BAB 8

1418 Kata
Di hari terakhir sebelum Ernest kembali ke kota untuk urusan bisnisnya, pagi terasa lebih tenang dari biasanya. Cahaya matahari yang menyusup lewat sela-sela jendela kamar tidak terlalu menyilaukan, tapi cukup membuat Gisella sadar bahwa inilah kesempatan terakhir sebelum laki-laki itu pergi. Ia menggigit bibir, menimbang-nimbang. Sudah lama ia ingin meminta sesuatu, tapi rasa takut selalu menahannya. Namun kali ini, ia mengumpulkan keberanian. Tangannya menggenggam ujung baju tidur, dan ia melangkah pelan ke arah pria yang tengah duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya. Suara detak jantungnya terdengar nyaring di telinga sendiri, namun ia menelan ludah dan mencoba bicara. “Tuan… bisakah saya… membeli ponsel?” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ernest mengangkat wajah, alisnya bertaut. “Kamu mau ponsel?” Gisella mengangguk cepat, hampir seperti gerakan refleks. “Iya, Tuan. Kalau boleh…” Laki-laki itu menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan. Lalu tanpa banyak kata, ia mengangguk. “Boleh saja. Tunggu di sini.” Gisella mengedip, sedikit kaget dengan respon cepat itu. Ia mengira harus merayu, atau bahkan ditolak. Tapi Ernest sudah menekan nomor di ponselnya dan memberi instruksi singkat pada seseorang di ujung sana. Tak sampai satu jam, mobil hitam datang menepi di halaman. Sopir pribadi Ernest muncul sambil membawa kotak berwarna putih yang masih tersegel, berikut satu kartu SIM yang masih baru. Ernest mengambilnya, membuka bungkus dengan tenang, lalu duduk di samping Gisella yang kini duduk rapi di ujung sofa. “Ini,” ujarnya sambil mengulurkan ponsel baru. “Kita atur dulu pengamanannya.” Jari-jari Ernest terampil mengatur sistem awal, mengaktifkan kartu SIM, dan menyimpan nomornya di daftar kontak. Bahkan ia menyematkan nama ‘Ernest’ dengan emoji mahkota di belakangnya. Gisella hanya bisa memandangi, campuran kagum dan canggung di wajahnya. “Aku sudah menyimpan nomormu, dan nomorku juga ada di sana,” ucapnya sambil menyerahkan ponsel itu. “Kalau aku menelepon, angkat. Kalau aku kirim pesan, jangan diamkan.” Gisella menggenggam ponsel itu dengan kedua tangan, seolah memegang benda yang terlalu berharga untuk disentuh. “Baik, Tuan. Terima kasih.” Ernest memandangnya sejenak, senyumnya samar namun tajam. “Kamu boleh pakai ponsel itu untuk apa pun. Chat, foto-foto, browsing… aku tidak peduli. Tapi ada satu syarat.” Gisella menelan ludah. “Apa itu?” “Kalau aku sedang di rumah, apalagi di dekatmu… ponsel itu harus mati. Fokusmu harus ke aku.” Mendengar itu, hati Gisella sedikit mengerut. Tapi ia tahu, tidak ada ruang untuk penolakan. Maka ia hanya mengangguk pelan. “Iya, Tuan.” Ernest tersenyum kecil, lalu berdiri dan mengecup puncak kepalanya sekilas, membuat Gisella kaku sejenak. “Bagus,” ucapnya. “Karena aku suka kalau kamu nurut.” Gisella menggenggam ponselnya lebih erat. Benda kecil itu mungkin hanya sekadar alat komunikasi bagi kebanyakan orang, tapi baginya… ia seperti celah kecil menuju dunia luar. Sebuah jendela, meski sempit, yang bisa menyelamatkan hatinya dari kesendirian yang pekat. Dan entah kenapa, sore itu langit tampak lebih biru dari biasanya. ”Ada lagi yang lain yang kamu mau?” ”Nggak ada lagi, ini cukup.” Ernest berdiri di depan cermin, membenarkan dasi dengan gerakan tenang. Setelah tiga hari penuh berada di rumah, waktunya kembali menghadapi tumpukan pekerjaan yang menunggu di kota. Ia menghela napas pelan, menatap sekilas ke arah ranjang di mana Gisella masih duduk membisu, mengenakan gaun tidur tipis berwarna salem. Wajahnya pucat, tapi tak lagi menunduk seperti hari-hari sebelumnya. "Kalau aku bisa, aku akan tetap di sini. Tapi kamu tahu sendiri, kerjaanku tidak bisa ditinggal," ucap Ernest pelan. Nada suaranya terdengar lebih lunak, seperti enggan meninggalkan sesuatu yang hangat. Ia meraih ponselnya lalu menoleh ke Gisella. "Aku akan kembali Jumat malam. Selama aku pergi, jangan jauh-jauh kalau keluar, paham?" Gisella mengangguk cepat. "Iya, Tuan." Tak ada senyum. Hanya kepatuhan hambar. Ernest mendekat, menyentuh pipinya sebentar, lalu berbalik dan melangkah pergi. Gisella mengantarnya sampai ambang pintu, menyaksikan mobil hitam itu menghilang di balik gerbang. Saat keheningan benar-benar menyelimuti rumah, Gisella menarik napas panjang. Bukan karena rindu, melainkan karena akhirnya bisa bernapas tanpa beban. Tiga hari yang melelahkan itu telah berlalu. Kini, ia punya ruang. Dan ponsel di tangannya—itu adalah harapan kecil yang terasa begitu nyata. Duduk di sofa ruang tamu, menunggu Lilies yang sedang ke pasar, ia mulai mengotak-atik ponselnya. Merek mahal dan keluaran terbaru, Gisella masih merasa mimpi bisa punya barang sebagus ini. Ia berusaha mengingat nomor ponsel Dalfon dan saat namanya muncul di papan pesan, Gisella merasa gembira sekali. Gisella : Dalfon, apa kabar, ini Gisella. Tidak ada balasan, Gisella teringat jam sekarang Dalfon sedang sekolah. Menunggu sampai Dalfon pulang, ia menyibukkan diri di dapur, membantu Lilies menyiangi sayur. Pukul sebelas, ada balas pesan dan membuat Gisella tercengang. Dalfon : Aku sudah lulus, Sekarang sudah kerja, Gisella. Gisella mengernyit heran. Gisella : Kerja? Bukannya kamu ingin kuliah? Jadi IT atau dokter? Dalfon : Nggak minat! Jawaban singkat sang adik membuat Gisella bingung. Ia tahu benar kalau Dalfon adalah siswa yang pintar. Dari dulu ia selalu mengatakan pada adiknya yang pendiam itu agar masuk universitas terkenal. "Kalau kamu masuk universitas negeri dam ingin jadi dokter atau lawyer, atau apa pun itu, aku akan kerja untuk membantu biayamu.” Saat itu Dalfon meskipun tidak mengatakan apa-apa tapi mengangguk dan Gisella berpikir kalau tujuan adiknya sudah jelas. Nyatanya kini semua yang terjadi berbeda dengan rencana awal, Gisella tidak tahu apa yang terjadi. Mempertimbangkan sesaat, ia mengetik balasan. Gisella : Apa karena uang? Keluarga kita nggak ada biaya? Dalfon : Bukan Jawaban yang singkat membuat Gisella makin curiga. Gisella : Kalau memang uang masalahnya, aku bisa membantumu. Perlu waktu beberapa jam sampai akhirnya Dalfon membalas pesannya dan kali ini Gisella cukup tahu diri untuk tidak bertanya banyak. Dalfon : Urusanku bukan urusanmu, sebaiknya kamu mikir bagaimana bisa cepat lepas dari cengkeraman laki-laki itu. Meskipun tahu nomor ponsel sang ibu, tapi Gisella enggan menghubungi. Ia tidak ingin masalahnya diperberat oleh orang tuanya. Tidak ada yang tahu apa lagi yang direncanakan oleh mereka soal dirinya. Sudah cukup ia mengorbankan diri karena keluarganya dan tidak ingin menambah lagi. Seperti biasanya, sore hari Gisella berjalan-jalan keliling komplek. Kali ini hanya sendiri karena Lilies sibuk di dapur. Memasang headset di telinga untuk mendengarkan musik, Gisella mengamati jalanan yang scpi. Berada di pinggiran kota, udara di dalam perumahan nmasih sangat segar. Tidak banyak orang yang berlalu lalang, ia menduga kebanyakan dari pemilik rumah tidak mendiami. Mereka membeli untuk investasi, itu yang ia dengar dari Lilies. Timbul hasratnya ingin punya rumah juga, meskipun tidak besar. Ia ingin menempati sendiri dan membangun hidupnya, kelak kalau sudah lepas dari Ernest. Gisella terdiam di pinggir jalan, baru sadar kalau rute yang ia lewati lebih jauh dari biasanya. Ia celingak-celinguk, untuk mengenali area yang baru dilewati. Membalikkan tubuh, ia berniat kembali ke jalan semula dan terdiam saat dari dalam rumah muncul seorang nenek tua renta dengan tongkat di tangan. Sang nenek berjalan sepertinya tidak melihat arah, hanya lurus ke tengah jalan. Tepat saat itu ada sebuah motor yang hendak melintas dan si nenek terlihat tak peduli. Tanpa pikir panjang, Gisella berlari, memegang tubuh si nenek untuk melindunginya. Saat motor berlalu, Gisella meneggakkan tubuh dengan napas lega. "Nenek Saniah!” Dari dalam rumah muncul seorang laki-laki muda yang berteriak kuatir. Laki-laki itu menghampiri Gisella dan memegang bahu si nenek. ”Nek, sudah dibilang nggak boleh keluar. Bahaya.” Si nenek hanya tersenyum tanpa menjawab. Laki-laki muda di depannya menatap Gisella yang terdiam dan mengangguk. “Terima kasih sudah menyelamatkan Nenek Saniah. Aku melihat dari dalam tadi dan nyaris terlambat kalau tidak ada kamu." Gisella tersenyum. “Sama-sama, kebetulan lewat." “Oh, syukurlah." Mereka melangkah ke pinggir jalan, berdiri di depan gerbang rumah bercat hitam. Gisella membaca plang nama, menyadari kalau rumah itu bukan rumah biasa melainkan panti jompo. ”Biasanya ada penjaga pintu, kebetulan sedang ada tamu dan lupa menutup gerbang. Nenek Saniah memang suka keluar kalau melihat pintu terbuka.” ”Kalau begitu, Iain kali harus diawasi.” Saat Gisella hendak pergi, tangan si nenek mencengkeramnya. Perempuan tua ilu menariknya ke arah gerbang, tidak peduli pada penolakan Gisella. ”Nek, Nona ini mau pulang.” Si nenek terus menggeleng dan akhimya Gisella pasrah, membiarkan dirinya ditarik masuk. Laki-Iaki muda di sampingnya menggumamkan kata maaf berkali-kali karena sudah mendatangkan kesulitan. Saat kakinya menginjak halaman, Gisella dibuat terpana oleh pemandangan di dalamnya. Ada banyak orang tua yang sedang duduk di kursi roda, berjalan-jalan di taman, dan beberapa di antaranya bercengkerama. Sesuatu mengetuk hatinya. ”Kenalkan, namaku Andre. Pengurus panti ini, kamu siapa?” ”Gisella.” “Nama yang cantik.” "Thanks." Gisella pulang setelah sebelumnya berjanji pada Nenek Saniah akan sering menjenguk. Sebuah janji sederhana yang kelak mengubah hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN