“Emang agak lain itu, Mbak Naya. Kalau ngomong gak pernah dipikir dulu, terus suka amnesia sama asal-usulnya sendiri.” “Minum dulu, Ra,” ucap Om Dirga. “Makasih, Om.” Aku menerima botol air mineral yang disodorkannya, lalu menenggak isinya sampai habis. Selain emosi, ternyata aku juga kehausan. “Kesel banget aku sama mereka berdua. Sombong sekali! Mentang-mentang orang kaya, banyak duit, berkuasa—” Kalimatku terhenti begitu saja saat Om Dirga menaruh telunjuk di depan bibirku. “Sssttt—” ujarnya. Dia terkekeh pelan, lalu tangannya terulur membelai kepalaku dengan lembut. Sentuhannya seketika meredam emosiku yang tadi sudah sampai ubun-ubun. Masih kesal, sih, tapi setidaknya aku gak meledak lagi. “Sebentar lagi Mama nyusul,” katanya tenang. “Kamu gak boleh ngomel lagi, ya.” “Kok bi

