Vasko melangkah cepat, sepatu hitamnya bergema di sepanjang lorong marmer mansion yang megah itu. Detik-detik terasa lambat, seakan dunia pun menunduk memberi jalan pada seorang pria yang sedang membawa bara rindu di dadanya.
Langkahnya lebar dan pasti, seolah tak sabar untuk segera memeluk kehangatan yang kini tumbuh dalam rahim seorang gadis sederhana, yang entah sejak kapan telah mengisi ruang-ruang hatinya yang selama ini sepi dan kosong.
"Di mana Nona?" tanyanya, tanpa basa-basi, saat melihat Karlota berdiri di sisi ruang tengah.
"Nona? Siapa?" Karlota mengerutkan dahi bingung. "Apakah Nona Soraya kembali ke sini?"
Vasko menghentikan langkahnya. Tatapannya tajam, dingin seperti musim dingin di pegunungan tinggi.
"Soraya tidak akan pernah ke sini lagi. Dan tidak akan pernah." Suaranya datar, namun jelas mengandung denting emosi yang dalam. "Kamu belum tahu, atau memang tidak mau tahu? Mulai saat ini, Selin adalah Nona di rumah ini. Kamu harus memperlakukannya dengan baik… tidak, bahkan jauh lebih baik daripada bagaimana kamu dulu melayani Soraya."
Seketika wajah Karlota memucat. Kalimat itu seperti guruh yang jatuh di tengah hari. Tubuhnya menegang, lalu buru-buru ia menunduk, mencoba menyembunyikan keterkejutannya yang terlalu nyata.
"B-baik, Tuan," ucapnya, suaranya gemetar dan pelan.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Vasko melangkah melewatinya. Tidak ada satu pun keraguan di wajahnya, hanya ada ketegasan, dan kilatan lembut yang muncul sesekali—setiap kali pikirannya kembali kepada wajah Selin yang tenang, suara tawanya yang malu-malu, dan kini… kehidupan mungil yang berdenyut dalam rahimnya.
Saat tiba di depan kamar Selin, Vasko berhenti sejenak. Ia menghela napas panjang. Tiba-tiba, jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak perasaan yang berebut keluar dari dadanya.
Perlahan ia mengetuk pintu. Tak lama, Gendis membukakan pintu dengan senyum penuh pengertian.
"Nona sedang duduk di balkon, Tuan," bisik Gendis lembut.
Vasko mengangguk dan berjalan masuk. Ia menemukan Selin sedang duduk di kursi rotan putih, membelakangi cahaya sore yang temaram. Rambutnya tergerai, diterpa angin lembut yang datang dari taman. Tangannya menyentuh perutnya sendiri, pelan, seolah tengah berdialog dengan kehidupan yang tak terlihat.
"Selin…" panggil Vasko perlahan.
Gadis itu menoleh, dan seketika waktu seperti berhenti. Pandangan mereka bertemu. Dalam tatapan itu, tak ada lagi jurang antara majikan dan pelayan. Yang ada hanyalah dua jiwa yang telah saling menyentuh, kini terikat oleh sesuatu yang lebih kuat dari sekadar logika—cinta yang belum sempat terucap, namun tumbuh tanpa bisa dibendung.
Selin berdiri perlahan, dan Vasko mendekat, berhenti hanya satu langkah darinya.
"Maaf aku baru pulang," katanya lembut. "Aku sudah menyiapkan semuanya—makanan sehat, baju hamil, vitamin. Aku ingin memastikan kamu nyaman, aman… dan bahagia."
Selin mengangguk kecil, matanya mulai berkaca. "Kau tak harus melakukan semua itu, Tuan…"
Vasko tersenyum tipis. "Harus, Selin. Karena kamu… dan anak kita, adalah duniaku sekarang."
Dan untuk pertama kalinya, Selin merasakan ketulusan itu. Bukan dalam bentuk kata, tapi dalam tatapan, perlakuan, dan perlindungan yang nyata.
Matahari sore menggantung redup di balik jendela, menyinari keduanya dengan cahaya hangat keemasan. Hari itu, untuk pertama kalinya, Selin merasa—mungkin hidupnya memang akan berubah. Dan untuk pertama kalinya pula, Vasko merasa lengkap. Bukan karena kekayaannya, bukan karena kekuasaannya, tapi karena seorang gadis sederhana… yang kini sedang mengandung seluruh cinta yang diam-diam telah ia tanam.
---
“Boleh aku pegang anakku?”
Suara Vasko pelan, nyaris seperti bisikan yang takut patah di udara. Jemarinya terulur ragu, seolah ia takut menyentuh sesuatu yang terlalu rapuh untuk disentuh, terlalu suci untuk dijangkau oleh tangan duniawinya.
Selin, yang sejak tadi berdiri dalam diam, hanya mampu mengangguk pelan. Anggukannya seperti daun yang jatuh tanpa suara ke permukaan air, membawa gelombang kecil yang mengguncang seluruh semesta kecil di perutnya.
“B-boleh, Tuan…” jawabnya, suara itu lirih, hampir tercekik oleh kebingungan yang tumbuh dari dalam hatinya sendiri.
Vasko meletakkan telapak tangannya di atas perut Selin. Gerakan itu sederhana, namun di sana ada keabadian yang diam-diam hadir. Senyumnya merekah tulus, seperti fajar pertama yang menyapa bumi setelah malam yang panjang dan penuh luka. Di balik sorot matanya, ada rasa yang tak terucap—sebuah kebahagiaan yang datang seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Ia tak menyangka bisa merasakan keajaiban ini, meski dalam cara yang begitu rumit dan penuh luka.
“Kamu harus menjaganya, Selin. Dan mulai saat ini, anak ini adalah milikku.”
Suaranya berubah. Nada lembut tadi mengeras menjadi perintah yang tak terbantahkan. Suara seorang pria yang terbiasa memegang kendali atas segala hal. Selin hanya tersenyum tipis. Senyum yang tak lahir dari hati, melainkan dari pemahaman bahwa hidupnya kini adalah milik orang lain.
Mana mungkin ia membantah? Dirinya bukan lagi perempuan bebas. Ia adalah barang yang telah dibeli—ditukar dengan uang, dan dilepas oleh lelaki yang dulu ia panggil suami, tapi lebih pantas disebut iblis.
“Jangan khawatir, Tuan. Saya akan menjaganya dengan sangat baik… sampai lahiran nanti.”
Nada suaranya datar, terlatih, seperti pegawai yang melapor pada atasan. Di matanya, Vasko bukan seorang ayah, apalagi seorang suami. Ia adalah pemilik kontrak. Dan dirinya? Hanya alat, wadah, perantara untuk sebuah kehidupan yang tidak pernah ia rencanakan.
Namun bagi Vasko, kalimat itu memukul seperti hujan es di musim semi. Dingin dan menyakitkan. Sesuatu di dalam dadanya runtuh diam-diam. Ia menarik napas panjang, dan wajahnya berubah—tak lagi penuh harap, tapi keruh, seperti langit yang kehilangan arah cahaya.
“Oh. Iya. Memang itu yang harus dilakukan.”
Suaranya datar. Kering. Tidak ada lagi getar bahagia. Yang tertinggal hanyalah keraguan dan kesunyian yang menggigit di antara mereka.
Ia merasa bodoh. Hampir saja ia berlaku manis, seolah Selin adalah istrinya, seseorang yang dicintainya. Padahal, bukankah ia sendiri yang menarik garis batas itu sejak awal?
Lalu… kenapa hatinya kecewa?
Ah, Vasko… Apa sebenarnya yang kamu inginkan?
Wanita itu sudah kau beli. Anak itu sudah kau klaim.
Tapi mengapa kini kamu merasa seperti tidak memiliki apa-apa?
---