BAB 9 LONDON

1678 Kata
Ternyata Bibi Marry juga sudah mengatur semua kegiatannya selama mereka tinggal di London, dan seperti biasa tak satupun dari rentetan jadwal tersebut yang terlihat cukup menarik bagi Alex. Sore ini dia akan kedatangan dua tamu putri dari keluarga Lancaster yang akan berkunjung untuk perjamuan minum teh. Di masa lampau keluarga mereka pernah memiliki sejarah hubungan yang kurang baik tapi semua itu mulai berubah setelah masa perang saudara berahir dan Raja Edward IV berkuasa, sejak saat itu hingga sekarang setelah beberapa abad berlalu sepertinya memang sudah banyak perbaikan yang terjadi dalam hubungan keluarga bangsawan. Town house milik bibinya tersebut cukup besar memiliki hampir sepuluh kamar dan beberapa ruangan khusus, bahkan ada rumah kaca kecil untuk menanam beberapa jenis Mawar putih dan tanaman tropis yang harganya sangat mahal di masa itu. Lady Mary bisa dibilang masih sangat fanatik untuk menempatkan mawar putih di setiap sudut rumahnya. Ada meja marmer bundar di dekat rumah kaca yang berdampingan dengan kolam ikan dengan suara air yang selalu bergemericik. Ada beberapa kursi kecil dengan bantalan yang nyaman di sekitar meja marmer tersebut yang biasanya digunakan untuk minum teh di sore hari. Alex berusaha duduk nyaman bersama kedua Lady yang baru di perkenalkan padanya tersebut, mereka mulai membicarakan mengenai pesta dansa yang baru akan di mulai beberapa bulan lagi, salah satu Lady yang lebih muda Alex ingat namanya Lula, dia kembali membicarakan trend gaun yang akan dia pakai di pesta musim depan, dia juga bercerita bahwa orang tuanya sudah memesan beberapa gaun husus dari para penjahit terbaik di London, bayangkan saja bertapa bosannya Alex harus terlibat dalam obrolan macam itu. "Kudengar Lord Wiston kembali ke London, beberapa teman perempuanku bilang melihatnya di kota dua hari lalu, menurutmu apa dia akan menghadiri pesta dansa?" "Entahlah meski dia bujangan paling menawan di seluruh London tapi kita semua tau Lord Winston bukan pria yang tertarik dengan pernikahan." Kembali Alex hampir tersendak oleh minuman tehnya, kedua Lady itu beralih memperhatikannya. "Oh, maaf kami hampir lupa bukankah Lord Wiston masih kerabat dari keluarga anda Lady Alexsa? " "Dia keponakan Bibiku, sayang aku kurang mengenalnya," Alex tidak sepenuhnya bohong karena mereka memang baru bertemu beberapa hari lalu. "Ya, kudengar dia memang jarang berada di Inggris. " "Kudengar dia sangat menawan? " Kata yang lebih muda. "Kau benar aku pernah sekali melihatnya beberpa musim lalu saat aku belum memulai debut pertamaku." "Kudengar kekayaannya juga hampir menyamai seorang Raja." "Apa itu mungkin? " "Belakangan ini semuanya mungkin saja terjadi, kudengar dia memiliki beberapa kerajaan bisnis di tanah koloni bahkan armada lautnya sudah merambah sampai kejalur perdagangan cina dan menguasai lahan-lahan batu bara di Utara." Belakangan bisnis batu bara mamg menjadi primadona seiring permintaan yang meningkat sejak masa revolusi industri. "Bagaimana kau bisa tau sebanyak itu? " tanya yang lebih muda. "Jangan bilang-bilang kalau aku sering mencuri suratkabar papa." "Kupikir kau hanya membaca Roman." "Menurutku penting untuk mengetahui perkembangan bisnis para bangsawan agar kita tidak salah memilih suami nantinya." "Kau benar aku juga tidak mau salah memilih bangsawan yang bangkrut tentunya." Alex yang jujur saja juga tidak tau terlalu banyak tentang James akhirnya hanya diam menyimak obrolan kedua Lady tersebut sepanjang sore dan merasa begitunlega saat akhirnya keduanya gadis itu berpamitan untuk pulang. "Bibi bisakah aku tidur lebih cepat malam ini, sepertinya aku merasa kurang enak badan." "Oh tentu sayang, istirahatlah yang cukup nanti akan kusuruh pelayan untuk mengantar makan malam kekamarmu." "Trimakasih, Bibi." Alex menghampiri Bibinya untuk menciumnya sekilas. Perhatian bibi Mary memang selalu terasa tulus dan membuat Alex tak dapat menolak untuk mencintainya. Alex benar-benar hanya berada di kamar sepanjang malam itu, sebenarnya dia tidak terlalu lelah hanya bosan saja. Bahkan dia juga tidak turun meski mendengar bibinya sepertinya sedang menerima tamu. Jika benar dia akan tinggal sampai akhir pekan, itu berarti mereka akan tingal sampai awal bulan, ada tiba-tiba ada sedikit senyum yang tersungging di ujunh bibir gadis itu. Awal bulan adalah jadwal untuk berbelanja beberapa keperluan untuk estate nya, Alex ingat Ethan selalu datang sendiri ke London untuk mendapatkan beberapa pesana untuk keperluan di estate nya. Dari situ Alex mulai memikirkan beberapa ide mungkin mereka bisa bertemu, karena entah sudah sebesar apa dia merindukan pemuda itu. Sejak kepergiannya tiga bulan lalu, ini adalah waktu terlama bagi mereka untuk tidak saling bertemu, dan jujur Alex sudah sangat merindukannya. Alex rindu saat mereka berkuda bersama di perbukitan dan  menghabiskan sepanjang hari dengan perubatan tak bertanggungjawab di padang rumput favorit mereka. Alex rindu semu hal dari Ethan Harris nya yang selalu tau apa yang membuatnya senang, mereka memang tumbuh bersama dan sudah mengenal satu sama lain lebih baik dari diri mereka sendiri. Sekarang Alex harus mulai memikirkan cara bagaimana dirinya bisa bertemu dengan pemuda itu, dan  Alex tau di mana biasanya Ethan memesan barang untuk keperluan Estate. Mungkin Alex bisa mengirim pesan kepada pemilik toko langganan mereka agar menyampaikan pesannya kepada Ethan Jika dirinya sedang berada di London, mungkin mereka memang bisa bertemu, Alex mulai terhibur dengan harapan tersebur. Tanpa perlu menunda lagi pagi harinya Alex segera menulis surat untuk pemilik toko langganan keluarganya, gadis itu mengutus salah seorang kusir dari Townhouse bibinya untuk mengantarkan suratnya tersebut. Pikiran akan bertemu dengan Ethan sudah membuat pipi gadis itu bersulang kali merona sepanjang pagi, Alex hampir tidak bisa menyembunyikan keceriaannya pagi ini. Dia sedang berjalan mengitari rumah kaca bibinya memperhatikan sulur-sulur mawar putih yang merambat melengkung di ambang pintu, tidak biasanya bunga-bunga bisa terlihat sangat menarik baginya, entahlah mungkin rasa rindulah yang menimbulkan perasaan aneh tersebut. "Pagi,My Lady, kupikir Anda masih sakit." Jelas senyum yang memudar dari wajah gadis itu mengindikasikan ketidak sukaannya pada pemuda yang bagaimana bisa sudah berada di kediaman bibinya sepagi ini. James Winston baru saja meletakkan cangkir tehnya, dan sepertinya cukup santai menikmati surat kabar paginya. "Aku datang semalam, seperti biasa Bibi memaksaku menginap," terang James saat meletakkan surat kabar di sampingnya.  "Sepertinya Anda sangat penasaran My Lady," sambung James sengaja mengoreksi sikap Alex yang mungkin masih mencerna keterkejutannya. "Oh, tidak aku hanya ingin segera kembali kekamarku, seperti yang Anda bilang saya sedang kurang enak badan," kelit Alex gugup dan mungkin agak menggelikan bagi James saat melihat rona kemerahan hampir memenuhi pipi lembut gadis itu. "Sebenarnya Anda nampak jauh lebih segar untuk di sebut sakit, My Lady." "Mungkin karena aku sempat berjalan-jalan sebentar pagi tadi." "Baguslah kupikir semalam Anda benar-benar sakit," James menyandarkan punggungnya untuk lebih rileks. "Mungkin bibi agak berlebihan, Anda tau tempat ini bisa jadi sangat membosankan." "Mungkin aku bisa memintakan ijin pada bibi agar Anda bisa berjalan-jalan keluar," James sengaja menawarkan umpan dengan sikap tenangnya. Alex sempat berpikir sejenak menilai keseriusan bangsawan muda itu.  "Benarkah Anda bisa melakukanya? " mata Alex menyipit curiga. "Tentu My Lady." Ada keceriaan tiba-tiba yang tidak bisa di sembunyikan Alex setelahnya, untuk beberapa saat Alex sempat lupa dengan kebenciannya pada Pria penghianat itu. "Kudengar bibi masih akan tinggal untuk dua pekan, mungkin akhir pekan ini aku bisa memintakan ijin pada bibi." "Oh terimakasih Lord Winston." "James, panggil aku James," ralat sang Earl sebelum Alex menyelesaikan kalimatnya, gadis itu hanya mengangguk setelahnya. "Sekarang bisakah Anda menemaniku menghabiskan tehku, My Lady?" Alex memperhatikan teko kecil yang sepertinya masih penuh dan mengepulkan uap panas. "Oh, sebenarnya aku kurang menyukai minuman itu," jujur Alex agak enggan untuk bergabung di mejanya, "percayalah sepanjang sore kemarin aku sudah menghabiskan satu teko penuh seorang diri sampai perutku terasa mual." Dahi James hanya berkerut menanggapi keseriusan gadis itu saat mengungkapkan keengganannya dengan begitu terus terang, seorang Lady biasanya akan memilih basa-basi yang panjang untuk kesopanan, dan hal itu tidak pernah dia temukan pada Lady Alexsa dan anehnya James justru tersenyum karenanya. "Baiklah, duduklah saja di sini biar aku sendiri yang menghabiskan tehnya." Akhirnya Alex memilih duduk di sebrang meja bundar tersebut, tempat yang kemarin diduduki Lady Lula, dari situ dia masih bisa melihat tanaman mawar bibinya jika dirinya sedang tidak ingin menatap pemuda di depannya yang kadang sangat mengganggu konsentrasi. "Di mana Bibi? " Alex baru sadar seharusnya bibinya sudah bangun dan tidak akan melewatkan momen menemani keponakan kesayanganya. "Bibi sedang berlatih yoga," terang James singkat. "Baiklah, tentang ijin itu bisakah aku yang menentukan waktunya? " tawar Alex cukup berani. James sempat berpikir sejenak apa sebenarnya yang di inginkan gadis itu, "Baiklah, kapan Anda menginginkannya?" "Sebenarnya aku masih belum begitu yakin, tapi bagaimana jika aku mengabari Anda sebelum akhir minggu ini." "Baiklah, Anda bisa mengirim pesan pada kusir bibiku dia tau di mana harus menemukanku," James hanya coba bersikap tenang bukan berarti dia tidak menyadari kejanggalan rencana tersebut. Kali ini dia hanya berusaha mengikuti kemana arah permainan gadis muda itu meski sebenarnya dia juga bukan orang yang bisa meluangkan waktunya sembarang waktu seperti itu.  "Apa Anda masih lama tinggal di London?" tanya Alex kemudian. "Aku masih belum yakin." "Ya, kudengar Anda sangat sibuk." "Aku tidak tau Anda membicarakanku Lady," koreksi James tiba-tiba. "Mereka yang membicarakan Anda," reflek Alex menggeleng cepat. "Mereka?"dahi James kembali berkerut meski juga tak mengurangi ketampanannya walau dengan bibir yang sedikit terbuka, mungkin orang lain akan nampak bodoh dengan ekspresi seperti itu sayangnya hal itu sama sekali tidak berlaku bagi James Winston. "Gadis-gadis dari keluarga Lancaster membicarakan Anda." "Apa yang mereka bicarakan? " tanya James penasaran. "Oh, tidak, aku tidak mau mengatakannya padamu" kelit Alex. "Apa itu buruk? " James berpura-pura cemberut dengan senyum lesu. "Entahlah aku tidak berhak menilai." "Kuharap kalian tidak sedang membicarakan Bibimu," tegur bibi Mary yang tiba-tiba sudah muncul menyela pembicaraan mereka. "Tentu tidak, Bibi, kami sedang membicarakan beberapa tempat yang ternyata belum pernah Lady Alexsa datangi di kota London ini," jawab James santai, dan luarbiasa Alex salut dengan kecerdasan nya. "Oh, maafkan Bibimu yang belum sempat mengajak Anda keluar , Lady." "Mungkin nanti bisa kuluangkan waktu untuk menemaninya,"saran James kembali terdengar luar biasa. Seolah tak percaya bibi Mary masih memelototi keponakannya yang tampan dan kadang sulit ditebak tersebut. "Benarkah kau punya cukup waktu untuk sekedar mengajak keponakan Bibi yang malang ini untuk berkeliling London?" "Mungkin akhir pekan ini aku bisa, Bibi, nanti akan ku beri kabar jika jadwalku tidak terlalu padat." Alex hampir terkejut saat Jemes mengerling ke arahnya, gadis itu hanya tidak menyangka jika perijinannya akan berjalan semulus itu bagi James Winston, mengingat proteksi bibinya selama ini yang cukup ketat terhadapnya. *****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN