Hisapan dan godaan Veronica, membuat Xavier mengerang saat merasakan miliknya yang semakin membesar dan mengeras di dalam mulut Veronica yang hangat.
Merasakan gairahnya mulai semakin tertantang karena Veronica, Xavier tidak diam saja. Dengan mudah jari-jari kokohnya menemukan puncak раyudаra Veronica dan menarik sekeras-kerasnya.
Rasa nyeri yang menyerang Veronica, langsung mengirimkan gelombang panas ke bagian bawah perutnya. Veronica terpaksa membuka mulutnya untuk mengerang keras, saat puncak gairah pertama menerjang.
Sadar kalau Veronica sudah mencapai puncaknya, Xavier segera melepaskan dirinya dari mulut Veronica. “Berdiri dan menghadap ke dinding. Bersiaplah.”
Sesaat wajah Veronica berubah kecewa. Sudah sejak lama, Veronica ingin sekali agar Xavier memilikinya dengan normal dan saling berhadapan. Bertahun-tahun melayani Xavier, Veronica tidak pernah merasakan keintiman itu dari Xavier.
Tetapi, lagi-lagi Veronica hanya bisa kembali menelan kekecewaannya sendiri. Xavier bukanlah seseorang yang mudah diprediksi, Veronica tidak bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh sang raja mafia, jika dia berani mengatakan keinginannya, dan saat ini, Veronica tidak siap untuk mendapatkan hasil yang terburuk.
Veronica bergegas berdiri dan menghadap ke dinding. Kedua tangannya ditekan ke dinding dengan kedua kaki yang terbuka lebar, siap menerima siksaan kenikmatan apapun yang akan diberikan Xavier padanya.
Begitu Xavier mulai bermain, meski baru dengan jari-jarinya saja, erangan dan desahan sudah terus terlontar dari bibir Veronica. Sampai akhirnya jeritan kepuasan panjang, terlontar dari Veronica, saat kejantanan Xavier memasuki tubuh bagian belakangnya dengan kasar dan tanpa ampun.
“Oh…ya…yaaa… terus Tuan… aakh…” Saking kerasnya Xavier mengerahkan tenaganya, bahkan tubuh Veronica ikut bergerak maju mundur sesuai dengan irama tubuh Xavier.
Xavier mulai menggempur Veronica dengan kekuatan penuh yang tidak terkendali, kasar seperti biasanya, dan Veronica merasakan gairah dan kesenangan yang semakin memuncak di dalam tubuhnya seiring dengan rasa sakit yang dirasakannya.
Kedua tangan besar Xavier, menahan pinggul Veronica pada tempatnya agar dapat terus menerus menerima setiap serangannya brutal yang dilakukannya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Veronica untuk merasakan puncak gairahnya yang mulai kembali menyerbu. Veronica tidak hanya membutuhkan pelepasan gairah, dia juga membutuhkan rasa sakit yang membuatnya semakin puas.
Ditengah-tengah pergulatan mereka, Veronica kembali melengkungkan punggungnya ke arah Xavier, dan Sang Singa sangat mengerti tanda-tanda yang diberikan oleh wanita yang berada di bawahnya itu.
Xavier mengulurkan tangannya ke arah depan dan bergerak menuju pangkal paha Veronica. Erangan tertahan kembali terdengar keluar dari bibir Veronia, tubuh sеksіnya bergetar keras dan semakin terasa menegang.
Gelombang panas kembali menerjang Veronica bersamaan dengan jeritan penuh kepuasan. Seluruh tubuh Veronica bergerak ke belakang menekan tubuh Xavier, membuat tubuh Xavier yang berada di dalamnya terjepit semakin erat.
Gerakan Veronica memancing reaksi tubuh Xavier. Dengan erangan yang sama kerasnya saat menjemput klimаksnya sendiri, Xavier kembali bergerak dengan cepat dan kasar, bagaikan binatang liar.
Kesakitan dan penderitaan inilah yang kubutuhkan. Rasa ini juga yang dibutuhkan oleh Xavier. Ini semua yang dibutuhkan oleh jiwa-jiwa yang telah dirusak oleh monster Costello. Sampai mati pun, aku tidak akan pernah rela, membiarkan anak monster penyebab semua kerusakan ini merebut Xavier dari diriku. Tidak akan pernah!
======
Sebagai hasil dari kemarahan atas kegagalannya, Karsa memberikan pekerjaan yang sangat banyak untuk Stella dan Nadira. Tidak hanya di peternakan tetapi juga di perkebunan. Dan di perkebunan, saat ini Stella dan Nadira berada.
Awalnya Nadira memaksa untuk mengerjakan semuanya sendiri, namun, dengan tegas Stella menolak permintaan Nadira, dan akhirnya mereka berdua mengerjakannya bersama-sama. Meski berat dan lelah, tetapi wajah keduanya terlihat bahagia dan penuh senyum.
Sepanjang bekerja, Nadira menceritakan pengalamannya setelah penyerangan terjadi. Ada satu hal yang membuat Stella terperangah tak percaya, yaitu pada saat Nadira mengatakan, nyaris tak seorangpun anggota keluarga Costello yang dijadikan budаk oleh Xavier.
Hanya mereka yang memang terkenal jahat dan selama ini selalu menjadi penyiksa saja yang dijadikan budаk.
Bahkan orang-orang yang dijadikan budаk oleh ayahnya dulu, dilepaskan begitu saja oleh Xavier agar dapat menjalani kehidupan sebagai manusia normal yang bebas. Mansion Costello masih tetap berdiri tegak, aset-aset perkebunan dan peternakannya, tidak dihancurkan.
Anggota keluarga dan para pekerja keluarga Costello masih tetap tinggal di mansion dan melakukan kegiatan seperti biasanya. Tak seorangpun dijadikan budаk atau mendapatkan hukuman atas apa yang tidak mereka perbuat.
Stella bisa merasakan kedua bola matanya memanas. Matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya mendadak terasa lega, seluruh beban yang selama ini bertahan di pundaknya seperti menghilang begitu saja tertiup angin.
Xavier Leone… siapakah dia sebenarnya? Aku benar-benar tidak bisa memahaminya. Kenapa dia bisa begitu baik hati dengan melepaskan orang-orang dari keluarga Costello, setelah semua penyiksaan dan kesakitan yang sudah dilakukan oleh ayah selama ini padanya dan juga keluarga Leone. Bahkan ayah memperbudak seluruh manusia yang menggunakan nama belakang Leone meski hanya kerabat ataupun temannya saja.
Melihat Stella dan Nadira yang bekerja dengan riang gembira, membuat Karsa semakin murka. Dari waktu ke waktu Karsa selalu mendatangi kedua wanita itu dan meneriakkan perintah baru atau makian untuk memaksa keduanya bekerja lebih keras lagi.
“Horeee! Nona, Nona Lihat! Lihat apa yang kutemukan!” Tiba-tiba Nadira berteriak kegirangan saat tangannya memetik sebuah buah apel yang kulitnya berwarna gelap nyaris hitam dan tanpa cacat.
“Itu apel berlian hitam!” Karsa langsung melupakan kekesalannya saat melihat buah yang ada di tangan Nadira.
Seperti namanya, Apel Berlian Hitam memiliki bentuk seperti buah apel dengan proposional yang sempurna. Kulitnya berwarna ungu tua hingga nyaris hitam. Daging buahnya berwarna putih dan terasa sangat manis seperti madu. Kehebatan buah langka ini, tidak seperti apel pada umumnya yang dagingnya cepat berubah warna menjadi kekuningan setelah terkena udara, buah Apel Berlian Hitam malah akan semakin putih dan semakin manis rasanya. Satu butir buah ini saja dapat bernilai hingga belasan juta, tergantung dari beratnya.
Senyum lebar menghiasi wajah Nadira, wajahnya menunjukkan kebanggaan saat semua pekerja lainnya mendekat untuk melihat buah yang ditemukannya.
“Dengan buah ini, berarti mulai sekarang hingga besok kami akan mendapatkan satu hari libur, bukan?” Nadira berkata dengan penuh semangat dan mulai membacakan aturan yang diingatnya.
“Aku ingat peraturannya. Jika pekerja mendapatkan buah atau benda langka yang bernilai tinggi, pekerja itu berhak mendapatkan libur mulai dari benda itu ditemukan hingga satu hari esok harinya sebagai hadiah atas hasil kerja kerasnya.”
“Ya, kau benar, Kau tidak perlu bekerja dari sekarang hingga besok.” Karsa ikut mengangguk dengan penuh semangat. Di dalam hatinya, Karsa bersorak gembira. Dengan tidak adanya keberadaan Nadira, maka dia akan memiliki banyak waktu dengan Stella.
“Tidak, Anda salah. Tidak hanya aku. Tetapi Nona Stella dan aku, kami menemukannya bersama.” Nadira mengangkat dagunya tinggi-tinggi menuntut haknya. Raut wajah Karsa terlihat sangat masam saat mendengar kalimat Nadia.
Sayangnya, Karsa tidak ada di lokasi pada saat Nadira menemukan apel itu, sehingga dia tidak memiliki bukti yang menyatakan sebaliknya. Sebagai seorang mandor, Karsa sangat mengerti dengan aturan yang ada lebih daripada orang lain.
Dengan suara menggerutu akhirnya Karsa berkata, “Baiklah, baiklah. Kalian berdua berhak mendapatkan libur dari sekarang hingga besok.”
“Horeee!” Nadira melompat-lompat gembira sambil menari-nari. Dia memberikan keranjang buah yang dipegangnya bersama dengan Stella ke salah seorang pekerja lain di dekatnya. “Kami libur seharian!”
Setelah menyerahkan hasil kerjanya yang baru setengah jalan kepada pekerja lainnya, Nadira bergegas melangkah pergi dari perkebunan sambil menarik Stella agar mengikutinya.
Namun, saat Stella melewati Karsa, mandor itu menjambak dan menarik rambut Stella dengan keras. Membuat tubuh Stella nyaris terjungkal ke belakang. Dengan leher yang dipaksa mendongak, Karsa berbisik di telinga Stella. “Apakah kau sudah mempertimbangkan permintaanku?”
Sambil menahan agar tidak menjerit, Stella menutup mulutnya rapat-rapat, berharap Karsa dapat segera melepaskan cekalan pada rambutnya yang terasa sangat menyakitkan.
“Aku selalu memperhatikanmu, Nona Muda. Cepat atau lambat… kau tidak akan bisa melarikan diri lagi.” Karsa menggeram kasar di telinga Stella. Tangannya yang lain meremas bоkong Stella dengan kasar sebelum Karsa melepaskan Stella pergi.
Dengan tergesa-gesa Stella segera mengejar Nadira. Nadira yang baru menyadari kalau Nona Mudanya sempat tertinggal, segera menanyakan apa yang telah terjadi pada Stella, namun Stella hanya menjawab dengan gelengan yang mengatakan dirinya baik-baik saja.
Maaf Dira, aku tidak bisa bercerita tentang permintaan Karsa padaku. Aku tidak ingin kau terluka. Aku hanya berharap semua ini dapat segera berlalu dan tidak ada hal buruk yang menimpa kita.
Sambil bergandengan tangan, Stella dan Nadira kembali ke mansion yang langsung disambut dengan pekerjaan rutin. Meski terbebas dari pekerjaan di perkebunan dan peternakan, Stella dan Nadira tetap harus menyelesaikan pekerjaan di mansion hari ini dan mendapatkan libur penuh esok harinya. Saat ini segunung pakaian yang harus dicuci sudah menunggu mereka.
Namun, hari ini ada yang berbeda. Hari ini, Stella tidak perlu melakukannya seorang diri, karena Nadira dengan cepat, segera menyingsingkan lengan baju untuk membantunya.
Keduanya bahu membahu membawa seluruh cucian ke ruang cuci. Nadira mencuci sambil bernyanyi dan menari, sedangkan Stella mengeringkan dan menggantungkannya di tali jemuran.
======
Sore menjelang, matahari sudah terbenam. Stella dan Nadira merasa sangat lelah. Namun, baru saja Stella merebahkan dirinya diatas ranjang, pintu kamarnya diketuk dengan keras dan langsung terbuka lebar.
“Tuan Xavier memintamu datang ke ruang kerjanya, Stella. Sekarang. JANGAN membuatnya menunggu lama!” Marissa muncul di depan pintu kamar Stella dan memberikan perintahnya.
Jantung Stella seperti berhenti berdetak. Hal yang ditakutkannya kembali datang. Sudah hampir satu minggu Stella tidak bertemu dengan Xavier. Sejak kejadian malam itu. Setelah menenangkan diri, Stella pamit kepada Nadira, dan berjalan menuju ruang kerja Xavier.
Stella mengetuk pintu ruang kerja Xavier dan menunggu perintah untuk masuk. Namun, setelah beberapa saat menunggu tanpa adanya jawaban, Stella memberanikan diri membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu.
Dari arah belakangnya, Alex muncul dan mengatakan Xavier masih melakukan pertemuan dan akan segera kembali. Stella diminta untuk menunggu di dalam ruang kerja Xavier.
Mengangguk mengerti, Stella berjalan memasuki ruang kerja Xavier dan kembali menutup pintunya dengan perlahan.
Kali ini, Stella memiliki kesempatan untuk memperhatikan ruangan yang sama mengesankannya seperti kamar tidur Xavier. Desain ruangan itu, sama seperti pemiliknya. Berkelas.
Mata Stella tak sengaja berhenti di sebuah pintu penghubung yang terbuka. Dengan hati-hati, Stella melangkah memasuki ruangan itu.
Stella terbelalak, matanya membulat sempurna saat melihat ratusan mungkin ribuan deretan buku-buku yang tertata rapi di ruangan itu. Sebuah perpustakaan. Sebagai seorang pencinta buku, ruangan itu tentu saja sangat menarik perhatian Stella.
Dengan langkah ringan, Stella melalui baris demi baris rak buku, melihat satu persatu judul yang berada di punggung buku yang tertata sesuai jenisnya.
Tanpa Stella sadari, waktu terlewat begitu cepat di tempat itu. Stella memegang sebuah buku ditangan, dirinya tenggelam dalam bacaan. Ada sedikit noda merah yang berada di bagian belakang buku, yang dikira oleh Stella sebagai hiasan pada sampul bukunya.
Meski larut dalam bacaannya, naluri Stella tetap mampu merasakan saat bahaya mendekatinya. Stella mampu merasakan saat dirinya tidak lagi sendiri di ruangan itu.
Dengan cepat Stella berputar dan matanya langsung menatap Xavier yang sudah berdiri di pintu penghubung. Wajahnya datar tanpa emosi, tetapi tatapannya sangat dingin membeku dengan kemarahan yang menusuk saat melihat buku yang berada di tangan Stella.
“Beraninya kau masuk kesini.” Xavier menggeram rendah.
Meski ketakutan mengalir di seluruh tubuh Stella, tetapi, dengan sekuat tenaga, Stella tidak akan memperlihatkannya kepada Xavier.
Dengan anggun, Stella menundukkan tubuhnya dan berbisik lembut, “Ma-maafkan saya, Tuan. Sa-saya tidak menyadari sudah terlalu lama disini.”
Xavier menatap Stella lekat-lekat. Rasa jijik tergambar jelas di seluruh wajahnya. Xavier menggeram marah. “Letakkan kembali buku itu.”
Stella cepat-cepat mengembalikan buku yang dipegangnya, seperti orang yang sedang memegang bara api di tangannya.
“Berlutut”
Begitu perintah itu terlontar, suara benturan lutut Stella dengan lantai segera terdengar, kedua tangannya bertautan dengan erat.
“Kemari.” Tatapan mata Xavier terlihat penuh kemarahan. Membuat Stella semakin ketakutan melihatnya.
Dengan cepat Stella berjalan diatas lututnya mendekati Xavier. Meski lututnya terasa sakit dan nyeri, Stella tidak berani sedikitpun memperlihatkan di wajahnya ataupun mengeluh.
Xavier menunduk saat Stella berhenti di depannya. Telapak tangannya yang besar terjulur dan melingkari leher jenjang Stella, dan mencekiknya dengan keras. Mata Stella membesar, nafasnya tersengal.
Tangan Xavier semakin mengetat. Meski Xavier tidak mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi kekuatannya saat ini sudah cukup untuk membunuh Stella. “Jangan pernah menginjakkan kakimu di ruangan ini lagi, Stella. Selamanya. Jika kau sekali lagi kau melanggarnya, aku pastikan aku akan membunuhmu detik itu juga.”
Air mata mengalir deras membasahi wajah Stella. Meski Stella mendapati dirinya kesulitan bernafas, tidak sedikitpun tangannya terangkat untuk menjauhkan cengkeraman Xavier dari lehernya. Kedua tangan Stella hanya mampu meremas erat rok yang sedang digunakannya.
Melihat wajah Stella yang mulai membiru, Xavier melepaskan cengkeramannya dari leher Stella. Matanya memerah penuh dendam.
“Namun, hari itu, ayahmu bahkan tidak memberikan kesempatan sedikitpun pada Nina. Saat dia menumpahkan darahnya…” Suara Xavier terdengar begitu rendah dan kasar seperti amplas, “...di ruangan ini. Dengan buku yang tadi berada di tanganmu.”
Nina…? Adik Leone? Nina, gadis berusia belasan itu meninggal di perpustakaan ini? Tuhan… apakah aku akan pernah bisa menebus segala dosa-dosa ayahku?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Xavier berbalik, berjalan menuju sofa besar yang berada di dalam ruangannya, dan duduk menunggu Stella. Dengan kepala tertunduk, meski lehernya masih terasa terbakar di setiap tarikan nafasnya, Stella mengikut Xavier sambil tetap berjalan diatas lututnya
Di dalam ruang kerja, Stella melihat Alex yang lebih dulu duduk di salah satu kursi di depan meja kerja besar Xavier. Detik itu juga, jantung Stella seperti terjatuh ke lantai.
Kepanikan perlahan merambat naik di seluruh tubuh Stella. Nafasnya mulai kembali tersendat. Wajahnya memucat. Lehernya kembali terasa tercekik oleh tangan-tangan tak terlihat.
Stella menyadari salah satu bentuk siksaan yang mampu diberikan Xavier padanya adalah menunjuk pria manapun untuk menidurinya.
Pria lain? Apakah hari ini Xavier akan memberikan diriku kepada orang lain? Apakah ini waktunya? Apakah yang selama ini aku takutkan akan terjadi hari ini? Sebagai seorang budаk, masa pemulihanku kemarin memang sudah memakan waktu terlalu banyak, sehingga aku sudah melewatkan setidaknya satu sesi penyiksaan.
Apakah itu sebabnya aku dipanggil malam ini? Apakah ini waktunya aku kembali disiksa? Tidak! Tidak! Tuhan…jangan siksaan ini! Aku tidak akan mampu bertahan…