Belakangan Althaf semakin gencar mengganggu Jemma, tidak tersinggung walau pesannya baru dibalas keesokan harinya atau berakhir diabaikan. Pastinya, ia merasa senang setelah berhasil membuat Jemma sendiri meneleponnya. Althaf menepati janji untuk tidak datang ke kantornya lagi.
Perempuan seperti Jemma, punya sesuatu yang bisa membuat seorang laki-laki penasaran. Apalagi tipe yang tidak langsung mudah melayani pendekatan yang gencar dilakukan. Jadi tantangan tersendiri, termasuk untuk Althaf. Menjadi penghiburan yang malah terlihat lucu saat Jemma kesal oleh sikapnya yang jahil.
“Aku kayaknya mau cari alasan saja, atau bilang ke Ibu besok ada tugas kantor” ucap Althaf ditengah-tengah kebersamaan dengan keluarga pagi ini. Sengaja mengatakan saat Ibu masih di dapur.
“Kenapa harus cari alasan?” tanya Athaar—sang kakak laki-laki pertama. Ia menyerahkan bayi dari pelukannya, hati-hati pada sang istri.
Dillah, istri dari Athaar yang duduk mengambil putri kecilnya lebih dulu menjawab, “teman-teman Ibu besok datang, jengguk Teteh kecil sekalian hadirin acara pengajian pemberian namanya. Jadi Al mau kabur.”
Athaar mengernyitkan kening tidak paham, “terus apa hubungannya sama Al? Kenapa harus kabur segala?”
“Kamu bagaimana sih, Aa? Jelas-jelas belakangan Ibu lagi gencar cari jodoh buat Althaf. Ada beberapa anak teman pengajian Ibu yang sudah diincar. Althaf saja yang masih menghindar.”
“Oh karena itu...” Athaar akhirnya mengerti, “pilihan Ibu sudah pasti baik, Al.”
“Sekarang saja bilang begitu, dulu bawa pilihan sendiri eh malah dapat mak lampir. Untung saja cintanya Teteh Dillah sudah mentok di kamu, Aa... jadi, setia ditunggu dudanya—aduh Aa!”
Athaar kesal langsung menendang kakinya dari kolong meja, “mulut kamu mau disambelin iya?”
Althaf terkekeh, lalu mengadu pada iparnya, “padahal kenyataan ya, Teh... Aa mah baperan.”
Dillah tertawa, sudah biasa dengan tingkah jahil iparnya. Justru Althaf lah si penghidup suasana rumah.
“Ngomong sekali lagi coba!” tantang Athaar.
Althaf menyengir, lalu meraih tangan kecil keponakannya yang masih terbungkus kain tangan. “Sudah begitu dapat hadiahnya cantik begini, padahal ya Teteh, dari pada sama Aa mending sama adiknya yang masih bujang tingting.”
“Althaf Kalfani!” nada Athaar yang meninggi, membuat bayi Rara agak tersentak. Dillah menenangkan putrinya lembut. Dia sudah terbiasa, akrab dengan suasana seperti ini. Tingkah usil adik iparnya, tetap saja bisa buat suaminya kesal. Sementara bayinya, perlu adaptasi.
Ibu tidak lama datang, “enggak malu sama bayi, sudah pada tua juga masih saja berantem!”
“Althaf mulai duluan, Bu. Bawa-bawa masa lalu aku mulu, depan istriku.” Lalu Athaar menyeringai untuk membalas dendam.
Althaf meringis pelan, sudah menebak tetapi tidak bisa menghentikan saat kakaknya mengadu, “Al bilang besok dia mau cari alasan kerja itu bu,”
Ibu yang meletakkan sepiring bakwan jagung, langsung menoleh pada Althaf.
“Sengaja cari tanggal merah biar semua bisa datang, ini malah mau cari alasan kerja.”
“Aa bohong, bu.” Ia langsung menyangkal.
“Kamu memang niatnya pasti begitu, sudah terbaca sama Ibu.” Ibu langsung percaya.
Althaf duduk dengan lemas.
“Lupa ya, bos kamu itu menantu kesayangan Ibu? Dia mana bisa bohong sama Ibu, dan kalau benaran kasih kerjaan kamu di hari Rara besok, itu sangat enggak mungkin dan sama saja cari musuhan sama Ibu” Ibu mengucapkannya sambil duduk, lalu menyeringai senang.
Althaf menghela napas pasrah, Athaar dan sang istri tidak bisa menahan tawa.
"Rencana gagal sebelum mulai, rasakan!" Athaar berseru gemas pada adiknya.
Sky, suami dari Sea, merupakan bos langsung dikantor tempatnya bekerja. Althaf menjadi salah satu asisten eksklusif yang membantu Sky. Maka Ibu akan mudah memastikan jadwal kerjanya melalui sang menantu laki-laki satu-satunya dan kesayangan tersebut. Sky juga tidak akan berbohong pada Ibu hanya untuk mendukung alasan Althaf.
Ibu selalu memastikan semua anak-anaknya bisa hadir diacara penting keluarga, apalagi pemberian nama dan syukuran atas kelahiran cucu perempuan pertamanya, putri dari Athaar dan Dillah.
“Iya deh iya, memang paling susah melawan ras terkuat dibumi dan akhirat. Walau berhasil melawan dibumi, enggak bakal lolos masuk surga nanti.” Gerutu Althaf.
“Mau melawan Ibu?” Ibu Anggita masih menyahuti.
Althaf langsung bergerak mendekat, memeluk ibunya, “ampun bu, ampun. Iya enggak! Tapi, yang satu itu... tetap ya, jangan paksa.” Ia tetap curi kesempatan negosiasi dengan Ibu.
“Apa? Kapan Ibu paksa kamu sih?” tanya Ibu sambil mendorong putranya.
"Sering paksa aku buat kenalan sama anak dari teman ngaji Ibu."
Ibu menggelengkan kepala pelan, sambil memberikan piring untuk Althaf, "itu jenis paksaan baik, Al."
“Calon buat istrinya Al, cari sendiri ya?” iya terus merayu supaya ibunya berhenti mencarikan jodoh untuknya dari teman-teman pengajian Ibu.
“Lihat nanti, sudah duduk yang benar. Mulai makan, sudah siang nanti kamu kesiangan di jalannya” perintah Ibu, mengembalikan Althaf duduk di tempatnya lagi.
Ada alasan dari sikap Ibu terhadap dirinya, mengenai calon pasangan. Kegagalan Athaar dulu pasti jadi pengaruh paling kuat, termasuk dari masa lalu yang pernah dialami Sea, hingga Ibu begitu mencemaskan pilihan Althaf. Jadi anak bungsu, selain sering kali jadi anak yang tinggal terakhir di rumah menemani orang tua yang semakin menua, pun jadi bagian lebih dijaga dari hal-hal sebelumnya yang sudah pernah didapatkan.
“Syarat Ibu itu mudah, Al... Dari keluarga yang baik, sikap apalagi agamanya.”
“Uhm kalau dari segi usia, Bu?”
“Harus yang sesuai, pantas untuk kamu” ucap Ibu, Althaf baru mau bernapas lega tetapi Ibu lebih dulu memberitahu, “selisih usianya seperti Aa dan Dillah, atau Sky dan Sea... Pas.”
“Lebih muda dariku, maksud Ibu?”
Ibu sampai menoleh, “iya, atau seumuran.”
“Kenapa usia harus diukur begitu sih, bu?”
Pertanyaan putra bungsunya yang aneh, buat Ibu mengerutkan kening. “Bukan diukur. Menurut Ibu, itu jarak yang pas. Ibu dan bapak kamu juga usianya lebih muda Ibu. Enggak terlalu jauh, tapi pas.”
“Usia hanya angka, bu. Penting tepat dan pas. Sama-sama ada rasa, punya tujuan sama.”
Ibu terdiam sesaat, “cara kamu meyakinkan Ibu kok aneh ya? Ini jangan-jangan kamu memang maunya sama yang lebih tua? Tante-tante?”
Athaar dan Dillah hanya menyimak, membiarkan itu bagian ranah Ibu dan Althaf yang menyelesaikan. Althaf mencebikkan bibirnya, “Ibuku sayang, yang cantiknya enggak luntur... Dengar ya, lebih tua sedikit bukan Tante-tante... Masih Mbak-mbak kok.”
Ibu hanya menghela napas panjang, kemudian menggeleng pelan.
“Bu—“
“Enggak usah dilanjut pembahasan umur ini, kalau memang sudah ada calonnya. Ajak ke sini, kenalkan ke Ibu. Setelah itu, baru Ibu pertimbangkan untuk kasih restu atau enggak. Mau pilihan Ibu, atau kamu sendiri... tetap kunci restunya di Ibu.” Ujar Ibu dengan tegas. Sebab perihal jodoh bukan sesuatu yang bisa asal pilih. Ibu Anggita perlu menegaskan hal ini supaya putra bungsunya bisa serius. Ia mengenal anak-anaknya, termasuk Althaf. Sikapnya yang terkadang masih si paling jahil, teramat santai, membuatnya cemas akan pilihan Althaf.
“Dari pada pusing mikirin calon istriku, mending Ibu restui dulu aku lanjut pendidikan ya?”
Ibu memberi tatapan lembut, tidak menjawab. Althaf sebenarnya tahu keinginan Ibu lebih kuat melihatnya segera memperkenalkan calonnya, lalu menikah. Ibu bukan berhenti mendukung Althaf mengejar kariernya, tetapi Ibu merasa ia sudah semakin tua dan keinginannya bisa melihat semua anaknya menemukan pasangan yang baik.
***
Kontradiktif dengan keadaan rumah-rumah yang berisi beberapa anggota keluarga, sarapan bersama di meja makan, maka Jemma hanya duduk sendiri dengan aroma kopi hitam dari mesin espresso berpadu dengan roti gandum panggang dan selai almond. Di meja makan yang menghadap jendela apartemennya, Jemma duduk dengan tablet di satu tangan dan garpu di tangan lainnya. Rambutnya tertata rapi dengan gaya curly, bagian depan roll rambut masih menahan poni, ia mengenakan blouse santai warna putih gading yang menampilkan kesan elegan.
Sebagai pemilik Event Organizer yang menangani klien-klien besar, rutinitas paginya sudah tersusun sama. Melalukan cek rundown, memastikan vendor tepat waktu, follow up tim dekorasi, hingga hal-hal sepele seperti apakah bunga di venue utama sudah sesuai tema warna. Semua dicek, semua dicatat supaya ia bisa sampaikan pada tim jika ada yang kurang sesuai. Jemma selalu menuntut semua tim memberi kontribusi yang terbaik untuk klien mereka.
Belakangan pagi-paginya terasa berbeda. Ada seseorang yang mengganggu saat mulai kesibukannya. Setiap pagi tepat sebelum pukul tujuh, pesan masuk dari Althaf. Memberi sapaan pagi, walau hanya pesan rasa kesalnya sangat ia rasakan. Pagi ini, saat memeriksa ulang daftar kehadiran kru untuk event di Bogor, Jemma sempat sedikit teralihkan.
“Tumben banget, atau mungkin Al mulai bosan. Nggak ada pesan gangguannya pagi ini.”
Baru saja bergumam sedetik, layar ponselnya menyala.
Althaf Kafani: [Nungguin pesan dariku, ya? Selamat Pagi, Je... Mana mungkin aku bosan ganggu kamu]
Jemma mengerjap, takjub seolah Althaf tahu yang ia baru bicarakan mengenai dirinya. Ia tertawa kecil sambil bergumam, “dasar, aneh!” namun, detik berikutnya mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan pesan itu membuat paginya sedikit lebih hangat dari kopi yang sedang ia minum.
Ia juga ingin mengabaikan, tetapi malah mulai mengetik balasan.
[Pagi kamu kayaknya memang enggak ada kesibukan lain selain ganggu aku, ya?]
Pesan balasan Althaf muncul begitu cepat. Jemma mendengus geli, pilih hanya menatap balasan dan foto Althaf yang selfie sudah menggunakan helm...
Althaf Kalfani: [Wah kemajuan nih, langsung di balas pesanku!]
[Kamu salah, Je... yang benar kesibukanku tambah sekarang setelah kenal kamu. Aku yakin, sapaan pagiku memang receh tapi tetap bikin harimu ada yang berbeda sampai nanti kangen sendiri heheh...]
"Memang receh!" decak Jemma.
Ia mengambil sesapan kopi yang tersisa. Di luar, matahari mulai naik, dan pekerjaan menunggu. Ia siap menghadapi agenda yang padat, berjalan keluar apartemen dan tersenyum kecil.
Dia menuju mobilnya berada, pintunya terbuka dan Jemma masuk. Meletakkan tasnya di kursi sampingnya. Memutar lagu Wildflower dari Billie Eilish. Ia menarik napas dalam-dalam, terpikirkan cara yang Althaf lakukan untuk mengganggunya memang bisa membuat ia jadi terbiasa. Cara yang tidak biasa, apalagi untuk ukuran pria dewasa.
“Usianya berapa? Apa mungkin tiga puluh tahun, atau lebih?” gumam Jemma, memikirkan usia Althaf yang buatnya penasaran. Baru kali ini ia dikejar pria dengan cara yang berbeda dari mantan-mantannya dulu. Terlalu berterus terang sekali dan receh. Lalu Jemma juga bergumam lagi, "apa aku biarkan saja? Lumayan menghibur..." pastinya bukan untuk hubungan serius, apalagi sampai ia biarkan melibatkan hati. Jemma tidak pernah siap untuk memulainya lagi.