“Kamu kenapa?” tanya Selin pelan, nyaris seperti bisikan lembut seorang ibu yang melihat anaknya tersandung. Tapi nada suaranya mengandung ketegasan yang mencemaskan. Gendis berdiri di ambang pintu, tubuhnya gemetar, matanya merah basah dan napasnya tersendat seperti anak kecil yang baru saja dipukul. Air matanya menetes terus, tak sempat dihapus. “Me-mereka melarang saya mengambil air untuk Nona… mereka juga—juga bilang… kalau Nona itu… p*****r!” ucap Gendis dengan suara pecah, penuh kemarahan, sakit hati, dan rasa tidak terima. Tubuhnya terguncang oleh tangis dan emosi. Selin terdiam. Napasnya menghela panjang. Ada amarah yang menyala diam-diam di dalam dirinya, bukan untuk membalas, tapi untuk berdiri lebih tegak. Matanya menatap Gendis dengan ketegasan baru yang belum pernah terl