Bab 7

1523 Kata
Setelah pulih dari sakit, Lilies mengajak Gisella ke bank dan membantunya membuka rekening atas nama sendiri. Tak lama berselang, Gisella mengirimkan nomor rekening itu pada Ernest yang sedang berada di luar kota. Hanya dalam hitungan menit, notifikasi transfer masuk—Rp20 juta. Gisella terpana. Belum pernah seumur hidup ia memiliki uang sebanyak itu. Namun, karena belum ada keperluan mendesak, ia memilih menyimpannya saja dalam tabungan, menyentuhnya pun enggan. Untuk mempercepat pemulihan, setiap sore Lilies mengajaknya berjalan kaki ringan mengelilingi kompleks perumahan. Udara segar dan langkah-langkah kecil itu perlahan mengembalikan energi Gisella yang sempat terkuras karena sakit. Sudah seminggu berlalu sejak Ernest terakhir datang ke rumah. Alih-alih merindukannya, Gisella justru merasa lebih tenang. Jeda ini seolah menjadi ruang napas yang ia butuhkan—terlindung dari bayang-bayang pria itu, meski sesekali namanya tetap bergaung di benaknya. “Nona, ini ada kiriman dari Tuan.” ”Apa ini, Bi?” Gisella menerima kiriman paket dari Ernest. Tak ada nama pengirim, tapi ia tahu pasti siapa yang mengirimkannya. Dengan rasa penasaran, ia membuka kotak itu di kamarnya. Begitu melihat isinya, wajahnya langsung memerah. Di dalamnya terdapat satu setel baju tidur transparan berwarna merah menyala, sangat mini dan nyaris tak menutupi apa pun. Gisella menelan ludah, malu sendiri membayangkan tubuhnya saat mengenakan itu. Ia buru-buru melipatnya kembali dan menyelipkannya ke sudut lemari, takut kalau-kalau Lilies melihat. Padahal, di rumah hanya ada mereka berdua. Dan Lilies pun tampaknya tahu, namun tak menanggapi, seolah sudah paham dengan segala “kiriman” dari Ernest. Wanita itu hanya bersikap seperti biasa, tetap tenang dan tidak banyak bertanya. Meski awalnya berat, Gisella mulai terbiasa tinggal di rumah ini. Tak ada yang menyuruh, memerintah, apalagi membentak. Berbeda jauh dari rumah orang tuanya, di mana ia harus selalu siap melayani, menuruti keinginan, dan menerima omelan jika sedikit saja salah. Di sini, satu-satunya hal yang masih membuatnya gelisah adalah Ernest—kehadirannya yang tak terduga, caranya memperlakukan Gisella seolah ia miliknya. Namun di luar itu, ia merasa hidupnya lebih ringan. Rumah ini sunyi, terletak di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Dari pagi hingga malam, hanya Lilies yang menjadi teman bicaranya. Meskipun sepi, Gisella tak merasa sendiri—hanya saja, terkadang, ia bertanya-tanya sampai kapan semua ini akan bertahan. "Nona, kalau nanti Tuan datang, bisa minta ponsel.” Gisella yang sedang membantu Lilies merapikan bekas makanan di atas meja, mengerjap bingung. ”Ponsel? Buat apa?” "Buat dipakai. Nona nggak punya ponsel, bukan?” Gisella mengangguk. Ia memang terpikir untuk punya ponsel, tapi tidak berani meminta ijin pada Ernest. Dengan dorongan dari Lilies, ia berharap cukup punya nyali untuk meminta. Sebenamya, ia memang ingin punya ponsel, hanya ingin tahu kabar keluarganya, terutama Dalfon. Pemuda itu sedang ujian kelulusan SMU dan ia ingin tahu bagaimana hasilnya. Apakah lulus atau tidak. Adik tirinya itu termasuk pemuda yang cerdas dan nilai-nilainya selalu bagus. Suara kendaraan berhenti di halaman membuat keduanya saling pandang. Lilies bum-buru menghentikan kegiatannya dan setengah berlari ke pintu, sementara Gisella masih be-rdiri di tempatnya. ”Kalian sedang apa?” Suara bariton laki-laki terdengar dari ruang tengah. ”Selesai makan, Tuan. Nona ada di ruang makan.” Gisella mencuci tangan, berdiri dengan tangan dipilin menyambut kedatangan Ernest. Mereka tidak bertemu hanya beberapa hari, tapi penampilan laki-laki itu cukup membuatnya tcrcengang. Dagu dan rahang laki-laki itu yang biasanya bersih, kini ditumbuhi bulu-bulu halus dan cukup lebat. Sepertinya sudah beberapa hari ini tidak bercukur. "Mau makan sesuatu, Tuan?” tanya Lilies. Ernest menggeleng, menatap Gisella yang berdiri diam kikuk dalam balutan gaun rumah sederhana wama abu-abu yang menempel pas di tubuh. Gaun itu terlihat bagus di tubuh Gisella, meskipun bahan dan modelnya biasa saja. "Ayo, ke kamar!” Gisella mengangguk, mengikuti Ernest ke kamar mereka yang ada di bangunan samping, meninggalkan Lilies yang sibuk dengan pekerjaannya. Sesampainya di kamar, Ernest membuka jas dan kemejanya. Menatap Gisella yang terdiam. ”Kamu sudah sembuh?” ”Sudah, Tuan.” ”Bagus. Aku akan akan mandi dulu. Sebaiknya kamu pakai hadiahku.” Gisella mengangguk, menunggu hingga Ernest masuk ke kamar mandi, ia membuka lemari dan mengeluarkan kotak berisi pakaian dalam. Maraih pakaian itu dan membukanya, ia menghela napas panjang. Sudah menjadi kewajibannya untuk memenuhi tuntutan Ernest dan meskipun tidak menyenangkan tetap harus dilakukan. Dengan tangan gemetar, Gisella mencopot perlahan pakaian rumah yang dikenakannya. Ia menatap pakaian baru yang diberikan Ernest dengan ragu, lalu memakainya dengan gerakan kikuk. Kain tipis itu terasa asing di kulitnya, dingin dan ringan. Saat akhirnya ia berdiri di depan cermin, napasnya tercekat. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Baju tidur itu begitu minim—terlalu terbuka untuk membuatnya nyaman. Kain tipis merah hanya menutupi sebagian kecil tubuhnya. Kulit di bagian d**a, lengan, perut, hingga paha tampak jelas. Celana yang dikenakannya begitu kecil, hanya sekadar menutupi bagian paling intim, sementara sisi pinggulnya dibiarkan terbuka sepenuhnya. Gisella menelan ludah, buru-buru menutupi dadanya dengan tangan saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Ernest berdiri di ambang pintu, hanya berbalut handuk putih yang melilit pinggangnya. Tatapannya jatuh pada tubuh Gisella, lalu mengangkat alis sedikit—tak terkejut, seolah memang sudah membayangkannya sejak awal. Tanpa sepatah kata, ia melangkah mendekat, seperti singa yang mendekati mangsanya. Gisella bergeming di tempat, terbelalak saat tangan besar itu terulur, membelai rambutnya, lalu menyusuri bahu dan lengan telanjangnya. Tubuhnya berjengit, refleks menjauh, namun Ernest hanya menatapnya—tenang, mengintimidasi, dan penuh hasrat yang tak ditutupinya. ”Terlalu kurus, makan yang banyak. Aku lebih suka kalau kamu lebih berisi dari ini.” Belum sempat Gisella merespons, Ernest telah lebih dulu menyambar jarak di antara mereka—menautkan bibirnya pada milik gadis itu dengan hasrat yang tak tertahankan. Tubuhnya mendekat, membingkai Gisella di antara dirinya dan lemari, seolah tak ingin ada celah pun tersisa. Selama berhari-hari ia mengekang gejolak yang diam-diam menyala, dan kini bara itu seolah membakar segala kendali. Ernest sempat mendengar desah pelan dari bibir Gisella, namun pikirannya telah tenggelam dalam arus perasaan yang menuntut pelampiasan. Dengan napas yang terengah, ia mengangkat wajahnya, menarik Gisella ke sofa, dan mendudukannya di pangkuannya. Jemarinya menemukan tengkuk gadis itu, membawanya kembali dalam kecupan yang dalam dan penuh gairah, sementara tangan satunya menjelajahi tubuhnya dengan rindu yang tak mampu lagi dipendam. ”Pakaian ini cocok untukmu,” bisiknya dengan suara serak, menjelajahi leher Gisella. “Aku menyukainya.” Dengan satu gerakan tegas, batas terakhir yang menutupi tubuh Gisella pun runtuh. Ernest menunduk, mengecap kulit gadis itu dengan kerinduan yang lama terpendam, meninggalkan jejak-jejak hangat seperti bisikan malam pada kelopak bunga yang merekah. Gisella mengatupkan napas, kikuk dan malu, namun tidak mampu menolak dekapan panas yang menahannya di pangkuan pria itu. "Kamu wangi..." bisiknya, nyaris seperti doa yang tertahan di tenggorokan. Ernest mengangkat tubuhnya dengan lembut, menyingkirkan sisa-sisa pelindung yang melekat di tubuhnya. Sentuhannya mendarat di tempat-tempat yang paling tersembunyi, bukan dengan kasar, melainkan dengan kelembutan yang justru membuatnya terasa lebih dalam—lebih menguasai. Gisella mendesah, jari-jarinya mencengkeram punggung Ernest seakan mencari pegangan dalam arus yang tidak ia pahami. Tak pernah ia merasa begitu terbuka, begitu terpapar di hadapan seorang pria, seolah tubuhnya bukan lagi miliknya sepenuhnya. Dan ketika jemari itu berganti dengan sentuhan yang lebih hangat dan tak terduga, tubuhnya bergetar. Ia ingin menjauh, tapi tangan Ernest menahan pinggulnya dengan penuh penguasaan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menolak bentuk keintiman ini—bukan karena benci, tapi karena rasa takut kehilangan kendali. Namun tubuhnya bicara lain, merespons dengan gemetar yang tak mampu ia hentikan, terseret dalam gelombang perasaan yang tak ia mengerti sepenuhnya. “T-Tuan, tolong… jangan seperti ini. Saya…” Suara Gisella nyaris tak terdengar, tenggelam oleh cumbuan Ernest yang begitu mendalam. Tubuhnya seolah terhisap dalam pusaran panas yang bermula dari dasar dirinya, menjalar naik ke d**a, ke tengkuk, hingga membakar seluruh pikirannya. Saat akhirnya Ernest melepaskan dirinya dari cumbuan itu, Gisella berusaha mengatur napas yang terasa tersengal—bagai berenang ke permukaan setelah tenggelam terlalu lama. Ernest tak berkata apa-apa. Dengan tatapan redup namun sarat bara, ia melepaskan handuk, duduk di sofa, lalu menarik Gisella ke pelukannya. Dalam satu gerakan, mereka menyatu dalam keheningan kamar yang hanya diisi oleh suara napas mereka yang saling memburu. Ia menyentuh Gisella, seolah ingin menguji ketangguhan gadis itu—seberapa lama ia sanggup menahan gelombang rasa yang tiada henti menggulung. Sepuluh hari mengekang rindu dalam diam membuatnya nyaris hilang kendali. Ernest ingin menyelami tubuh Gisella, menjadikannya pelabuhan bagi gejolak yang tak kunjung reda. Tak ada lagi ruang bagi logika—hanya hasrat yang menuntut pemenuhan. Gisella yang semula memberontak, kini hanya bisa pasrah dalam pelukan yang terasa terlalu erat untuk dilepaskan. Hari-hari berikutnya berlalu dalam kabut yang tak jelas antara kelembutan dan pemaksaan, antara gairah dan kelelahan. Ernest menetap di rumah lebih lama kali ini. Selama tiga hari penuh, ia menginginkan kehadiran Gisella nyaris tanpa jeda. Bahkan Lilies diminta untuk cuti, memberi mereka ruang yang hanya diisi oleh kebersamaan yang membingungkan. Di dapur saat matahari belum naik, di ruang tamu saat senja menyapa, kadang-kadang di balik uap kamar mandi yang mengaburkan segalanya. Tak terhitung ruang yang menjadi saksi bisu dari hasrat yang seolah tak mengenal batas. Bagi Ernest, mungkin ini semacam pengejaran fantasi yang selama ini tersembunyi. Bagi Gisella, semuanya terasa asing—terlalu banyak, terlalu cepat. Tubuhnya mulai lelah, pikirannya pun tak lagi mampu mengikuti irama yang dipaksakan kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN