"Siapa pria itu?" batin Alvarro penasaran.
Aresha mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi kekasihnya, berharap pria itu mengangkat teleponnya dan mengatakan sesuatu. Namun, yang dia lihat justru sebaliknya. Erza hanya menatap sesaat ke layar ponselnya, mengetik sesuatu, lalu kembali meletakkannya di meja. Dia mengacuhkan panggilan telepon Aresha dan kembali berbincang dengan wanita yang wajahnya tidak bisa Aresha lihat dengan jelas.
Bertepatan dengan itu, ponsel Aresha berbunyi. Notifikasi pesan masuk.
"Aku sibuk." (Erza)
"Ck!" decak Aresha kesal.
Alvarro, yang cukup paham dengan apa yang sedang terjadi, langsung berusaha mengalihkan perhatian Aresha.
"Apa kamu selalu memesan makanan selama ini, Nona Aresha?" tanya Alvarro, membuyarkan lamunan Aresha.
"Maaf, Pak! Saya tidak lapar," ujar Aresha, kehilangan nafsu makannya. Ingin sekali rasanya dia menghampiri kekasihnya itu. Namun, dirinya masih cukup waras untuk tidak membuat keributan dan menjadi tontonan orang-orang di sini. Dia juga tidak ingin kejadian itu viral kalau ada orang iseng yang sengaja mengunggahnya ke media sosial.
"Tapi cacing di perut kamu kelaparan," sahut Alvarro asal. Dia bukan tipe pria yang mudah melempar guyonan atau candaan, apalagi untuk memperbaiki suasana hati seorang wanita.
"Hmm, baiklah... demi cacing-cacingku yang malang," balas Aresha, ikut-ikutan absurd.
Alvarro tersenyum tipis melihat Aresha menanggapi candaannya. Padahal, Aresha hanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini.
Sekitar dua puluh lima menit kemudian, akhirnya makanan mereka tersaji di meja.
"Selamat makan, Pak," ucap Aresha sopan, membuat Alvarro mengangkat kepalanya dan menatapnya sesaat.
"Iya," jawab Alvarro singkat, tidak tahu harus membalas apa.
Mereka berdua pun mulai makan. Aresha, yang tadi dengan yakin mengatakan tidak lapar, kini sudah menghabiskan lebih dari setengah porsi makanannya.
"Pelan-pelan," gumam Alvarro, lalu tanpa sadar membersihkan saus yang menempel di sudut bibir Aresha dengan tisu.
"Eh?" seru Aresha terkejut dengan gerakan spontan bosnya itu. Mereka saling menatap dalam diam selama tiga detik.
"Ada saus yang menempel," ujar Alvarro santai, lalu kembali menyantap makanannya.
"Ah, iya... Terima kasih, Pak," jawab Aresha, sedikit merona. Kekasihnya saja tidak pernah melakukan hal seperti itu untuknya.
Akhirnya, mereka makan dalam diam.
Sementara itu, Erza dan wanitanya beranjak dari tempat duduk mereka. Erza benar-benar tidak sadar akan kehadiran Aresha karena terlalu fokus pada wanita di sampingnya.
Mata Aresha melotot ketika melihat Erza dengan santainya merangkul pinggang wanita tersebut.
Dengan cepat, Aresha meneguk air minumnya. "Uhuk, uhuk, uhuk!"
"Hati-hati!" seru Alvarro yang langsung berdiri, bergerak ke sisi Aresha, dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.
"Uhuk, uhuk, uhuk!" Aresha masih saja terbatuk karena tersedak air minumnya.
"Ini, minum lagi," ujar Alvarro sambil menyerahkan gelas air miliknya, karena air di gelas Aresha sudah habis diteguk dengan kasar.
Aresha langsung mengambil gelas yang diberikan Alvarro dan meminumnya perlahan.
"Terima kasih, Pak," ucap Aresha tulus. Dia benar-benar malu dengan kelakuannya hari ini di depan bosnya.
"Sudahlah. Aku kan mau resign, jadi tidak ada masalah. Mungkin malah lebih bagus kalau dia tahu kalau sekretarisnya ini ternyata tidak sesempurna pikirannya," batin Aresha.
Alvarro kembali ke tempat duduknya, melanjutkan makan sampai habis, lalu meneguk air minum yang tinggal setengah.
Mata Aresha kembali melotot ketika melihat Alvarro meminum dari gelas yang sama dengan miliknya.
"Pak, itu gelas saya!" ujar Aresha yakin, karena di bibir gelas itu jelas tercetak bekas lip cream miliknya yang berwarna peach.
"Ini gelas saya," jawab Alvarro santai.
"Tapi... itu, Pak..." ujar Aresha tidak mau kalah sambil menunjuk bekas bibirnya yang tercetak jelas di bibir gelas.
Alvarro mengikuti arah yang ditunjuk Aresha. "Kamu tidak ada riwayat penyakit serius atau menular, kan?" tanya Alvarro asal, karena dia juga tidak sadar ada bekas bibir sekretarisnya di gelas itu.
"Tidak ada, Pak!" jawab Aresha cepat.
"Baguslah. Jadi tidak ada masalah," ujar Alvarro santai dan kembali meneguk air minumnya.
"Dan aku juga tidak ada riwayat penyakit menular," lanjut Alvarro.
"Maksud Bapak?!" tanya Aresha bingung, masih tidak paham.
Alvarro hanya mengangkat bahu dan menunjuk gelas kosong di dekat Aresha.
Aresha mengikuti arah yang ditunjuk bosnya. "Aaaa... maaf, Pak!" seru Aresha yang sadar kalau dia sudah salah paham.
Wajahnya memerah karena malu. "Dasar dodol!" rutuknya dalam hati.
"Ayo," seru Alvarro yang sudah berdiri.
"Baik, Pak!" jawab Aresha yang mengikuti Alvarro dari belakang. Namun, dengan cepat, Alvarro meraih tangan Aresha untuk mensejajarkan diri mereka.
Alvarro kembali membukakan pintu mobil untuk Aresha.
Perjalanan berlangsung dalam diam. Alvarro menyetir tanpa sepatah kata, begitu juga dengan Aresha yang larut dalam pikirannya. Karena macet, mereka harus lebih bersabar untuk menghabiskan waktu bersama di dalam mobil dengan suasana yang canggung.
"Ehm..." Alvarro berdehem, memecah keheningan yang sudah terlalu lama.
"Kamu ada masalah?" tanya Alvarro hati-hati.
"Maksud Bapak?" Aresha balik bertanya.
"Kamu terlihat tidak baik-baik saja sejak di restoran," ujar Alvarro to the point.
"Ehmm... maaf, Pak!" jawab Aresha.
"Maaf? Kamu ada salah apa sampai minta maaf?" tanya Alvarro bingung.
Aresha juga bingung kenapa dia meminta maaf. Mungkin karena merasa tidak enak. Dia sadar dirinya tidak bersikap profesional di depan bosnya hari ini.
"Karena hari ini saya tidak bersikap profesional di depan Bapak, sampai Bapak bisa tahu kalau saya sedang memiliki masalah. Maaf karena mencampuradukkan masalah pribadi dan urusan pekerjaan," jawab Aresha panjang lebar, mencoba menjelaskan situasinya.
Alvarro tertegun mendengar penjelasan Aresha. Dia menghembuskan napas berat.
"Pertama, kamu tidak ada kesalahan, jadi tidak perlu meminta maaf. Karena saat ini kita tidak sedang dalam urusan pekerjaan. Ini hanya makan malam. Dan kamu tidak perlu sekaku itu apabila kita berada di luar perusahaan," ujar Alvarro dengan nada dingin.
"Baik, Pak," jawab Aresha, masih tertunduk. Dia benar-benar tidak paham dengan pola pikir bosnya itu.
"Panggil Varro selama kita berada di luar jam kerja," ujar Alvarro santai sambil tetap menatap lurus ke depan.
Aresha langsung menoleh, menatap bosnya itu. Apa dia tidak salah dengar?
"Maksud Bapak?" tanya Aresha, tidak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Varro," ulang Alvarro tegas.
"Dan saya bukan bapak kamu. Lagi pula, aku hanya dua tahun di atasmu," lanjut Alvarro tanpa ekspresi.
"Bukan itu maksud saya, Pak!" jawab Aresha yang masih belum bisa memanggil bosnya itu hanya dengan namanya.
Alvarro menepikan mobilnya di samping taman, yang tinggal satu atau dua kilometer lagi dari kost Aresha.
Alvarro menatap Aresha dengan tajam. "Ingat, panggil Varro apabila di luar jam kerja. Dan sekarang sudah jam sepuluh malam," ujar Alvarro, menuntut.
"Benar-benar bos pemaksa!" gumam Aresha pelan, namun suaranya cukup jelas untuk didengar oleh Alvarro yang sedang fokus menunggu jawaban darinya.
Alvarro mengernyitkan alis, mendengar ucapan Aresha. "Bisa-bisanya dia memakiku di depanku saat ini!" batin Alvarro, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Gimana? Atau kamu masih ingin berlama-lama di taman ini?" seru Alvarro dengan nada yang terdengar mengintimidasi.
"Huft... Baik, Varro," ujar Aresha pasrah, akhirnya mengikuti kemauan bosnya.
"Good job!" seru Alvarro sambil mengusap lembut kepala Aresha.
~~ Sayang-sayangkuh, kalau mau novel ini rutin update, tolong bantu Love kalian ya~~ makasih banyak