Sumber Rasa Sakit

2014 Kata
“Sssssthhhh!” Althaf memberi kode kepada keponakan-keponakannya untuk tidak berisik. “Om eyeeeek, tenapa sssthhh! Ssssttthh cih?” tanya Kai dengan tatapan penasaran. Dari kakak perempuannya memang Althaf sudah mempunyai dua keponakan, Rigel dan Kai yang selisih usia mereka hampir empat tahun lebih. Althaf yang gemas pada toddler itu, segera menariknya dengan mudah lalu kedua tangan memeluk erat. Kai si super aktif tidak akan betah, segera melakukan pemberontakan. “Epassss cin Om!” “Enggak, panggil Om ganteng dulu. Baru nanti dilepas!” Kai malah terkikik geli, kemudian menggelengkan kepala, “boong ntuh docaa Om!” Althaf langsung melotot, “makin bisa ya kamu! Om kamu ini ganteng beneran, bukan bohongan!" Kai lalu menunduk, memberi gigitan pada tangan Althaf, “astagfirullah, Ka Sky kemasan Sachet ya!” "Lacaiiin, Om eyyeeek naykal cihh!" Kai berhasil berlari sambil tertawa, kemudian tidak pedulikan Althaf lagi langsung bermain dengan para anggota keluarga yang usianya tidak jauh darinya. Jika tidak sedang banyak tamu, Althaf pasti sudah mengejar Kai dan menjahilinya sampai menangis. Selain acara keluarga untuk pemberian nama dan syukuran atas kelahiran Rara, Althaf juga sedang main kucing-kucingan alias menghindar terus dari Anggita Kartika yang sudah kedatangan para tamunya. “Kalau Nini tanya, lihat Om enggak... bilang enggak ya, Aa Igel!” Rigel menoleh, menatap pamannya. “Kai baru saja bilang, bohong itu dosa... Memangnya Om tidak kasat mata, jelas-jelas ada di sini.” Althaf melongo, kemudian mengusap dadanya sendiri secara dramatis, “benar-benar ya enggak ada yang mau bantu Om.” Rigel hanya melirik sekilas, kemudian ia diam lagi sambil duduk bersila. Tidak seaktif adiknya tadi. Althaf mencolek pipinya, “jangan kalem-kalem apa, Aa..” “Aku kan sudah jadi kakak, jatah Kai yang enggak kalemnya.” Althaf terkekeh, lalu usil ia memiringkan peci yang dikenakan Rigel. Ia mendapat lirikan saja, Rigel lalu membenarkan. Althaf mengulang lagi, ingin mengukur kesabaran keponakannya. “Om...” paling hanya menegur pelan begitu. Ponsel Althaf bergetar, kemudian ia berhenti mengganggu Rigel hanya karena Jemma akhirnya membalas pesannya. Hanya stiker mendelikan mata ke atas, mewakili ekspresi wanita itu jika sebal menanggapi ucapannya. Althaf membalas dengan memberi respons hati. Jemma tidak akan membalasnya lagi, itu saja dari pagi baru dibalas sudah sore begini. Althaf melihat tanda lingkaran hijau difoto profil Jemma, “enggak biasanya dia update status...” gumamnya. Althaf memantau, kemudian tersenyum lebar karena Jemma membagikan fotonya yang tampak berkeringat habis olahraga. Rambutnya diikat tinggi. Tidak ada make up, selain lip bam di bibirnya yang natural. "Waduh, bahaya banget foto begini malah kelihatan makin cantik dan seksi! Dilihat dosa, enggak dilihat sayang..." Gumamnya tidak sadar jika masih ada keponakannya di sana. “Aa,” panggil Althaf tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk minta pendapat keponakannya walau masih kecil. Rigel menoleh, “menurutmu, cantik enggak?” “Pacarnya Om Al?” Althaf mengerjap, “kok sudah tahu-tahuan pacar sih?” Rigel hanya mendekat, lalu melihat layar ponsel pamannya. “Cantik, uhm bajunya sama seperti yang Momo punya. Buat Pilates...” ia memerhatikan. Althaf kemudian menggeser menuju foto profilnya, “pacar Om namanya siapa? Kok enggak datang ke sini?” Terlalu fokus bersama keponakannya sampai mendengar suara Ibu. Althaf tidak langsung menjawab, melainkan mundur. “Sky, lihat Althaf enggak? Kok dari tadi, Ibu belum lihat. Apa kabur ya?” suara tanya Ibu mendengar. Althaf yakin kakak iparnya akan memberitahu keberadaannya sebab tadi melihat sewaktu dirinya melewati menuju ruangan tempat anak-anak berada. “Tadi ke sana bu, kayaknya sama Kai dan Rigel...” Rigel menoleh, Althaf segera mundur untuk siap kabur lagi. Rigel memang tadi pasrah diusili pamannya sampai menemukan momen yang pas untuk mengerjainya balik sekarang. “Nini, Om Al di sini nihh!” Althaf mendelik, “benar-benar ya, enggak bapaknya-anaknya sama saja!” Rigel terkikik geli, terutama Ibu datang langsung memberi tatapan kesal, “kamu ya, malah di sini?! Ibu cari-cari dari tadi!” “Mau apa sih, Bu?” “Sudah ikut, Ibu enggak enak sama teman Ibu... dari tadi menanyakan kamu terus. Yang lain sudah salim!” Althaf menghela napas dalam-dalam, lalu berdiri dan pasrah saat tangannya diimpit Ibu. Diajaknya menuju perkumpulan teman-teman Ibu yang heboh. Ia duduk dikenalkan, salim pada semua dan mendengar promosi Ibu. Althaf menoleh pada kakak-kakaknya yang duduk bersama pasangan mereka dan keluarga lain, hanya memberi senyum puas tanpa niat membantu. “Ganteng pisan Bu, kalau gini sih... sudah yuk, jadiin saja sama anakku! Kita jadi besan!" Kata salah satu teman Ibu, badannya gemuk dan cukup menor, belum lagi perhiasan ditangannya paling penuh. Lalu tangannya begitu saja menarik pipi Althaf. “Aduh, Bu...” Altaf terkejut, langsung mengaduh. “Eh maaf, habisnya gemas banget kalau lihat yang muda dan ganteng.” Althaf hanya bisa berharap para Ibu ini ingat suami dan keluarga di rumah, biar cepat pamit. Althaf baru akan berdiri, Ibu malah menahan pahanya. Menandakan ia harus tetap ada di sana. "Enggak usah kabur lagi, di sini temani Ibu!" *** “Teman-teman Ibu memang modelnya yang heboh begitu ya? Pasti nih kalau ke pengajian, lebih banyak pamer sama gosipnya dibanding ngajinya!” “Eh sembarangan kamu, Al!” Ibu berdecak. Althaf masih saja mencebik kesal perkara tadi terjebak menemani teman-teman mengaji Ibu. Langsung menyodorkan nomor telepon anak-anaknya, sampai yang masih sekolah, belum delapan belas tahun. Althaf tidak akan menelepon satu pun. Althaf melirik kakaknya, Sea yang kembali tertawa, “jangan marah-marah begitu, siapa tahu benaran salah satunya ada yang jadi mertua kamu nanti. Belum lihat langsung anak-anaknya, kan?” “Apa sih? Enggak usah ikut-ikutan, enggak diajak kamu tehhh! Habisnya kalian semua teganya oh teganya, enggak ada yang nyelametin aku. Semua kelihatan Happy aku tersiksa tadi!” gerutunya. “Begitu saja, lebay kamu Al!” Decak Ibu yang kemudian tersenyum pada menantunya, “nak Sky mau tambah makannya?” “Tuhhh ke menantu saja mode Ibu Peri. Ke anak sendiri mode Ibu tiri..." Althaf menyambar. Sky hanya menatap adik iparnya datar, Ibu malah merespons, “tidak usah dengarkan, padahal dia yang paling manja di rumah. Makanya irian kalau Ibu perhatian sama yang lain.” “Nini,” panggil Rigel setelahnya menghentikan protes Althaf pada sang Ibu. “Iya, Incu Nini? Mau tambah, atau mau apa?" Althaf masih mencebik kesal mendengar nada perhatian Ibu pada keponakannya. “Aku tahu kenapa Om Al marah-marah!” katanya. Sungguh Althaf sendiri tidak bisa menebak sama sekali yang akan disampaikan Rigel, hatinya hanya berdesir hangat berpikir keponakannya mau membela. “Memang enggak salah, Rigel selalu support Om! Kita memang tim solid! Cepat kasih tahu Nini, buat stop usaha jodoh-jodohin Om sama anak teman-temannya!” Kata Althaf sudah senang. “Kenapa?” sambar Sea yang juga penasaran pada putranya. “Om Al udah punya pacar, tadi dia kasih lihat fotonya. Pakai baju olahraga yang kayak Momo punya. Lagi keringetan begitu. Kata Om Al, cantik dan seksi, Nin.” Jelas informasi Rigel yang terlalu detail dan polos membawa semua mata tertuju padanya. Terutama Ibu. Althaf menelan ludah susah payah, lalu langsung mengambil ponsel dan berkata, “aku mau ngecek kerjaan—“ “Kerjaan apa? Jangan sok sibuk melebihi bos kamu ya! Bos kamu menantu Ibu saja duduk santai, nikmati makanan dan enggak sibuk sama ponsel.” Jika sudah begini, Althaf akhirnya berpikir untuk segera resign. Biar bisa mencari alasan kerja, tanpa bisa Ibu awasi langsung ke bosnya! Althaf duduk pasrah, kemudian memberi penjelasan, “baru teman bu,” “Terus apa maksudnya foto yang Rigel kasih tahu? Cantik dan seksi!" "Kamu mencemari anakku yah!" Sea sengaja ikut mengomel. Althaf memejamkan mata, “dia bagi kegiatannya, foto habis olahraga begitu...ya lagi berkeringat. Namanya juga habis olahraga.” Hubungannya dengan Jemma masih sangat awal, lebih tepatnya malah Althaf yang mengejar wanita ini. Jadi, ia memutuskan untuk belum memberitahu pada keluarga, terutama Ibu mengenainya apalagi namanya. Hanya Rigel, dan itu pun jadi terungkap. Ia yakin, Ibu dan kakak-kakaknya akan mulai penasaran terhadap perempuan yang sedang dekat dengannya. "iya, dia itu siapa? Masa enggak punya nama!" Ibu tidak menyerah. Althaf menggeleng pelan, "bukan enggak punya nama, cuman nanti aja aku kenalkan langsung kalau udah berhasil. Makanya Ibu stop deh jodoh-jodohin aku." *** Walau sedang libur nasional, EO miliknya malah tetap sibuk. Justru ada beberapa klien yang memilih hari seperti ini untuk menggelar acaranya. Jemma sedang ke luar kantor, baru mengecek acara yang berlangsung saat tadi Melati memberitahu salah satu kakaknya datang ke kantor. Jemma cukup heran sebab tidak ada yang menghubunginya lebih dulu, keluarganya kalau mau menemuinya ke kantor selalu konfirmasi agendanya. Tidak akan buang-buang waktu untuk datang bila Jemma tidak di sana. Ia tiba di gedung EO miliknya, Melati memberitahu sambil menemaninya ke ruangan. “Bu Darby yang datang,” Jemma langsung berhenti, menoleh padanya, “sama siapa?” “Sendirian, aku sudah bilang Mbak lagi di luar. Dia malah mau tunggu, minta di ruangan Mbak saja. Aku enggak bisa melarang.” “Oh, iya enggak apa-apa...” Jemma membiarkan. “Terus cuman sebentar, sepuluh menitan malah pas aku mau sampaikan Mbak otw balik sini, Bu Darby malah bilang mau pulang. Kayak buru-buru begitu.” Jemma duduk, sebelum ia menjawab, ia menoleh pada lacinya yang kurang terdorong ke dalam. Ia mendorongnya tanpa memeriksa, karena tidak perlu ada yang dicemaskan. “Nanti aku akan telepon kakakku, mungkin memang dia ada perlu, tapi terlalu lama menungguku kembali.” Melati lalu membahas laporan yang masuk, hari ini kantor hanya buka setengah hari. Melati masih di sana, saat Jemma dapat telepon dari Iyang yang ternyata memintanya untuk datang makan malam ini. “Menginap ya, sesekali. Iyang yang minta.” Ucapnya sebelum menyudahi obrolan dengan Jemma. Tentu saja, Jemma terlalu menyayangi Iyang sampai tidak bisa menolaknya sama sekali walau tidak berjanji. Ia perlu lihat situasinya. Jemma menarik napas begitu panjang, permintaan pulang apalagi makan malam dengan keluarga adalah bagian paling sulit karena harus berhadapan dengan Rifky. Jemma menyelesaikan pekerjaannya, memilih pulang ke apartemen dan sengaja datang mepet sekali. Di rumah sudah berkumpul, meski keberadaan semua anggota keluarga tidak mengubah suasananya yang terasa kaku dan dingin. Mungkin di rumah Maawirya butuh kehadiran anak-anak. Ia menyapa semuanya, walau bagian terkaku saat berhadapan dengan Rifky. Lalu Jemma duduk di samping Iyang. “Di mana Darby?” tanya Jemma. Rifky yang langsung menjawab, “masih bersiap.” Jemma hanya memberi respons anggukan, kemudian ia berdiri lagi. “Aku ambil minum ya, Iyang...” “Nanti diambilkan,” “Ambil sendiri saja.” Kata Jemma, kemudian segera ke dapur. Ia sengaja menghindar, sudah diulur-ulur pun waktunya, tetap saja ia harus berada ditengah-tengah keluarganya. Hubungan dengan keluarganya baik, walau sibuk masing-masing. Jemma menjaga jarak setelah ada Rifky di sana. “Je—“ “Oh ya ampun!” Jemma terkejut, berbalik karena sebuah sentuhan dibahunya. Gerakan terlalu refleks sampai menyenggol gelas yang isinya baru ia minum seteguk. Gelas kaca itu jatuh menghantam lantai, langsung hancur berkeping-keping dan menimbulkan suara yang sangat nyaring. Jemma membulatkan matanya, menatap Rifky kesal, “aku paling benci kalau kamu mengikuti begini, selalu buruk akibatnya!” omel Jemma dengan suara pelan tapi cukup Rifky dengar. “Sorry Je, kamu sampai kaget begitu!” “Pergi!” Jemma memintanya pergi, lalu berjongkok. Ia berniat untuk mengumpulkan pecahan kacanya. “Jangan pakai tangan, Je... nanti—“ “Akhh!” Jemma memang ceroboh, ujung pecahan kacanya yang tajam langsung mengenai ujung jemarinya. Rifky bergerak cepat, ia mengambil tangan Jemma memaksanya untuk menegakkan punggung lagi. Ia meraih jemarinya, “pecahannya menyakitimu, Je! Kamu harusnya lebih hati-hati! Marah padaku boleh, tapi jangan jadi ceroboh sampai menyakiti diri sendiri!” Jemma mematung, posisi mereka sangat dekat. Jemma lalu tersenyum miris, “ini bukan tentang gelas yang pecah bukan? Tapi, hati yang pernah kamu hancurkan sampai berkeping-keping!” Rifky terdiam, menemukan sepasang netra indah milik Jemma yang berkaca-kaca. Lalu suara langkah mendekat, sudah pasti semua penghuni rumah yang mendengar pecahan kaca mencari sumbernya. Namun, siapa sanga jika Darby yang lebih dulu sampai dan bertanya, “apa yang terjadi, kenapa kalian berdua ada di sini?!” Jemma dan Rifky menoleh, paling tersadar lebih dulu, Jemma menarik tangannya hingga membiarkan setetes darahnya jatuh ke atas lantai. Ia peluk sakitnya terutama saat mengepalkan tangan. Rifky masih saja jadi penyebab lukanya. Ia berharap Darby tidak berpikir negatif, atau masa lalu yang susah payah mereka sembunyikan bisa terbuka dan tidak baik untuk hubungan ketiganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN