Senja menyapu jendela besar ruang kerja di mansion Mahadipa, menyisakan semburat jingga keemasan yang menggores dinding putih gading. Aroma kayu manis dan tembakau halus dari cerutu yang belum sempat dinyalakan menggantung samar di udara. Adiraja duduk bersandar di kursi kulit hitam miliknya, dengan tangan bertaut di depan mulut. Sorot matanya tajam menatap layar proyeksi yang terpampang pada dinding kaca—data laporan cabang Jakarta yang baru dikirim Rizal. Rizal berdiri tak jauh darinya, tubuh tegap itu tetap tenang meski ia tahu tuannya sedang menahan amarah yang nyaris mendidih. “Angka ini...” Adiraja akhirnya bersuara, dingin dan dalam. “Tidak sejalan dengan struktur pengeluaran yang disetujui tiga bulan lalu.” Rizal mengangguk. “Benar, Tuan. Saya sudah periksa. Ada dana yang ditar

