Telinga Stella masih terasa berdengung saat mendengar jawaban Xavier. Matanya berkaca-kaca penuh dengan keputusasaan.
Hati Stella tak henti-hentinya menjeritkan pertanyaan kepada langit untuk diteruskan kepada ayahnya. Kenapa ayahnya harus melakukan semua itu? Kenapa ayahnya harus terobsesi dengan kekuatan dan kekuasaan? Kenapa?
Stella tahu, malam ini dia akan kehilangan kesuciannya. Kehormatan yang selama ini selalu dijaganya, akan direnggut dengan cara yang paling hina, di tangan orang yang berhati dingin yang pernah dikenal olehnya, dan itu semua karena perbuatan ayahnya.
Namun, Stella yakin dirinya akan mampu bertahan. Meskipun saat ini Stella bukan lagi seorang Nona Muda yang diagung-agungkan layaknya seorang Putri, tetapi dia terlahir dengan harga diri seorang Putri. Wanita bermartabat, yang penuh dengan kebanggaan sebagai seorang wanita terhormat.
Meskipun Stella tidak bisa melarikan diri dari nasib buruknya, tetapi semua ini tidak akan membuatnya merendahkan kepalanya. Dengan dagu terangkat tinggi, Stella mempersiapkan diri untuk menerima takdirnya.
Xavier menatap dingin ke arah Stella. Meskipun tidak ada sedikitpun emosi yang terlihat di wajahnya, tetapi di dalam hatinya, Xavier memuji keberanian Stella.
Xavier benar-benar menantikan saat dirinya bisa melihat kehancuran seorang wanita sombong yang ada di depannya ini, dan malam ini adalah sebagai penanda kehancuran itu akan dimulai.
“Naik ke ranjang. Telungkup. Buka kedua kakimu lebar-lebar.” Suara berat Xavier terdengar begitu dingin tanpa emosi. Hanya kilat kebencian yang terlihat di sorot matanya.
Dengan dagu terangkat tinggi, Stella melangkah perlahan menuju tempat tidur. Dia menelungkupkan tubuh telanjangnya dan membuka kedua kakinya lebar-lebar sesuai dengan perintah Xavier.
Perlahan Stella menutup matanya, menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak mengalir, menunggu hal yang tak dapat dielakkan. Stella mengepalkan kedua tangannya erat-erat di kedua sisi kepalanya, menahan agar getaran tangannya tidak terlihat oleh Xavier.
Berusaha untuk mengalihkan perhatiannya, Stella mencoba menikmati kasur nyaman yang sedang ditidurinya ini. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah merasakan kasur yang sangat nyaman seperti ini, padahal semua ini baru terjadi belum sampai sebulan lamanya.
Samar-samar Stella bisa mendengar suara pakaian yang dibuka dan resleting celana yang diturunkan, tetapi lamunannya benar-benar terpecah ketika Stella merasakan kasur yang melesak karena tekanan dan seseorang yang mendekatinya dari belakang.
Tanpa mengatakan apapun, Xavier meraih pinggul Stella dan menariknya dengan kasar, membuat posisi tubuh Stella menungging sepenuhnya. Tanpa peringatan apapun, Stella merasakan jari besar Xavier menerobos kasar memasuki tubuhnya begitu saja.
Meski awalnya terasa nyeri dan panas, tetapi saat jari itu mulai bergerak perlahan selama beberapa saat, Stella mulai merasakan sengatan aneh di tubuhnya. Meskipun Stella tidak menyukai semua ini, entah kenapa tubuhnya mulai bereaksi dengan apa yang dilakukan oleh Xavier padanya.
Tidak memerlukan waktu lama bagi Xavier untuk mempersiapkan tubuh Stella. Perlahan, rasa panas mulai terasa menggulung di bagian bawah tubuhnya. Stella bisa merasakan ada cairan hangat yang mengalir keluar dari pusat tubuhnya, saat itu juga, Xavier langsung mengeluarkan jarinya dan menempelkan kejantanannya di pintu kewanitaan Stella dan langsung mendorong masuk.
Mata Stella langsung terbuka lebar saat merasakan betapa besarnya kejаntаnan yang mencoba memasukinya.
Stella bukan seorang Nona Muda yang lugu dan polos sehingga tidak mengenal tentang tubuh seorang pria. Dia sudah melihat banyak sekali tubuh telanjang para budаk yang dijadikan pertunjukan oleh ayahnya.
Tetapi selama ini, Stella tidak pernah mengira kalau benda itu bisa menjadi sangat besar seperti sesuatu yang sedang berusaha memasuki dirinya sekarang.
Xavier terasa seperti sedang mencoba-coba sesuatu di depan lubang pintu gua kewаnitaannya, geraman singkat yang keluar dari bibirnya dianggap oleh Stella sebagai suatu tanda kalau Xavier menemukan apa yang dia sukai di tubuhnya.
Stella menahan nafasnya, menahan rasa nyeri yang menyerang, saat Xavier mulai mendorong pelan kejаntаnannya memasuki tubuh Stella.
Namun, ketika tubuh Stella masih mencoba beradaptasi dengan rasa sakit dari benda besar yang ingin memasukinya, tiba-tiba, Xavier menarik tubuhnya sedikit menjauh.
Detik berikutnya, kedua tangan besarnya Xavier menahan pinggul Stella dengan kuat, hingga Stella tak bisa bergerak sedikitpun, dan setelahnya, Xavier langsung menggerakkan pinggulnya dengan sangat kasar.
Seluruh bagian tubuh Xavier langsung tertanam sepenuhnya ke dalam tubuh Stella dengan satu kali dorongan yang sangat keras.
Jeritan melengking Stella langsung mengisi seluruh ruang kamar Xavier. Tubuh Stella terasa seperti dibelah dua, panas dan menyakitkan. Rasa nyeri yang menyerangnya membuat kepalanya terasa sangat pusing. Pandangan Stella berkunang-kunang karena menahan sakit.
Stella tahu orang-orang mengatakan pertama kali melakukan hubungan badan akan terasa sakit, tetapi Stella tidak pernah menyangka, sakitnya ternyata sangat luar biasa. Gigi Stella bergermeratak menahan sakit hingga rahangnya nyaris mati rasa. Bibirnya berdarah karena terlalu keras digigit olehnya.
Xavier terdiam sesaat, bukan karena membiarkan tubuh Stella terbiasa dengan batangnya, tetapi karena dia ingin menikmati wajah Stella yang penuh kesakitan dan dibanjiri air mata.
Saat mendengar rintihan kesakitan Stella mulai berkurang, Xavier mulai menggerakkan kejantanannya keluar dan masuk. Tetapi, bukannya dengan gerakan lembut, untuk memberikan kenikmatan bagi Stella, Xavier malah menumbuk tubuh Stella dengan ganas dan sekuat tenaga.
Stella terus menggelengkan kepalanya mencoba menolak rasa sakit yang mendera tubuhnya. Mengubur kepalanya dalam-dalam ke kasur dan terus menjerit.
Secara naluri, tubuh Stella terus mencoba menarik diri agar menjauh dari sumber siksaan, tetapi tangan besar Xavier menahan tubuh Stella dengan erat, tak mengizinkannya tubuh mungil itu meronta atau menjauh sedikitpun.
Sepanjang malam, hanya jeritan kesakitan dan isak tangis Stella yang terus menerus terdengar di dalam kamar mewah itu. Tak ada satupun suara yang terlempar keluar dari bibir Xavier, meski hanya erangan halus.
Anehnya, meskipun Xavier melakukannya dengan begitu ganas seperti binatang, Stella masih bisa merasakan kalau Xavier tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Stella merasa, Xavier masih menahan diri.
Seandainya Xavier melakukannya dengan sepenuh hati, apakah tubuhku akan benar-benar terbelah dua.
Entah berapa menis sudah berlalu, tetapi Xavier masih terus bergerak. Stella sudah tidak bisa lagi menghitung. Dirinya nyaris kehilangan kesadaran karena rasa sakit yang tak terkira, sampai tiba-tiba saja Xavier menarik dirinya keluar dari dalam tubuhnya dengan kasar, lalu bangkit berdiri dan kembali memakai celananya.
Meski Xavier sudah melepaskannya, tubuh Stella yang tergeletak lemas di atas ranjang, tak sanggup untuk bergerak sedikitpun. Seluruh tubuhnya terasa luluh lantak, bagian intinya terasa kebas mati rasa. Air matanya masih terus mengalir membasahi tempat tidur.
“Keluar dari kamarku.” Tanpa melihat sedikitpun ke arah Stella, perintah dingin Xavier terdengar, kemudian dirinya beranjak keluar dari kamar. Meski Stella sudah mendengar suara pintu di belakangnya terbuka dan tertutup kembali dengan suara bantingan keras, dirinya masih tetap tak mampu menggerakkan satu otot pun di tubuhnya.
Meski ini adalah pengalaman pertama Stella, tetapi dia tahu kalau Xavier belum menyelesaikan hasratnya dan itu membuat Stella bertanya-tanya di dalam hati.
Dia sangat membenci diriku, tak ada sedikitpun rasa penyesalan darinya saat menyetubuhiku, lalu kenapa dia tidak terus menggunakan tubuhku untuk mencapai kepuasannya?
Tetapi untuk saat ini, Stella tak ingin repot-repot memikirkan jawabannya. Saat ini yang ada di pikirannya hanyalah cara menghilangkan rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya. Sepanjang hidupnya, ini adalah pertama kalinya Stella merasakan kesakitan yang begitu hebatnya.
Tangisan menyayat hati terdengar dari bibir ranum Stella. Impiannya selama ini, adalah memiliki seorang suami, yang mengajaknya bercintа dengan lembut di bawah sinar rembulan. Stella yang memberikan keperawanan yang selalu dijaganya kepada pria yang dicintainya, yang menyentuh tubuhnya dengan penuh kelembutan dan cinta.
Namun, kenyataannya sangat jauh dari angan-angan. Kenyataannya begitu menyakitkan seperti pisau yang ditusukkan ke jantung. Sampai-sampai Stella tidak tahu mana yang lebih menyakitkan, tubuhnya atau hatinya.
Ayah, apakah di neraka kau melihat semua ini? Kenapa kau melakukan semua ini padaku?
Perlahan Stella mengumpulkan kekuatannya dan turun dari ranjang. Stella menghembuskan nafas lega saat mengetahui Xavier tidak lagi berada di dalam kamar itu. Dengan tertatih-tatih dan bibir terus mendesis kesakitan, Stella perlahan melangkah keluar kamar. Air mata masih terus menuruni pipinya.
Dengan darah yang masih mengalir dari selangkangannya membasahi paha bagian dalamnya, Stella menunduk dan meraih kimononya dan menutupi tubuh telanjangnya.
Dengan terseok-seok dia berjalan menuju penjara dingin di bawah tanah yang telah menjadi kamarnya selama ini didampingi kedua pelayan yang menunggunya sejak tadi.
Penjaga yang bertugas, menatap Stella dengan dingin dan membukakan pintu penjaranya. Tak sedikitpun rasa kasihan terlihat di mata penjaga itu saat melihat kondisi Stella yang muncul dengan mengenaskan.
Begitu memasuki ruang penjaranya, Stella langsung menghampiri ranjang dengan kasur tipis dan bau, kemudian merebahkan badannya dan menarik kedua kakinya merapat ke dadanya.
Mati-matian Stella mencoba menahan isak tangisnya. Stella tidak ingin menangis lagi. Stella tidak ingin terlihat lemah dan kalah, Stella berjanji pada dirinya sendiri, dia akan berhasil bertahan melewati semua ini.
Di mata semua orang, mereka bisa melihatku sebagai budаk Xavier. Tetapi, aku tahu, kalau di dalam hatiku, aku tetaplah seorang wanita yang terhormat. Aku adalah seorang Putri dari keluarga ternama. Aku adalah Stella Costello. Selamanya Xavier tidak akan pernah bisa menghancurkanku, aku tidak akan pernah membiarkan pria dingin dan brengsеk itu mengalahkanku. Tidak sedikitpun.
Tiba-tiba suara pintu kembali terbuka dan Marissa melangkah masuk. Wanita paruh baya itu tersenyum sopan pada Stella sambil berkata, “Tuan Xavier memerintahkanku untuk membawamu.”
“A-apa?! La-lagi?!” Sepasang mata biru Stella terbelalak mendengar perkataan Marissa.
Melihat Stella yang tampak terkejut, Marissa mencoba untuk menjelaskan, “Tuan Xavier memerintahkan untuk membawamu keluar dari sini dan…”
Belum selesai penjelasan Marissa, kesabaran Stella yang sudah terbakar oleh kesakitan dan penderitaan, membuat kemarahannya tersulut.
Dengan mata memerah dan bibir bergetar menahan marah, Stella menjerit kesal, sambil melompat bangkit dari tempat tidur. Sakit dan nyeri yang sejak tadi mendera tubuhnya, terlupakan sesaat. “APA YANG DIINGINKANNYA LAGI DARIKU!”
“Tuan mau…”
“Aku tak peduli apa kemauannya! Dia mau pergi ke nerakapun aku tidak peduli! Jangan ganggu aku!” Sang Nona Muda meluapkan semua emosinya, kesedihan, kesakitan, penghinaan.
Marissa menggigit bibirnya, wajahnya terlihat sedikit kesal saat mendengar Stella menyumpahi Tuannya, tetapi Marissa tetap tidak beranjak kemanapun. Bahkan, selintas dapat terlihat rasa kasihan di kedua bola mata Marissa, ketika wanita itu menatap Stella yang sedang melepaskan emosinya.
“Kau harus mengubah sikap angkuh ala Nona Muda, jika kau ingin bertahan sebagai seorang budаk. Itu yang kami semua lakukan, saat kami berusaha untuk bertahan hidup di tangan ayahmu. Begitu cara kami dapat bertahan hidup.”
“Tuanmu adalah seorang monster!” Stella berkata ditengah isak tangisnya.
Marissa menggelengkan kepalanya perlahan dan menarik nafas panjang. “Tuan Xavier tidak sedikitpun mendekati apa yang kau tuduhkan. Kau tidak pernah tahu apa yang sudah dia lalui selama ini.”
Mendengar pembelaan Marissa, Stella mengangkat wajahnya dan menatap Marissa dengan tatapan menentang. Menantang Marissa untuk mengatakan sebaik apa Tuan Xavier yang dipujanya itu.
Marissa membalas tatapan Stella. “Andai kau bisa menyadari, sebenarnya dia menahan diri padamu.”
Stella mendengus kencang. “Bagaimana kau bisa mengatakan seperti itu. Andai kau tahu apa yang monster itu lakukan pada…”
“Dia menahan diri. Jika dia benar-benar ingin membalas semua perbuatan ayahmu, maka yang dia lakukan pertama kali adalah menempelkan besi panas pada kewаnitaanmu.” Marissa memotong perkataan Stella begitu saja.
“A-apa?” Stella menatap Marissa dengan tatapan tak percaya. Stella ingin memastikan telinganya tidak salah dengar apa yang dikatakan oleh Marissa.
“Lupakan.” Marissa berbalik dan melangkah keluar. Sesaat dia berhenti di pintu dan melirik Stella sambil berkata, “Dengarkan kata-kataku, jika, kau sudah selesai mengasihani dirimu sendiri, Tuan Xavier memintaku untuk membawamu ke kamarmu.”
“Huh?” Stella mengedipkan matanya kebingungan. Dia merasa pendengarannya mulai bermasalah. “A-apa mak…”
“Ikuti aku.” Marissa tidak lagi menunggu Stella yang masih kebingungan, tetapi kembali melanjutkan langkahnya keluar dari ruang bawah tanah tempat Stella dipenjara sebelumnya.
Dengan susah payah sambil meringis menahan sakit, Stella bangkit dari tempat tidurnya dan dengan terseok-seok berjalan mengikuti Marissa.
Kali ini, wanita paruh baya itu membawa Stella menuju sisi lain dari mansion yang sangat megah dan besar itu, menuju sebuah kamar. Kamar itu kecil, mungkin hanya seluas kamar mandi di kamar lama Stella, tetapi kamar itu terasa hangat, nyaman dan bersih.
“Apa yang harus kulakukan disini?” Stella kembali bertanya kebingungan pada Marissa.
“Mulai hari ini, kamar ini akan menjadi kamarmu.”
“Ka-kamarku?” Stella melangkah masuk dan memperhatikan ke sekeliling kamar. Benaknya terus bertanya-tanya siksaan macam apa lagi, yang orang-orang ini akan lakukan pada dirinya dengan memberikan seorang budаk kemewahan seperti ini.
“Lemari itu berisi pakaianmu. Pintu di sebelahnya menuju kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri, beristirahatlah. Tuan Xavier akan menemuimu lagi besok.”
Selesai menjalankan tugasnya, Marissa segera berputar dan melangkah pergi meninggalkan Stella yang masih termangu di tengah ruangan, memikirkan semua kejadian yang telah menimpanya saat ini.
Menit berlalu, merasa sudah tak sanggup lagi untuk berpikir apalagi untuk membersihkan diri. Perlahan Stella mendekati tempat tidur dengan kasur empuk yang terasa nyaman. Memang tidak sehalus dan selembut kasur yang ditidurinya dulu, tetapi setidaknya jauh lebih baik daripada apa yang didapatnya di penjara bawah tanah.
Mata Stella perlahan terpejam membawanya masuk ke dunia mimpi. Setidaknya untuk beberapa waktu, Sierra bisa melarikan diri dari kenyataan. Meski di kepalanya masih terus terngiang-ngiang perkataan Marissa tentang Xavier.
Kejadian hari ini adalah awal hidupku sebagai budаk. Kemanapun takdir membawaku, aku tidak akan pernah menyerah. Tetapi, apa yang Marissa maksud dengan Xavier menahan diri? Dan apa yang dia maksud dengan Xavier seharusnya memulai semua ini dengan membakar kewanitaanku? Oh Ayah… apa yang sudah kau lakukan padanya?