MY STALKER VAMPIRE
Bel berbunyi tanda jam pulang, aku membereskan semua buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Tidak ingin berlama-lama, aku langsung keluar dari kelas.
"Hei!" panggil seseorang.
"Hei!"
Aku menoleh, entah mengapa aku rasa panggilan itu ditujukan padaku. Aku mendapatkan pria kemarin yang namanya masih tidak kuketahui.
"Aku?" tanyaku saat ia berdiri di depanku.
Ia kemutar kedua bola matanya dramatis. "Tentu saja!"
"Kenapa?" tanyaku.
"Ikut aku." ia langsung menarik tanganku begitu saja, seolah kami telah dekat. Aku benci orang yang sok dekat seperti ini, sangat menjengkelkan.
Kami berjalan cepat menyusuri koridor, hingga aku tidak tahan untuk bertanya, "Kita mau kemana?"
"Sst!"
Mendengar itu akupun menyerah dan memilih mengikutinya saja.
"Itu dia!" ujarnya tiba-tiba yang membuatku melihat apa yang ia lihat. Itu hanyalah sebuah meja di taman sekolah ini dengan sebuah crown dari berbagai bunga. Ia mendudukkanku di depan meja dan ia diseberangnya.
"Aku membuat ini untukmu," ujarnya antusias dan aku hanya tidak mengerti kenapa wajahnya sebahagia itu hanya karena membuat mahkota bunga ini yang menurutku sangat mudah untuk dibuat.
"Aku akan memakaikannya untukmu," ujarnya.
Aku hendak menolak tapi saat kulihat jemarinya yang penuh luka membuatku mengurungkan niatku. Banyak luka goresan dijemarinya bahkan masih ada bekas darah.
Darah?
Ah! Darah itu membuatku lapar, baunya wangi dan entah mengapa terasa jelas di hidungku. Aku menatap tangan itu merasa hendak menghisap darah itu.
Aku melihat jariku dan aku lupa jika cincin yang diberi oleh Jordan tadi pagi kutinggalkan di kamar mandi. Sial! Aku tidak bisa menahan hawa nafsu vampirku!
Plak!
Aku menghempas tangannya yang hampir meletakkan mahkota itu di kepalaku. Ia menatapku terdiam, mungkin shock atas apa yang aku lakukan tapi jika aku tidak menampisnya mungkin saat ini aku sudah menghisap darah itu.
Dengan tangan bergemetar, aku mengambil mahkota yang terjatuh ditanah tadi dan memakainya di kepalaku. Aku menutup hidungku dan menatap hal lain selain jemari pria di depanku ini yang seolah menarik perhatianku sedari tadi.
"Lebih baik kau obati tanganmu, itu membuatku tidak nyaman," ketusku.
"Oh, iya..." ia menatap jemarinya dan sepertinya ia baru menyadari hal itu.
Aku dengan berusaha kuat membuka tasku sembari menahan napas. Mencari-cari kotak pensilku hingga akhirnya dapat. Aku membuka kotak pensil tersebut dan mengambil beberapa pembalut luka.
"Kemarikan tanganmu," pintaku dan ia menatapku bingung.
Langsung saja aku menarik tangannya dan langsung menutup luka itu dengan pembalut luka yang kubawa. Setelah selesai akhirnya aku bisa bernapas lega.
"Lebih baik, bukan?"
"Ya, terima kasih."
aku balas mengangguk.
Kami bertatapan, hanya tatapan penasaran kurasa. Cukup hening, membuatku tidak nyaman dengan situasi ini.
"Siapa namamu?" tanyaku, membuka mulut duluan.
"Herry. Kau berasal dari mana?" balasnya.
"Aku dari Canada. Pindah kemari saat masih kecil dan bersekolah di Frale junior high school sebelum pindah kesini." jawabku.
"Apakah disana menyenangkan?" tanyanya yang ambigu.
"Apa maksudmu disana?"
"Canada."
Aku berpikir sejenak. Jujur, ingatan saat berada di Canada tidak jelas, yang kuingat saat itu aku bermain bersama ayah dan Jared di taman. Aku ingat daun yang selalu berterbangan ketika gugur dan berhembus kencang menari diantara kami yang berlarian. Di Canada ingatan tentang ayah yang melekat jelas di pikiranku.
"Entahlah, aku tidak ingat," jawabku.
Herry terlihat menganggukkan kepalanya. "Begitu," ujarnya.
Kami terdiam, lebih tepatnya menikmati angin yang berhembus lembut, membelai kami. Aku ingat bagaimana rasanya angin ini, jika dulu angin ini membahagiakan kini malah menjadi menyesakkan. Aku kembali teringat lagi dengan ayah.
Aku memutarkan pandanganku keseluruh arah, baru kali ini aku benar-benar menatap taman sekolah baru ini. Tidak buruk, aku menyukainya.
Tatapanku masih berputar, hingga berhenti saat aku melihat seseorang yang kukenal sedang berdiri disamping pohon, seperti sedang memergokiku.
Aku menatap Herry, takut saja ia menyadari kehadiran Jordan. Herry masih menatap lurus ke depan membuatku kembali melihat Jordan yang memperlihatkan wajah penasarannya. Dasar pria penguntit.
"Mika, apa yang sedang kau lihat?"
Aku menoleh kembali pada Herry lalu menggeleng dengan cepat.
"Tidak ada, hanya saja pemandangan disini indah," kataku.
Herry tersenyum. "Maka dari itu aku setidaknya menyukai sekolah ini sedikit. Mereka memiliki taman yang indah," ungkap Herry yang kubalas anggukan saja.
Aku pelan-pelan kembali menoleh ke aeah Jordan dan dia masih disana tapi lebih tepatnya diatas pohon. Mungkin saja ia juga tidak ingin Herry mengetahui kehadirannya maka dari itu ia berpindah posisi.
Jordan dengan telunjuknya mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Aku tanya 'untuk apa', dengan gerak bibir tanpa bersuara. Ia membalas, dengan gerak bibienya yang k****a ia mengatakan 'Bermain'. Aku tertawa saat itu juga.
"Apa yang kau tertawakan, Mika?"
Aku lupa jika Herry masih di sampingku.
"Aku melihat ada burung diatas pohon tadi, ia seolah menajakku bermain. Sangat lucu," kilahku.
Herry menggaruk lehernya yang kupastikan tidak gatal, karena itu berbarengan dengan wajah bingungnya.
"Oh begitu..."
Aku berdiri, membersihkan rok belakangku sebentar lalu berkata pada Herry, "Aku pulang dulu ya, ada sesuatu yang harus kulakukan."
Herry ikut berdiri. "Biar aku mengantarmu," tawarnya.
Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih atas tawarannya dan crown ini. Aku menyukainya," ujarku sembari memegang crown yang berada di atas kepalaku.
Kuping Herry terlihat memerah. Apakah ia tersipu? Tidak mungkin, ia sangat lucu seperti ini.
"Tidak apa-apa, aku senang membuatkannya untukmu," ujarnya.
"Kalau begitu aku duluan ya," pamitku dan berlari menuju koridor kelas.
Jordan tiba-tiba saja berada disampingku. Aku tidak terkejut karena aku merasakan kehadirannya mungkin saja karena kami sesama vampir.
"Sudah siap?" tanya Jordan dan aku mengangguk antusias. Ia memegang tanganku, lalu kami berlari secepat mungkin. Ternyata kami tidak menghilang lalu tiba-tiba berada disuatu tempat, lebih tepatnya kami berlari dengan cepat hingga sampai ditempat yang kami inginkan lebih cepat dalam seperkian detik.
Saat kami berhenti, kami telah tiba di tepi bukit yang mana memperlihatkan seluruh kota dan mereka terlihat kecil sekali. Jordan mengambil duduk duluan dan aku mengikutinya dengan duduk di sampingnya.
"Jordan," panggilku dan ia menoleh.
"Aku heran," ujarku dan memang, aku sangat heran akan sesuatu.
"Aku tidak tau ini biasa atau bukan, tapi aku heran," lanjutku.
Jordan menunjukkan wajah datarnya tampak kesal padaku.
"Katakan saja, jangan berbelit." kesalnya dan aku tertawa.
"Aku tidak terbakar, tapi aku sedang tidak memakai cincinnya."
"Oh," balas Jordan acuh.
Sepertinya hal itu biasa saja.
"HA! APA TADI KAU BILANG?!"
Aku mengedikkan bahuku dan mengulang kembali perkataanku. Apa ada yang salah disini?