7. Cewek Melarat

2540 Kata
"Lho, mana Citra?" tanya seorang pria ber-hoodie pada Dito. "Citra kecelakaan," ujar Dito. "Wah, kapan?" "Tiga hari yang lalu." Pria itu menatap gadis yang duduk di sebelah Dito. Wajah gadis yang sedang dirias ini belum pernah ia lihat sebelumnya. "Penyiar baru, ya?" Pria itu melambai pada Jill melalui cermin. "Eh? Iya." Jill yang merasa tengah dipandangi dari cermin, tersenyum kecil pada pria tadi. "Kenalan dulu, dong! Aku Dav, host-nya You Rock." Pria tadi mengulurkan tangannya. Jill memutar otaknya untuk mengingat program apa yang dimaksud. "Ohh, yang acara musik itu, ya?" "Yup!" Dav tersenyum ramah. "..." Jill balas tersenyum. Dari wajahnya, sepertinya Dav adalah seorang pria yang ramah, berpembawaan ceria dan supel. Senyumnya tulus dan cepat menular pada lawan bicaranya, membuat Jill merasa akrab seketika meski mereka baru saja bertemu. "Eh, nama kamu siapa?" tanya Dav. "Saya Jill." "Nice to meet you, Jill. Kita bakal sering ketemu, nih." "Oh, ya?" tanya Jill tidak mengerti. "Jam tayang In-Time Evening itu barengan sama jam tapping You Rock. Jadi kita pasti ketemu di sini tiap sore." Forty Media memang menyediakan jasa make up artist untuk setiap talent yang akan tampil. Jill mengangguk paham. "Kalo You Rock selalu pakai tapping?" "Senin sampai Jumat, iya. Khusus Sabtu malam live." Dav menjelaskan. "Eh, kamu kok bisa tiba-tiba gantiin Citra? Ada kenalan?" "Nggak ada, Mas. Aku cuma anak magang yang kebetulan lagi stay di In-Time." "Ohh, paham paham. Ngomong-ngomong, panggil aku Dav aja. Nggak usah pake embel-embel mas," protes Dav. Ia yang terbiasa tinggal di luar negeri, merasa janggal dengan panggilan semacam ini. "Ih, nggak sopan tau," tolak Jill. "Aku masih muda, kok. Umur kita kayaknya cuma selisih dikit." "Emang kamu umur berapa?" "24. Kamu paling 21 atau 22. Bener, nggak?" "Iya, bener. Aku 22." "Nah, jadi panggil Dav aja, oke?" paksa Dav. "Oke, deh." Akhirnya Jill mengalah. "Jill! 5 menit lagi." Seno berteriak dari pintu. "Oke, Mas!" sahut Jill sigap. Ia segera membenahi beberapa barangnya dan berpamitan. "Dav, aku duluan, ya!" "Sip! Lancar, ya!" Dav memberi dua jempol untuk Jill. "Thank you!" *** "Mbak, kenal sama host-nya You Rock nggak?" tanya Jill saat ia tengah makan malam bersama Tika. "Yang mana?" balas Tika sambil menikmati ayam bakar kegemarannya dengan sambal ekstra pedas. "Emang ada berapa, Mbak?" Jill balik bertanya lagi. "Ada dua. Dav sama Jojo." "Dav, Mbak." "Nggak kenal akrab, sih. Tapi tau." Tika mengangkat bahunya sepintas. "Kenapa?" "Tadi ketemu sama dia pas mau live In-Time Evening." "Terus?" tanya Tika datar. Kalau sedang menikmati makanan kegemarannya, Tika yang biasanya cerewet memang bisa menjadi seapatis ini. "Aku, kok, kayak pernah liat muka dia sebelumnya, ya? Kayak nggak asing gitu. Cuma aku nggak tau di mana." Sejak tadi Jill terus mencoba mengingatnya, namun ia tidak berhasil. "Ck!" Tika berdecak tidak sabar. "Jelas lo pasti pernah liat. Dia 'kan emang sering nongol di TV." "Oh, ya?" Jill mencoba mengingat-ingat. "Selain jadi host-nya You Rock, dia 'kan penyanyi juga, Jill." Tika menjawab tidak sabar. "Penyanyi?" Tika mendengus. Terkadang juniornya yang cerdas ini bisa menjelma menjadi gadis bodoh nan lemot. Tergantung situasi dan kondisi. "Lo tau lagu 'If You Stay' yang akhir tahun kemarin ngehit banget?" "Tau, Mbak. Sering banget lagu itu diputer di mana-mana." "Nah, dia itu yang nyanyi!" "Bukannya yang nyanyi lagu itu namanya Haden?" tanya Jill bodoh. "Itu nama panggung. Kalo sama orang-orang di sini dia pake nama aslinya. Ya, Dav itu." "Ohh, pantes mukanya nggak asing." Kini Jill baru mengerti. Tika meneguk teh manis setelah menghabiskan ayam bakarnya hingga ke tulang-tulangnya. Setelah merasa puas, ia baru kembali berbicara. "Gue kasih tau aja sama lo dari awal, nih. Sebelom lo patah hati, mending jangan coba-coba suka sama dia. Dia itu emang baik banget, ramah banget, sama sekali nggak sombong juga. Tapiii ..., dia nggak tersentuh sama perempuan." "Hah?" "Lo liat aja berapa banyak cewek yang digosipin deket sama dia. Tapi nggak pernah ada satu juga yang jadi. Karena ada desas-desus yang bilang, dia emang nggak suka sama cewek. Sukanya sama sejenisnya." "Masa sih, Mbak?" Jill terperangah. Berita macam apa ini? Tika melipat tangannya di depan d**a. "Itu yang beredar di sini. Tapi emang nggak mencuat ke media soal itu." "Ohh." Tika mendesah penuh sesal. "Sayang banget, ya. Padahal cakep, imut, manis, baik." "..." Jill melongo saja mendengar ucapan Tika. "Kenapa coba yang begitu-begitu malah sukanya sama cowok juga? Bikin persediaan cowok buat kita makin langka aja. *** "Kamu menghindari saya?" Kai yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat Jill terlonjak. "Eh?" "Kamu tidak pernah kelihatan lagi di Fantastic Room." Kai mengambil kursi terdekat dan membawanya ke dekat Jill. Kai sudah menduga kalau ia akan menemukan Jill di jajaran kubikel tim In-Time. Kai sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya merasa penasaran dan berniat mencari keberadaan Jill. Sudah cukup lama ia tidak bertemu gadis itu, dan ia merasa sedikit kesepian ketika setiap malam tidak lagi menemukan Jill di Fantastic Room. Maka hari ini, ia sengaja menyempatkan diri mencari keberadaan Jill ketika Kai yakin para karyawan yang lain sudah pulang. "Mmm ...." Jill meringis, merasa serba salah. Ia tidak memperkirakan kalau Kai akan menyadari dirinya sengaja menghindar. Ia tidak menduga Kai akan mendatanginya seperti ini. Ia yakin kalau bos besar sekelas Kai kehidupannya pasti sangat sibuk. "Tidak perlu cari alasan. Saya tahu kamu memang menghindari saya." "..." Jill memilih menghindari tatapan menyelidik yang Kai lemparkan padanya. Kai memajukan kursinya sampai menyentuh meja kerja Jill. Ditumpunya kedua lengannya di atas meja Jill sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. "Saya cuma mau tahu, apa alasan kamu menghindari saya? Atau jangan-jangan kamu masih marah karena merasa dibohongi?" Berada dalam jarak sedekat ini dengan seorang pria membuat Jill merasa gugup. "Nggak, kok, Pak." "Terus kenapa?" "Saya cuma merasa kurang pantas aja kalau masih terus-terusan muncul di sana. Nanti dikiranya saya sengaja cari-cari kesempatan buat dekat-dekat sama Bapak." Kai tergelak. "Kamu lucu!" "..." Jill melongo melihat tawa Kai yang tiba-tiba. Kai memiringkan kepalanya. "Dari mana pikiran semcam itu bisa muncul?" "..." Jill mengangkat bahunya sebagai jawaban. "Kamu takut saya yang berpikiran begitu, atau takut dengan pikiran orang lain?" "Dua-duanya." "Karena?" "Saya, sih, realistis aja, Pak. Sekarang gini ...." Jill mengambil napas dalam-dalam dan bersiap memuntahkan isi kepalanya. Kai tersenyum puas. Perlahan ia menyilangkan tangannya di depan d**a dan duduk bersandar. Siap mendengarkan kata-kata Jill, karena ia tahu gadis ini akan segera bicara panjang lebar. Entah mengapa, mendengarkan gadis polos nan blak-blakan ini bicara selalu terasa lucu dan menyenangkan. Membuat Kai bisa tertawa hingga tergelak-gelak. "Bapak itu 'kan orang penting di sini. Semua orang pasti pengin punya kesempatan dekat sama Bapak dengan berbagai alasan. Udah gitu, Bapak 'kan pastinya banyak duit. Nah, kalo cewek melarat sekelas saya dekat-dekat sama Bapak, udah pasti pandangannya jadi negatif. Belum lagi saya yang tadinya cuma anak magang ini, tau-tau bisa punya karir bagus di sini dalam sekejap." Jill membeberkan fakta yang mengganggu pikirannya dengan tempo cepat teratur. "Jadi kamu sudah mengalami digunjingkan orang?" Kai tersenyum geli. "..." Jill tersenyum canggung. "Coba beri tahu saya, siapa oknumnya?" "Aduh, Pak!" Jil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Saya tuh cuma mau lulus kuliah dengan tenang, mau cari uang yang benar. Mau hidup tentram, aman, damai, makmur, sejahtera. Saya nggak mau hidup saya jadi susah." "Kenapa juga hidup kamu bakal jadi susah?" Jill menurunkan tangannya dari wajahnya. Menghela napas, duduk tegak, dan mengangkat dagunya sedikit. "Coba, deh, Bapak bayangin! Kalau saya ngadu ke Bapak, terus orang-orang itu tau saya ngadu. Apa nggak makin susah hidup saya?" "Kamu ini benar-benar lucu, Jill!" Kai tergelak mendengar ucapan Jill yang berapi-api dan diperparah dengan ekspresi wajahnya yang lucu. "Asal kamu tahu, biar pun kamu menghindar, saya bakal tetap cari kamu." "Kenapa, Pak? Saya salah apa?" Jill menunduk lesu. Membayangkan hari-hari pencobaan yang akan menantinya di depan sana. Kai mengangkat bahunya dengan santai. "Karena mengobrol dengan kamu itu asik. Bisa membuat saya lupa sejenak dengan keruwetan pikiran saya." "Pak, seneng banget nyusahin hidup orang." Jill menatap sinis ke arah Kai. Entah dari mana datangnya keberanian kurang ajar semacam ini pada pria yang tidak lain adalah bos besarnya di tempat ini. Tapi Jill tidak habis pikir kenapa pria yang usianya jauh lebih tua darinya ini senang sekali menganggunya dan terkadang bersikap kekanakan. Sama sekali berbeda dengan citra yang ditampilkannya saat berhadapan dengan karyawan lain. Kai kembali mencondongkan tubuhnya, kali ini menatap Jill dengan ekspresi sedih. "Jill, kamu tidak tahu susahnya jadi saya. Saya ini kesepian. Tidak banyak memiliki teman untuk bicara." "Masa, Pak?" Jill yang lembut hatinya ini segera jatuh iba pada Kai. Kai menghela napas lelah. "Kamu sendiri yang bilang, orang-orang berlomba mendekati saya dengan maksud dan tujuan tertentu, yang pastinya demi kepentingan mereka. Kalau sudah begitu, mana bisa saya percaya dan menganggap mereka teman? Saya tahu dari cara mereka bersikap, mereka itu hanya menjilat saya, agar saya baik pada mereka. Susah menemukan orang seperti kamu yang tidak punya niat memanfaatkan kedekatan dengan saya." "Bapak tahu dari mana? Emangnya Bapak yakin saya nggak punya niat jahat?" bantah Jill. "Lihat saja sendiri." Kai semakin memajukan tubuhnya, membuat Jill terpaksa mundur hingga punggungnya menempel pada sandaran kursi. "Begitu kamu tahu siapa saya, bukannya menempel macam lintah, kamu malah langsung kabur." "Ya, ya, terserah Bapak aja." Jill mengangguk panik. Wajah Kai yang begitu dekat dengan wajahnya membuatnya gugup. Tangannya sudah ingin mendorong d**a Kai agar menjauh darinya. Jill langsung bernapas lega begitu Kai menjauh dengan sendirinya. Tangan Kai dengan tergesa merogoh sakunya, mengambil ponsel dari dalam sana. Kai menunduk melihat layar ponselnya, barulah kemudian mengangkatnya. "Sebentar," ujar Kai. Jill menunduk kaku. Dalam hati ia berterima kasih pada sang penelepon yang menyelamatkannya dari situasi canggung bersama Kai tadi. "Ada apa lagi, Lien?" tanya Kai kaku. "Bicaramu itu seolah-olah aku ini pengganggu saja!" balas wanita itu kesal. Tanpa sadar Kai langsung memijat pelipisnya. "Lien, aku sedang tidak ingin bertengkar. Bisa kamu bicara baik-baik?" Melihat gelagat tidak baik ini, Jill ototamis langsung berdiri. Ia ingin menjauh dan memberi Kai privasi. Namun belum juga ia melangkah, Kai mengangkat tangannya menghentikan Jill dan menunjuk kursi. Meminta Jill kembali duduk. "Jou sakit." "Sakit?" Kai mengernyit. Seketika perasaannya tidak tenang. "Sakit apa?" "Dia demam." "..." Kai terdiam. Di saat-saat seperti inilah rasa bersalah begitu menguasainya. "Aku tahu kamu tidak mungkin akan terbang jauh-jauh ke sini hanya karena Jou demam. Tapi aku rasa kamu perlu tahu kondisi Jou," sindir wanita itu. "Dia baik-baik saja?" tanya Kai kaku. "Menurutmu? Memangnya anak yang sedang sakit akan merasa baik-baik saja?" balas wanita itu tajam. "Apa dia rewel?" tanya Kai lagi. "Jelas! Sebaik-baiknya Jou, tetap saja dia rewel kalau sedang sakit. Dia menangis sepanjang waktu dan tidak mau makan sama sekali." "..." Kai terdiam. "Hubungi dia kalau sempat. Mungkin dengan melihat wajahmu yang menyebalkan itu, dia akan merasa lebih baik." Begitu sambungan terputus, Kai tersenyum tipis. Terlihat sekali ia tengah berusaha menyembunyikan gejolak perasaannya. Kai mengutak-atik ponselnya untuk melakukan panggilan video call.  "Hai, Sayang," sapa Kai begitu wajah kecil Jou muncul di layar. "..." Jourell terlihat melambai kecil dari atas tempat tidurnya. Bocah kecil itu terlihat lesu dan matanya sayu. "Jou kenapa? Kata Mama Jou sakit, ya?" Kai berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya, padahal hatinya terasa sakit melihat Jourell seperti itu. "..." Perlahan Jourell mengambil boneka kelinci kesayangannya, kemudian mendekapnya erat. Kai mengerti arti gerakan itu. "Jou mau Daddy peluk?" "..." Bocah itu mengangguk kecil. Deg! Rasa bersalah yang dirasakannya semakin kuat. "Daddy minta maaf, Sayang. Daddy nggak bisa temani Jou waktu sakit. Jou makan, ya, Sayang. Sedikit aja. Daddy temani Jou makan. Mau, ya? Please." Kai bersedia melakukan segala macam cara untuk membuat Jourell merasa lebih baik. Kai terus saja berbicara, bercerita tentang apa saja, untuk menemani bocah kecil itu makan. Dalam waktu lima belas menit, Jourell berhasil menghabiskan setengah porsi makanan yang disediakan untuknya. "Pintar jagoannya Daddy," puji Kai bangga. "Sekarang tidur, ya?" "..." Kini bocah itu kembali mengambil boneka kelincinya, memeluknya, dan menepuk-nepuknya. Kai tersenyum hangat. "Jou mau Daddy nyanyikan lagu?" "..." Jourel mengangguk. Kai menuruti keinginan Jourell. "Good night to you, good night to me .... Now close your eyes, and go to sleep .... Good night sleep tight, sweet dream tonight. Good night, I love you ...." Seiring Kai menyanyikan kata demi kata, mata kecil Jourell turut terpejam. Kai terus memperhatikan wajah malaikat kecilnya hingga cukup lama. Hingga sambungan itu terhenti. Jill yang sejak tadi menyaksikan interaksi Kai ketika berbicara dengan seseorang lewat layar ponselnya, hanya duduk diam tanpa berani bergerak. Ia terus saja diam hingga akhirnya Kai yang lebih dulu bersuara. "Apa saya terlihat menyedihkan?" tanya Kai dengan kepala masih tertunduk memandangi ponselnya. "..." Jill menggeleng. Kai mengangkat kepalanya dan menatap Jill. Mencari berbagai pertanyaan di wajah gadis itu. "Kamu tidak penasaran dengan apa yang terjadi pada saya?" "Ya, penasaran juga, Pak. Tapi saya menghargai privasi Bapak. Saya nggak akan tanya-tanya sama Bapak, nggak akan cari-cari info dari orang lain juga. Saya akan bersikap kalau saya nggak pernah lihat atau dengar apa-apa." "Terima kasih buat pengertian kamu." Kai tersenyum tulus. Meski ia merasa senang memiliki teman bicara seperti Jill, namun untuk menceritakan hal semacam ini, rasanya masih terlalu dini. Lebih baik Kai mencari topik lain untuk mengalihkan pikirannya. "Kamu kenapa masih suka diam di sini sampai larut malam begini? Masih dikerjai sama senior kamu?" "Nggak, Pak. Saya tadi baru selesai siaran In-Time Night." "Mau pulang?" "Niatnya sih gitu, Pak." "Kok, niatnya? Memang biasanya bagaimana?" "Biasanya 'kan saya di sini sampai pagi, Pak. Mengerjakan tugas dari mentor-mentor saya. Nah, paginya baru saya pulang ke kos." Semenjak menjadi penyiar resmi di In-Time, Jill tidak lagi memiliki mentor. Ia boleh belajar dan meminta bimbingan dari siapa pun yang diinginkannya. Ia juga tidak perlu lagi berpindah-pindah ke program lain, kecuali atas keinginannya sendiri. "Kalau sekarang?" "Sekarang karena udah nggak ada mentor lagi, jadi saya nggak ada tugas tambahan. Nggak perlu sampai bergadang buat mengerjakannya. Tugas-tugas saya yang sekarang bisa dikerjakan di jam normal." Kai mengangguk paham. "Kamu memangnya tinggal di mana?" "Saya kos di dekat kampus saya, Pak." "Kampus kamu bukannya jauh dari sini?" "Lumayan, Pak." "Kamu bawa kendaraan?" "..." Jill seketika menyemburkan tawanya. Jangankan untuk membeli kendaraan, membeli bahan bakarnya saja Jill belum tentu mampu. Kai mengernyit heran. "Kenapa tertawa?" Jill menggeleng geli. " Saya biasa naik kendaraan umum. Jangankan mikir beli kendaraan, buat makan aja pas-pasan, Pak." "Tengah malam memangnya ada?" "Kurang tahu juga, Pak. Ini baru mau dicoba." "Lho, kamu ini bagaimana?" tanya Kai heran. "Kan biasanya saya pulangnya pagi, jadi pasti udah ada, Pak." Kai mengangkat sebelah alisnya. "Jangan-jangan kamu sengaja pulang pagi memang untuk menunggu kendaraan umum beroperasi lagi?" Jill tertawa meringis. "Salah satunya, sih, iya." "Terus kenapa sekarang mau pulang di jam seperti ini?" "Ya, saya ngantuk, Pak. Capek juga. Mau tidur. Mumpung bisa." "Yakin mau naik kendaraan umum?" tanya Kai sangsi. "Ya, dilihat dulu, Pak. Semoga ada." "Kalau tidak ada?" "Paling saya tidur di sofa yang nganggur aja," balas Jill tanpa beban. "Sembarangan kamu! Ayo, saya antar saja!" Kai langsung bangkit berdiri. "Nggak usah, Pak. Terima kasih," tolak Jill cepat. "Jangan menolak! Memang kamu tidak takut pulang sendirian?" "Takut makhluk halus?" Jill teringat percakapan mereka beberapa waktu lalu. "Bukan! Sama orang jahat," ujar Kai tidak sabar. "Ya ..., kalau hidup mati urusan Tuhan, Pak," balas Jill ngeyel. "Iya kalau kamu dibunuh orang jahat, kalau kamu diperkosa?" balas Kai. "Ih, Bapak! Jangan nakut-nakutin gitu, dong!" protes Jill bergidik. "Bukan menakuti, saya bicara kenyataan. Kamu ini di In-Time sudah berapa lama? Kamu tidak sadar setiap hari ada saja berita kriminal yang Rustan liput? *** --- to be continue ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN