BAB 9

1399 Kata
Dengan rokok menyala di tangan kiri dan ponsel di tangan kanan, pemuda itu duduk santai di sofa ruang tamu, tenggelam dalam dunianya sendiri. Jari-jarinya lincah menggulir layar, sesekali mengangkat rokok ke bibir tanpa benar-benar menyimak keadaan sekitarnya. Di seberangnya, sang mama masih terus bicara—awalnya dengan nada lembut, penuh harap, namun perlahan meninggi, suaranya mulai bergetar antara kesal dan kecewa. Ia menuntut perhatian, pengertian, dan sedikit respek dari anaknya yang kini tampak asing. Sang papa hanya terdiam di sisi lain, matanya menerawang, mendengarkan tanpa berkata apa pun. Rumah itu ramai suara, namun terasa sunyi. ”Kamu sudah dewasa, Bobby. Sudah seharusnya membantu papamu, bukan malah enak-enakan tidur dengan artis yang hanya menginginkan uangmu!” Saat anaknya tidak ada tanggapan, Debrina yang geregetan meraih serbet putih dan melemparkan ke wajah Bobby. Lap jatuh menimpa ponsel dan membuat Bobby mengernyit. “Mama kenapa, sih?” Debrina menuding panas. “Mama yang harusnya tanya kenapa! Kamu bandel sekali. Diajari tidak mau dengar juga, mau jadi apa kelak, hah!” "Mau jadi apa? Yang pasti jadi manusia. Kalau hidup enak dibuat santai-santai kenapa harus repot-repot kerja.” Dengan kurang ajar Bobby mengedipkan mata ke arah sang mama dan tertawa lirih. ”Nggak tahu malu!" ”Santai, Ma. Serius amat jadi orang, Papa aja santai. Iya, kan, Paaa?” Bobby bertanya dengan suara mengalun, yang seolah mengejek. Ia tahu kalau Ernest tidak akan menanggapi ucapannya dan itu makin membuatnya kesal dan ingin mengejek lagi. ”Aku dari lahir sudah hidup enak, untuk apa bersusah payah." ”Benar-benar anak kurang ajar kamu,” desis Debrina. Ernest yang sedari tadi terdiam, memakan steak di piringnya dengan pelan dan tenang. Ia tidak sedikit pun ikut campur dalam perdebatan antara Debrina dan Bobby. Pemandangan seperti ini sudah bukan hal baru baginya. Ia tahu betul pola mereka: Debrina akan tampak marah, mengomel panjang lebar seolah tak peduli, sementara Bobby melawan dengan sikap cuek yang membuat suasana semakin panas. Tapi di balik sikap keras itu, Ernest tahu, istrinya selalu punya sisi lembut yang tersembunyi. Diam-diam, Debrina pasti akan membantu anaknya, seperti yang sudah-sudah. Karena begitulah cinta Debrina—tak selalu manis, tapi selalu ada. “Kakek aja nggak marah aku begini dan begitu. Lagi pula, si artis itu juga punya pekerjaan, Ma. Nggak sepenuhnya dia mau minta uang dari aku,” kata Bobby sambil bersandar santai di kursinya, menatap ibunya dengan sorot malas. Debrina menyilangkan tangan di d**a, wajahnya merah padam. “Nggak minta uang kamu? Tapi tagihan kartu kredit kamu tinggi sekali, Bob. Siapa yang pakai? Jangan bohong!” Bobby mengangkat alis, tersenyum miring. “Papa kali. Coba tanya suamimu itu, Ma. Jangan-jangan dia punya pacar,” ucapnya santai, seakan menampar dengan kata-kata. Debrina spontan menoleh pada Ernest, matanya membelalak, menyiratkan tanya dan kecurigaan. Namun Ernest tetap tenang. Seolah tak mendengar satu pun dari percakapan tajam itu, ia mengiris daging steak di piringnya dengan elegan, mengunyah perlahan, lalu meneguk anggur merah tanpa sepatah kata. Keheningan di meja makan itu mendadak jadi mencekam. “Ernest?” Debrina akhirnya bersuara, nadanya penuh tekanan. ”Aku masih banyak pekerjaan, kalian lanjutkan saja perdebatannya.” Ia bangkit dari kursi dan melangkah menuju ruang kerja. ”Lihat, kan, Ma? Papaku itu menghindar, pasti ada apa-apanya.” "Hust! Jangan sembarangan kamu!” "Mama selalu bela dia.” ”Nggak, Mama akan bela kamu asalkan kamu benar. Cobalah, emangnya nggak bisa, ya, kamu kerja?" ”Kerja, Maaa. Kerjaaa, nanti aku ikut Kakek saja.” Ernest masih mendengar percakapan Debrina dan Bobby sebelum menutup pintu. Menuju meja, ia membuka laptop dan bersiap menyelesaikan pekerjaan. Malam ini, semua harus selesai sebelum besok menginap di rumah Gisella. Mendadak, ia merasakan kerinduan untuk membenamkan diri pada kehangatan gadis itu. Sudah lama ia tidak merasa begini, dan Gisella mampu membangkitkan gairahnya. Ia menoleh saat pintu membuka. Debrina muncul dengan kursi rodanya. Wanita itu tersenyum. “Sayang, Papa menginginkan kita datang ke rumah.” Ernest mengemyit. “Papamu?" ”Iya.” ”Dua hari lalu aku ketemu di kantor dan tidak ada bilang apa-apa.” ”Mungkin nggak sempat, tapi dia meneleponku barusan dan menyuruh kita datang Minggu nanti.” Ernest tanpa sadar menghela napas, seingatnya ia dan sang mertua bicara lama sekali dan tidak terucap undangan untuk datang ke rumah. Ia menatap wajah Debrina yang berseri-seri dan paham kalau itu keinginan istrinya. ”Nggak bisa minggu depan? Aku banyak pekerjaan.” Debrina mendekat, meraih tangan suaminya dan menggenggam erat. ”Nggak bisa, Sayang. Harus minggu ini." ”Tapi—” ”Kamu nggak mau Papa kecewa, bukan?” ”Amiraa!” ”Ini perintah, Sayang.” Ernest membenci perkataan istrinya yang penuh ancaman. Bisa saja ia menolak, hanya sedang tidak ingin bertengkar. Ia memperhatikan tubuh istrinya yang makin hari makin kurus, dam menyadari tidak ingin bersikap terlalu kejam. ”Baiklah, kita pergi.” Mendengar jawaban suaminya, Debrina melepaskan genggamannya dan membelai lembut lengan Ernest. “Nah, begitu. Baru suami yang baik. Sayang istri dan keluarga. Iya, kan?” Ernest tidak menjawab, mengalihkan pandangan dari Debrina ke layar laptop. Malam ini, ia membiarkan Debrina tersenyum bahagia. Banyak hal yang harus ia lakukan, dan tidak ingin membuang waktu dengan berdebat. Ia melirik dengan ujung matanya saat sosok Debrina berlalu dengan kursi rodanya. Hatinya dipenuhi rasa yang tidak menentu. *** Sudah hampir dua bulan Gisella tinggal di rumah Ernest. Selama itu pula, kehidupannya terasa monoton dan terbatas. Ia tak pernah pergi jauh, kecuali sesekali berjalan kaki keliling komplek yang sepi dan tertata rapi. Iangankan ke mall, bahkan untuk sekadar ke pasar pun tak pernah. Ernest menetapkan aturan sejak awal: Gisella tidak diizinkan berkeliaran sembarangan di luar rumah. Alasannya tidak pernah dikatakan langsung, namun Gisella bisa menebak. Bukan demi keselamatannya, tapi lebih pada kekhawatiran Ernest kalau dirinya akan kabur. Padahal, dalam hati Gisella tidak pernah punya niat untuk melarikan diri. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkannya, salah satunya keluarganya—meski mereka telah menyakitinya, ia masih merasa terikat. Ia bahkan sudah berpesan pada Dalfon, sopir pribadi Ernest, untuk tidak pernah memberikan nomor ponselnya pada sang ibu. Gisella belum siap berbicara, apalagi bertatap muka dengan wanita yang telah menjualnya demi uang. Luka itu masih terlalu segar, dan ia masih menyusun kekuatan untuk menghadapi kenyataan, perlahan, dengan hati-hati. "Ada panti jompo di ujung komplek, Bi. Pemah lihat nggak?” Gisella bercerita antusias pada Lilies. "Nona ke sana?” ”Iya, sudah dua kali. Ada seorang nenek yang senang kalau aku datang.” Gisella menceritakan bagaimana asal mula bisa ke tempat itu. Dimulai dengan salah jalan dan berakhir dengan bertemu teman-teman baru. “Ada satu suster namanya Nita, aku suka dia. Gadis ceria dan pintar menyanyi. Lalu kepala pengurusnya Andre. Terkenal ramah orangnya.” Lilies mengangguk. “Senang melihat Nona punya teman. Biar nggak bosan.” ”Iya, Bi.” Percakapan mereka terhenti ketika ponsel Gisella berdering. Sebuah pesan masuk dari Ernest—singkat namun jelas: ia akan pulang dan ingin makan malam disiapkan. Tanpa banyak bicara, Gisella segera membantu Lilies di dapur. Mereka memasak bersama dalam keheningan yang nyaman, aroma tumisan dan sup hangat memenuhi udara. Saat semua telah tertata rapi di meja makan, suara mobil terdengar di depan rumah. Ernest masuk beberapa menit kemudian. Gisella mengerjap, memandangi sosok lelaki itu. Rambutnya tampak kusut, janggutnya tumbuh lebih lebat dari kemarin, dan sorot matanya… lelah, nyaris kosong. Ada beban berat yang seakan dibawanya pulang malam itu. "Makan malam sudah siap, Tuan. Sini, saya bantu mencopot jas," ucap Gisella pelan, nyaris ragu. Ernest menghentikan langkahnya, matanya membulat sesaat, terkejut mendengar nada lembut Gisella. Namun ia tidak menolak, membiarkan gadis itu mendekat dan perlahan membantu melepaskan jas serta dasinya. Jemarinya cekatan, meski sedikit gemetar. Gisella lalu membawakan jas itu ke kamar sebelum kembali ke ruang makan. Saat Ernest sedang mencuci tangan, Gisella sudah siap dengan nasi di tangan. “Lauknya bisa Tuan ambil sendiri,” katanya, berusaha terdengar netral. Ernest duduk, menarik kursi, pandangannya menyapu seluruh hidangan yang tersaji di atas meja. “Kamu yang masak?” Gisella mengangguk. “Kok tahu?” “Bi Lilies nggak pernah masak selengkap ini,” jawab Ernest, mengangkat alis. Di atas meja, terhidang sup jagung krim hangat, ayam lada garam renyah, dan daging tumis paprika serta bawang bombay. Gisella menahan napas, diam-diam mengamati ekspresi Ernest yang mulai menyuap sup ke mulutnya. “Enak,” ucap Ernest singkat. Gisella mengembuskan napas lega. Ia tersenyum kecil, puas dalam diam. Entah kenapa, membuat pria itu senang seperti memberi rasa hangat di hatinya—bukan karena hubungan fisik di antara mereka, tapi karena… ia mulai peduli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN