Bayaran yang dimaksud Om Dirga ternyata cuma pelukan sepanjang kami keliling naik motor. Ya Tuhan… padahal tadi pikiranku sudah ke mana-mana. Wajar sih, dia itu tipe pria yang susah ditebak. Ada aja ide jahilnya kalau sama aku. Setelah selesai sarapan, kami kembali ke motor. Om Dirga hanya bilang, “Pegangan yang kuat. Kita jalan agak jauh.” “Aku mau diajak ke mana?” tanyaku. Dia hanya menjawab. “Rahasia.” Akhirnya aku pasrah. Yang penting aku duduk di belakangnya, melingkarkan tangan di pinggangnya sesuai ‘bayaran’ yang dia minta, dan membiarkan angin pagi menerpa wajahku. Kami melaju dengan kecepatan sedang. Tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat—pas untuk menikmati jalanan yang masih lengang. Lama-lama aku menyadari, perjalanan ini panjang juga. “Om—” seruku setelah entah melewa

