“Jangan peluk-peluk, Om!” seruku sambil mencoba melepaskan diri. Om Dirga justru terkekeh pelan. “Kamu bilang gitu setelah membalas pelukanku selama sepuluh menit, dengan kepala nyandar manis di d**a bidangku, Ra,” ujarnya jahil. Aku mendorong dadanya. “Om nggak usah ngarang! Tadi tuh aku cuma—” “Cuma apa?” potongnya cepat, matanya berkilat menggoda. “Cuma nyaman?” “Cuma kaget!” sangkalku. Lantas, Om Dirga menepuk kepalaku pelan, lalu menggenggam kedua tanganku. Tatapannya teduh—berbeda dari beberapa menit lalu yang penuh gurauan. Kalau dia sudah menatapku seperti itu, aku tahu tak ada lagi yang bisa kusembunyikan. Sebaik apa pun aku berpura-pura, dia pasti tahu kalau aku sebenarnya tidak baik-baik saja. “Tara, kenapa, hm?” tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang sangat lembut. “

