Jodoh Untuk Jemma[2]

1526 Kata
“Tahun ini aku dapat gelang cantik sebagai my birthday gift! Tahun depan, apa ada benda yang melingkar mengisi jemari manisku?” tanyanya sambil terus menunduk menatap sebuah gelang emas yang memiliki sebuah ukiran sebuah nama, JeLove adalah panggilan kesayangan darinya. Dia tersenyum sambil menjatuhkan jemari menyentuh helai lembut rambutnya kemudian menyematkan ke belakang telinga, “kamu kasih kode keras, tapi masih belum mau mengenalkanku pada keluargamu atau siap kukenalkan pada keluargaku.” “Nanti ya, kalau kita berdua sudah di Jakarta. Lebih baik berkenalan secara langsung," Jemma menunduk tepat pada benda yang ada di telapak tangannya, warnanya tidak pernah pudar begitu juga tulisan di belakangnya. Hadiah ulang tahun terakhir yang diberikan, karena tahun selanjutnya bukannya dilengkapi dengan cincin pertunangan atau pernikahan, Jemma harus berdiri menyaksikan kekasihnya menikah dengan orang terdekatnya. Sebuah ketukan pintu membuat Jemma segera menarik laci, membuka kotak dan meletakkan gelang itu lagi di sana, lalu kembali mendorongnya. “Mbak Je, tamu yang ditunggu sudah datang.” Lapor Melati—asisten Jemma di JeFa Event Organizer. Bisnis Event organizer yang ia dirikan cukup lama, bahkan sebelum ia ke Kanada menempuh pendidikan lagi. Dulu bernama JeLove, sampai memutuskan untuk mengganti nama tersebut bersamaan hati yang ditata ulang kembali. “Oh iya, aku akan menemuinya. Disiapkan seperti biasa.” Dia memberi anggukan kemudian pamit, Jemma baru akan menyusul saat ponselnya berdering. Langkahnya tertahan untuk mengecek, menemukan Papa menelepon. Jemma langsung menjawab, “kamu dikantormu?” tanya Papa. “Iya, Pa.” “Jam tiga ini Iyang kamu sudah bisa pulang, Papa-Mama tidak bisa menjemput. Kamu jemput, ya? Masa hanya sopir saja,” Jemma menghela napas dalam-dalam, “memangnya yang lain enggak bisa, Pa? Mas Eka, atau Darby?” “Mereka juga sibuk, Papa tidak mungkin minta tolong Helga atau Rifky.” Dua menantu Papa. Ya, Jemma merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya laki-laki bernama Ekagra Ferran Maawirya, sementara Darby Femina Zara-Maawirya merupakan kakak nomor dua. Keduanya sudah menikah, walau baik dari keduanya juga belum ada yang memberi cucu untuk keluarga Maawirya. Dari banyaknya anggota keluarga, Jemma yakin jika Papa belum memastikan kesanggupan yang lain, tapi langsung menargetkan padannya. Jemma harus selalu siaga. Selalu dianggap tidak sesibuk kakak-kakaknya. “Aku akan telepon Iyang, biar aku yang menjemput nanti” pada akhirnya Jemma mengalah, selama dua hari Iyang dirawat pun semuanya sibuk hanya datang sebentar-sebentar saja. Terutama kakaknya, Darby yang sama sekali tidak muncul lagi. Pembicaraan selesai dengan sang Papa yang memang menelepon untuk memberi perintah penjemputan Iyang, Jemma langsung menuju ruangan tempat tamunya menunggu. Ia harus mengatur waktu, supaya sebelum jam tiga sudah menuju rumah sakit tempat Iyang dirawat. Begitu selesai urusannya, Melati dan lainnya juga bisa ditinggal, Jemma memutuskan naik taksi ke rumah sakit, mengendarai mobilnya untuk menjemput Iyang terasa kurang pas. Ada hal aneh yang Jemma lakukan tiap kali turun depan lobi rumah sakit, di mana matanya lebih waspada, mengawasi kemungkinan ia bertemu dengan Althaf. Sejak terakhir kali bertemu di sana, meminta bantuan dan mengerjainya, mereka belum bertemu lagi. Lobi dianggap aman, ia melangkah cepat menuju ruangan neneknya berada. Jemma membuka pintu, cukup terkejut menemukan ada beberapa orang di sana. Melihat dari jas putih dan pakaian rapi, mereka bagian dari rumah sakit. Hanya dua dokter yang menangani Iyang, cukup dikenalnya. “Ini cucu ketigaku, Prof. Halim...” Jemma berjalan ke sisi Iyang, “Je, ini wakil presdir rumah sakit. Prof. Halim Benjamin Lais. Ayahnya yang juga seorang dokter dan profesor besar sepertinya, merupakan kenalan baik Eyang kamu.” Kala Iyang mulai mengenalkan dengan kenalannya, Jemma langsung bersikap waspada. Iyang memintanya menyapa dengan sopan. “Punya anak berapa?” “Empat, satu perempuan dan tiga anak laki-laki.” “Sudah menikah semua?” Jemma langsung melirik Iyang, orang tua sepertinya memang langsung penasaran. Jika bisa menggali informasi menguntungkan apalagi. Tanpa basa-basi. “Baru Felora, yang lainnya masih fokus dengan pendidikan masing-masing.” Iyang langsung terlihat berbinar, “pasti ada yang mengikuti jejakmu, jadi dokter juga?” “Ada, putra yang kedua dan salah satu dari anak kembarku.” “Wah, ada yang kembar juga. Usianya berapa, Prof? Mungkin kita bisa jadi keluarga, jika ada yang cocok untuk cucu perempuanku ini.” “Iyang...” Jemma tidak tahan untuk menegur neneknya, yang malah tertawa dengan santai. Ia langsung menatap pria di depannya dengan sungkan, “maaf ya, Prof. Halim... Iyang memang suka sembarangan kalau bicara.” “Sembarangan apa? Namanya juga usaha, ya Prof...” Dokter Halim hanya memberi senyum tipis, Jemma kan jadi semakin sungkan saja. “Oh kalau yang cocok untuk Jemma mungkin, cucunya mendiang Pak Kaivan Lais, ya? Dari putri pertamanya, aduh... Iyang lupa namanya. Yang sempat ramai diberitakan, sudah kembali ke Jakarta sebelum Pak Kaivan meninggal.” “Maksudnya, Sky?” “Ah iya, namanya sulit diingat. Dan sepertinya ada dua anak laki-lakinya jika tidak salah.” Ingatan Iyang masih tajam, hanya sedikit-sedikit saja terkadang perlu diingatkan. Halim berdehem kecil, “keduanya sudah sama-sama menikah.” Iyang mengerjap pelan, “sangat terlambat ternyata ya,” Jemma semakin tidak enak jadinya. Bagusnya mereka tidak lama segera pamit dari sana. Setelah Jemma menyiapkan Iyang, pindah ke kursi rodanya. Hanya tinggal mereka berdua, Jemma melayangkan protes, “berhenti untuk mencarikan Jemma jodoh seperti itu, Iyang!” Iyang malah bersandar dengan santai, Jemma mengambil selimut untuk menutupi kakinya. “Iyang akan berhenti, kalau memang kamu sudah ada jodohnya. Biar ada yang jaga kamu. Cucu Iyang cantik begini, mana mungkin tidak ada pria yang tertarik. Kok bisa betah sekali jomlonya.” “Iyang...” “Oh iya, Iyang juga ingat... sepertinya pas kamu di Kanada. Masih melanjutkan pendidikan S2, kamu punya pacar. Kamu sendiri yang bilang ke Iyang, terus katanya nanti sekalian bertemu saja di Jakarta. Kamu sudah setahun lebih di Jakarta lho ini, malah belum sama sekali ada yang dikenalkan.” Jemma langsung mematung dengar ucapan Iyang. Bagaimana mau ia kenalkan, jika sebelum waktunya tiba sudah lebih dulu dihantam kepahitan lalu hubungannya berakhir. Bahkan jika Iyang tahu siapa lelaki tersebut, ia begitu takut Iyang terkena serangan jantung. “Je...” “Kita pulang ya, Iyang... Aku masih ada pekerjaan lain, jadi begitu antar Iyang sampai rumah. Aku pamit lagi.” Jemma harap Iyang tidak menyadari jika ia selalu menghindar membicarakan mengenai sang mantan terakhirnya. *** Jemma baru meninggalkan Iyang setelah memastikan istirahat dikamarnya, ada perawat pribadi yang akan menemani Iyang setelah kejadian sempat jatuh. Walau di rumah ini ada Papa-Mama termasuk yang lain, mereka sibuk dan tidak selalu memerhatikan Iyang. Jemma setuju dengan adanya perawat, kemungkinan hal buruk seperti terakhir kali bisa dihindari untuk terjadi. Tidak membawa mobil, Jemma meminta sopir keluarga untuk mengantarnya. Ketika ia baru menginjakkan kaki di teras rumahnya, bertepatan dengan Darby dan Rifky yang tiba. Pandangan keduanya tertuju pada Jemma. Harus menghadapi keduanya, sering kali menimbulkan perasaan tidak nyaman yang mendorong keinginan untuk Jemma segera pergi. Namun, Jemma harus berusaha tampil biasa selama ada Darby atau keluarga yang lain agar tidak terbaca keanehannya. “Darby...” Darby tidak tersenyum, “Iyang sudah di rumah?” “Iya, baru saja. Sedang istirahat di rumah, aku—“ kalimat Jemma menggantung saat Darby langsung melewatinya dan masuk. Menyisakan Rifky yang masih terpaku memandangi Jemma. Jemma tidak mau berpikir berlebihan mengenai sikap Darby, karena kakak yang hanya beda satu tahun dengannya tersebut memang sering bersikap mengikuti suasa hatinya. Rifky baru akan menyapa, tersenyum. Tapi, Jemma mengabaikan dan melewatinya begitu saja. Ia menuju mobil lain, langsung masuk. Rifky menunggu, sampai mobil membawa Jemma pergi. Jemma menghela napas dalam-dalam, kemudian menoleh pada luar jendela. Ini menjadi alasan utama yang membuatnya memutuskan keluar dari rumah. Sebab sebentar saja rasanya sesak, apalagi harus setiap hari melihat mereka bersama. Apalagi sikap Rifky yang kadang-kadang seperti memberi tatapan rindu, membuat Jemma takut. Bukan ia tidak percaya pada dirinya sendiri, ia sangat waras untuk tidak menjadi perebut suami wanita lain apalagi kakaknya sendiri. Tapi, sikap Rifky bisa membuat siapa pun salah paham nantinya. Jemma baru berusaha menenangkan dirinya, saat ponselnya berdering. Asistennya menelepon, “Mbak, ada yang cari.” “Siapa? Butuh jasa EO kita, kamu bisa hadapi—“ “Bukan, Mbak... Tujuan dia bertemu, Mbak... uhm katanya, Mbak ada hutang padanya.” Melati tampak ragu saat harus mengatakannya. “Apa, hutang?” Jemma langsung duduk tegang, informasi itu jelas sangat konyol untuk didengarnya. Ia sedang tidak memiliki sangkut paut dengan siapa pun. “Melati, pasti orang itu punya niat menipu. Jangan sembarang kasih orang seperti ini masuk!” “Aku mikir begitu sih, Mbak. Tapi, dia enggak mau pergi sebelum bertemu sama Mbak.” “Astaga! Siapa namanya? Kamu sudah tanya?” “Althaf, dia mengenalkan dirinya begitu.” Jemma memejamkan mata, bagaimana bisa Althaf datang ke kantornya?! Apalagi dengan alasan menagih hutang, benar-benar konyol! Pikirnya. “Mbak, jadi bagaimana? Lapor keamanan—“ “Aku mengenalnya. Biarkan saja, aku sudah menuju ke sana. Minta dia tunggu.” Akhirnya Jemma mengalah, ia tidak mau sama tak rasionalnya. Selama perjalanan, Jemma memikirkan yang dimaksud hutang, apa ini karena nomor telepon yang Jemma berikan tidak lengkap? Jemma yakin alamat kantornya bisa Althaf ketahui dari alamat yang ia tinggalkan di aplikasi taksi online. Jemma memang tidak pulang ke apartemen karena diburu waktu, ada pakaian ganti yang ia simpan di ruangan kantornya. Jemma tidak berpikir jika Althaf akan mencarinya sampai ke kantor.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN