“Dasar perempuan licik!!” Kata-kata itu meluncur dari mulut Soraya, tajam dan membakar seperti semburan api. Suara sepatu haknya menghentak lantai marmer saat ia melangkah mendekat, seolah hendak menyerbu Selin dengan seluruh amarahnya. Sorot matanya membara, penuh tuduhan dan kebencian yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Selin berdiri tenang di ambang pintu kamarnya, gaunnya yang jatuh anggun menyapu lantai, namun matanya setajam belati yang terhunus. Ia sudah mendengar semuanya—setiap kata penuh racun yang keluar dari mulut Soraya. “Kamu berikan hukuman pada Karlota, padahal dia tidak melakukan apa-apa!” suara Soraya menggema, menusuk keheningan pagi yang baru saja merekah. Selin tersenyum. Bukan senyum bahagia, tapi senyum yang mengandung luka, dendam, dan pengendalian yang nyaris di