Jodoh Untuk Jemma

1618 Kata
Jemma bisa bernapas lega ketika Rifky tidak memaksa untuk bicara dengannya lagi, Rifky juga yang pilih pergi dari rumah sakit. Sebelum pergi, ia berpesan dengan sorot mata kerinduan yang bisa Jemma rasakan, “kebiasaan kamu kalau lagi menghadapi satu keadaan berat, terutama kondisi Iyang yang drop, lupa dengan diri sendiri. Pasti kamu belum makan dari siang tadi. Dimakan ya... Aku pulang.” Ia bersedekap, memberi tatapan sebaliknya dari yang Rifky berikan, “kebiasaan aku apa? Sama seperti kamu yang bisa berubah... aku juga. Termasuk menyingkirkan kebiasaan-kebiasaan yang masih kamu ingat!” “Je...” sikap dingin yang Rifky terima jika hanya berdua, jika depan yang lain, Jemma menjaga jarak dan menghindarinya. “Selain aku tidak suka kamu cari kesempatan begini, dan bersikap seolah masih paling mengenaliku. Kamu juga harusnya berpikir, bagaimana perasaan Darby jika tahu suaminya perhatian pada perempuan lain?” “Darby tidak akan keberatan suaminya perhatian pada adiknya. Kamu bukan orang lain, Je.” Jemma jadi ingin tertawa miris mendengar ucapan Rifky, tapi ia tidak mau meneruskan dan pilih berbalik. Meninggalkan iparnya sendiri, Jemma kembali ke kamar. Tentu, Darby dan keluarganya akan melihat perhatian Rifky wajar sebagai ipar, tapi Jemma yakin jika masa lalunya dan Rifky terungkap, akan lain pandangannya. Juga yang paling membuat Jemma kesal, tebakan Rifky benar jika ia lupa untuk makan sejak siang. Walau Iyang sedang istirahat, Jemma tidak mau meninggalkannya. Tidak akan tenang. Dia baru akan mendekat ke Iyang saat pintu dibuka, Rifky menyusul. “Kamu—“ “Aku mau pamit ke Iyang dulu,” jelasnya, Jemma menyingkir duduk di sofa dan biarkan pria itu mendekati Iyang yang masih istirahat. “Kamu jaga sampai besok pagi, sendirian?” “Di rumah sakit ini ramai, ada suster jaga dua puluh empat jam.” Jawabnya masih dengan nada ketus. Rifky memberi anggukan singkat, “aku pulang.” Jemma tidak menanggapi, bahkan tidak ingin memandang ke arah pria itu yang mengambil langkah meninggalkan ruang rawat yang ditempati neneknya. Setelah kepergian Rifky, Jemma menatap kemasan berisi makanan yang Rifky bawakan untuknya. Jemma langsung mengambilnya. Sejak keadaan menyakitkannya, bersama hatinya yang patah, ia berhenti menyukai makanan favorit yang biasa dimakan bersamanya atau dibelikan. Jemma langsung berdiri, membawa makanan itu. Saat akan membuangnya ke tempat sampah, gerakan tangannya berhenti. Makanan tidak salah. Begitulah hati kecilnya bicara, Jemma menatap sekitar dan kebetulan melihat seorang petugas kebersihan yang tampak sedang mengosongkan tempat sampah, ia melangkah mendekat dan memberikannya dengan alasan tamu yang menjenguk, membawakannya terlalu banyak sedangkan ia jaga sendiri. Ketika Jemma kembali ke ruangan, Iyang sudah membuka mata dan tersenyum menatapnya, “tadi Iyang seperti mendengar suara suami Darby,” Sejenak Jemma menahan napasnya, berharap Iyang tidak merasakan situasi perang dingin antara ia dan Rifky. Bagus ia tadi memilih beranjak dari ruangan. Jika berdebat di sana, pendengaran Iyang yang masih sangat baik akan menyimak segalanya. “Je?” “Iya, Mas Rifky datang sendiri. Balik dari kantornya, cuman sebentar... Iyang masih istirahat, dan Mas Rifky juga lelah. Jadi hanya sebentar” jelasnya. Iyang memintanya mendekat, Jemma duduk dekat ranjang. Mengambil tangan yang keriput karena usia, “kamu yang jaga Iyang sampai besok?” “Iya, aku yang mau.” Angguk Jemma, setelah memutuskan keluar dari rumah. Tidak tinggal bersama keluarganya, Jemma juga jadi jarang bersama Iyang kecuali ia memutuskan pulang yang kalau menginap hanya semalam. Itu pun ia lebih banyak tinggal di paviliun. Sengaja, sebab Darby dan suaminya masih tinggal di rumah utama bersama orang tuanya. Iyang adalah orang yang paling keberatan saat Jemma memutuskan tinggal terpisah. Tangan tua Iyang mengusap kepala Jemma dengan lembut, Jemma mendekat, merebahkan diri didadanya, lembut tanpa menekan. “Iyang buat Jeje khawatir pas dikabari kalau Iyang jatuh,” “Kamu khawatir sama Iyang, tapi pilih tetap tinggal di luar rumah.” “Iyang,” Jemma memberi tanda protes. Wanita lanjut usia yang rambutnya sudah sepenuhnya memutih itu tersenyum, “kalau tinggal di luar rumahnya ikut suami, pasanganmu... Iyang baru akan berhenti protes.” Jemma langsung menarik tubuhnya kembali duduk tegap, memandang wajah iyangnya, “kalau Iyang sudah mulai bahas pasangan, suami buatku... tanda Iyang rawat inap di sininya cuman sebentar. Besok bisa pulang.” “Kamu bisa saja, Je...” “Makanya stop ya, bahas pasangan buat Jemma...” “Tapi, Iyang enggak mau berhenti mendoakannya. Kamu harus dapat suami yang super baik, bukan hanya sikap dan pribadinya... tapi, mertua dan ipar yang juga menerimamu seperti bagian dari keluarga sendiri.” Jemma menarik sudut bibirnya, hanya bisa begitu sebab setelah patah hati terbesarnya, jangankan memikirkan untuk menikah, memulai dengan orang baru pun rasanya tak ada keinginan sama sekali. *** Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Kalfani dengan hadirnya anggota keluarga baru yang cantik, termasuk Althaf juga yang menunggui sampai akhirnya sudah sangat larut diminta pulang. Iya kembali datang ke rumah sakit, membawakan pakaian baru untuk Ibu dan kakaknya. Baru sampai, hanya bisa memandangi keponakan cantiknya, Ibu sudah kembali memerintah. “Antar Candani pulang ya, Aa dan Ibu saja yang akan jaga di sini. Besok pun Dillah sudah bisa pulang.” Candani—adalah adik dari Dillah, yang juga kini sudah jadi saudara bagi Althaf. Sama-sama adik. “Aku mau pesan ojek saja, Bu. Atau minta Abang jemput. Al baru datang,” tolaknya sopan karena tidak enak menolak. Akhirnya Candani memilih seperti keinginannya, setelah mendapatkan ojeknya, Althaf mengantar ke depan lobi utama rumah sakit. Mereka cukup akrab, membicarakan keponakan baru. Sampai mata Althaf tertuju pada pintu kaca yang otomatis terbuka, ia melihat Jemma masih dengan pakaian kemarin berjalan keluar. Matanya tidak berpaling pada sosok jelita itu, memerhatikan rambutnya yang tergerai bergerak-gerak seiring tersapa angin lembut. Jemma mendongak, tatapan mata mereka bertaut dan ekspresi terkejutnya sangat terbaca. Otomatis membuat sudut-sudut bibir Althaf tertarik, namun sesaat ia berdecak kala Jemma berpura-pura tidak mengenali dan menuju arah berjarak darinya. “Hm,” Candani berdehem kecil. Ia memerhatikan walau tidak tahu pusat daya tarik yang buat Althaf tersenyum jatuh di mana. Ada beberapa pengunjung, maupun petugas rumah sakit. Pagi yang cukup sibuk. “Al, abangnya sudah datang...” Althaf menoleh, pada pengemudi motor dengan jaket hijau. “Benar yang itu?” meminta Candani memastikan. Candani menunjukkan nomor kendaraan dan wajah orangnya, Althaf kemudian mengantarnya. “Bang, titip adik saya ya... diantar sampai tujuan. Berkendara hati-hati, enggak usah ngebut, soalnya jalanan Jakarta macet.” Abangnya tertawa, “siap, bos!” Althaf menunggu sampai motor itu membawa Candani pergi, baru berbalik saat ia terkejut. Jemma entah sejak kapan sudah bergeser hingga berdiri di belakangnya, “Astagfirullah, bikin orang jantungan saja pagi-pagi.” Jemma tetap berwajah datar, tanpa basa-basi ia kemudian menyampaikan yang memang ada tujuan, “ponselku kehabisan baterai, ada keadaan darurat yang buat aku harus pulang. Bisa pesankan aku taksi online, kamu pasti punya aplikasinya.” “Wow, to the point banget memang ya kamu manusianya?” “Aku bilang ada keadaan darurat, basa-basi hanya mengulur waktu.” Althaf terkekeh, lalu kejahilannya muncul, “dua keponakanku lebih tahu bersikap,” “Apa maksudmu?” “Ya, kalau misal salah... harus minta maaf. Terus kalau mau minta tolong harus—“ Jemma langsung mengerti keinginan Althaf, menyadari dia juga salah “baiklah, aku ulangi... Al, bisa minta bantuan kamu? Saya butuh pesan taksi untuk pulang.” “Tolongnya, mana?” “Astaga!” decak Jemma gemas. Ia mengatur napasnya, menahan diri untuk menyakar wajah pria muda yang tengah menyeringai depannya. Dia terpaksa meminta tolong Althaf, karena mereka sudah kenal. “Berat banget memang, kalau pakai gengsi...” “Tolong, aku minta bantuan kamu.” Jemma menurut dan perlu digaris bawahi, terpaksa. Senyum Althaf makin lebar, ia merasa menang, “kesal ya? suruh siapa hobi ngilang. Sudah dua kali lho, kamu diam-diam pergi pas aku lagi teralihkan.” “Ya sudah sini ponselnya, kalau kamu tidak mau—“ Althaf menyerahkan ponselnya, “dengan syarat, aku minta nomor kamu.” “What, masih ada syarat?!” “Kita sudah bertemu lebih dua kali, wajar kalau saling punya nomor telepon.” Jemma mendelik, tetapi karena dia benar-benar dalam keadaan darurat akhirnya terpaksa memberikannya. Ia juga memesan taksi dan mengembalikan ponselnya, “mau telepon nomorku?” “Iya, memastikan kamu enggak kasih nomor palsu.” “Ponselku kehabisan baterai,” ia menunjukkan. Althaf jadi urung, tetap menunggu di sana temani Jemma, sampai Althaf bertanya, “bagaimana keadaan Iyang kamu, sudah membaik?” Jemma menoleh, Althaf memang mendengar dari Darby kemarin siapa yang membuat Jemma datang ke sana. “Iya, sudah membaik. Kakakmu, proses persalinannya bagaimana?” Jemma juga tahu karena mendengarnya saat kemarin bertemu. Althaf memberi senyum lebar lagi, “kamu harus ucapkan selamat padaku, kali ini aku dapat keponakan perempuan yang cantik.” Jemma bisa merasakan jika Althaf benar-benar bahagia, tanpa terpaksa, ia tulus mengucapkannya, “selamat untuk keponakan perempuanmu,” Althaf menoleh, memandangi wajah Jemma yang meski masih memakai baju yang sama dari pertemuan mereka kemarin, tetap terlihat cantik, segar dan wangi. Taksi yang dipesan Jemma datang. Jemma sempat terdiam saat Althaf mendahului, membukakan pintu taksi untuknya dan memberi pesan pada sopir taksi untuk berkendara hati-hati, mengantar Jemma sampai tujuan. “Al,” panggil Jemma setelah dalam mobil dan menurunkan kaca. “Ya, mau bilang makasih ya?” tebak Althaf sudah super percaya diri. Jemma tanpa senyum, mengatakan maksud lain, “jangan coba menghubungiku,” Althaf terkekeh, “aku mengartikan sebaliknya, Jeje. Tunggu telepon atau pesan dariku ya...” Jemma hanya memberi lirikan biasa, kemudian menaikkan kaca dan mobil taksi membawanya. Jemma duduk dengan tenang, kemudian tidak bisa menahan diri untuk tertawa sampai membuat sopir taksi meliriknya. Jemma yakin Althaf akan kesal, begitu coba menghubungi dan akhirnya tahu jika Jemma memberi nomor tidak lengkap, tanpa dua angka di belakangnya. Rasakan! Memang dia saja yang bisa bikin orang kesal? Batin Jemma. “Itu tadi suaminya ya, Mbak? Kok enggak ikut pulang?” tanyanya, berhasil membuat tawa Jemma berangsur hilang. Suami? Ulangnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN