahkan jika makanan yang Nona makan diracuni oleh Karlota, maka saya lah yang akan lebih dulu merasakan dampaknya. Karena semuanya akan saya cicipi lebih dulu." Mata Selin kembali menatap Gendis, kali ini tak sekadar bingung, tapi penuh haru. "Kamu baik sekali," ucapnya, suara itu nyaris pecah. Namun Gendis hanya tertawa kecil, ringan tapi jujur. "Tidak, Nona. Saya tidak baik. Saya dibayar mahal oleh Tuan Vasko." Selin terkekeh, sebuah senyum merekah tipis di wajahnya yang masih pucat. Senyum itu seperti bunga pertama yang mekar setelah badai panjang. "Tuan membayarmu mahal?" tanyanya dengan geli, ada getar manis dalam suaranya. "Sudah tentu, Nona," jawab Gendis, kembali menyisir rambut Selin dengan penuh kelembutan. "Tuan bilang… mulai saat ini saya adalah nyawa kedua Nona. Bahwa jika ada satu luka saja menyentuh Nona, maka saya lah yang pertama kali bertanggung jawab. Itu sebabnya, gaji saya seperti mimpi. Tapi tanggung jawab saya… lebih besar dari apa pun yang pernah saya jalani." Selin kembali terdiam, menatap bayangannya di cermin. Di sana, ia melihat dirinya bukan hanya sebagai pelayan yang dulu tak dianggap, tapi sebagai seorang wanita… yang sedang mengandung anak dari pria yang tak pernah ia duga akan memberinya perlindungan seutuh ini. Perlahan, ia menyentuh perutnya sendiri, dan untuk pertama kalinya… ada harapan yang terasa hangat di sana. Bukan takut, bukan gelisah, melainkan perasaan baru yang mulai bertumbuh—dalam diam, dalam perlindungan, dan mungkin… dalam cinta yang belum sempat disebutkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN