“Kenapa gitu wajah kamu, Ra?” tanya Om Dirga sambil menyipitkan mata. “Gitu gimana? Wajahku ya begini-begini aja, Om.” “Beda, kok. Biasanya pipimu berwarna pink alami. Sekarang merah kayak kepiting rebus.” Aku langsung menatapnya tajam. “Dih, bisa-bisanya aku dikatain mirip kepiting.” Dia terkekeh pelan. “Ra, kenapa buru-buru banget jalannya? Santai aja, dong.” Aku memilih tidak menjawab, melangkah keluar dari toko dengan langkah lebar. Salah dia sendiri sih—ngomong absurd kayak gitu. Bikin jantungku hampir copot. Om Dirga membiarkan aku pergi lebih dulu, sementara dia membayar beberapa kain yang tadi menarik perhatiannya. Aku akhirnya berhenti di depan salah satu rumah tua dengan pintu kayu besar berwarna tosca pudar—spot foto yang sering dipakai wisatawan kalau ke Kauman. Tak la

