Saking lelahnya semalam membereskan barang-barang pemberian Papa, aku sampai bangun kesiangan. Untung saja Bu Sania memberiku izin untuk berangkat siang—tepat setelah jam makan siang. Perutku sudah protes sejak tadi, tapi aku belum sempat apa-apa. Jadi, aku memutuskan untuk tidak mandi dulu. Cukup cuci muka, gosok gigi, dan ganti pembalut. Setelah itu, aku langsung melipir ke unit sebelah. Beberapa bulan tinggal bersamanya ternyata membuatku terbiasa dengan keberadaannya. Bahkan bisa dibilang bergantung. Padahal, dulu aku terbiasa melakukan semuanya sendiri—tanpa bantuan siapa pun. Aku berdiri di depan pintu unit sebelah sambil menarik napas panjang. Tanganku sempat ragu menekan bel, tapi perutku yang sudah keroncongan akhirnya membuatku nekat juga. “Semoga aja Om Dirga belum berangka

