Suara langkah kaki ku mengetuk lantai semen di dalam pabrik terdengar menggema. Gedung warehouse yang penuh dengan tong-tong kayu berisi whisky itu sudah sepi. Kulirik jam besar di dinding tembok. Sudah jam 3 sore. Kebanyakan buruh sudah pulang karena sabtu kami hanya bekerja setengah hari sementara minggu libur.
Suara ketukan kayu dan palu menarik perhatianku. Berasal dari satu-satunya buruh yang masih berkutat di dalam pabrik, membuat tong kayu yang akan di pakai untuk menyimpan whisky yang baru di proses.
Segera kukenali wajah nya yang masih lebam sebagai pekerja yang dihajar oleh Ricky kemarin.
“Kau masih di sini, Allan?” tanyaku heran.
Pria itu tersentak kaget mendengar suaraku.
“Ah..Nona Salazar! Ma..maaf.. Aku hanya perlu menyelesaikan tong ini lalu aku segera pulang.” Jawabnya sambil menundukkan wajahnya dalam dalam.
“Kau bisa selesaikan senin. Kita tidak terlalu butuh tong baru kan. Tidakkah kau lebih baik berada di rumah menjaga ibumu?”
“Ah..tidak apa apa, adikku bisa melakukannya. Aku lebih baik bekerja lembur disini untuk membayar botol botol yang kucuri.”
“5 botol kan?”
Allan mengangguk.
“Sejuta sebotol, kau berhutang 5 juta, Allan. Dengan upahmu akan butuh waktu selamanya untuk membayar balik barang yang kau curi.”
Allan hanya terdiam tidak menjawab. Entah mengapa, wajahnya yang lelah dan putus asa membuatku merasa kasihan. Perasaan yang jarang muncul karena selalu ku injak dalam-dalam begitu berani menampakan batang hidungnya.
Tapi kini di suasana di pabrik sepi, tidak ada siapa siapa, aku akhirnya membiarkan perasaan itu bermain keluar.
“Sudahlah. Pulanglah. Akan ku gantikan hutangmu dari uangku sendiri. Tidak akan ada yang tahu.” Ucapku.
Allan mendongak menatapku seakan tidak percaya.
“Jangan kau ceritakan pada siapapun. Aku tidak ingin apa yang kau lakukan menjadi kebiasaan untuk buruh yang lain. Aku akan mencongkel matamu dengan tanganku sendiri jika sampai ada yang mengetahui perjanjian kita.” Lanjutku kembali melemparkan rasa belas kasihanku masuk ke dalam lubuk hatiku yang paling dalam.
Pria itu langsung berlutut di hadapanku dan berkali kali mengucapkan terima kasih. Sebelum kuusir untuk segera pergi sebelum aku mengubah pikiranku.
Kubiarkan sedikit senyuman kecil lepas dari bibirku ketika melihat Allan berlari pontang panting keluar pabrik.
“Lucia Salazar...Berbuat baik... Dan menikmatinya.”
Sebuah suara dibelakangku membuatku menoleh.
Aku hanya mendengus dan berjalan melewati badan jangkung adikku.
“Yeah...well... aku bukan robot.” Sahutku sekenanya.
“Ada-Mae menelponku. Sepertinya makan siang berjalan lancar,” ucapnya mengikutiku dari belakang.
Aku berjalan naik ke lantai 2 menuju kantorku yang terletak di atas kantor Tomas sambil menelan ludah, mengingat kembali pembicaraan kami selama makan siang.
“Wanita itu terlalu banyak berceloteh. Kepalaku agak pusing sesudahnya.”
Tomas tertawa mendengarnya. “Justru itulah yang kusuka darinya. Apapun yang ada dibenaknya akan diucapkannya. Tidak ada yang ditutup tutupinya. Tidak susah untuk menebak apa yang diinginkannya atau perasaannya. Dia..simpel, Red.”
Aku berhenti di tengah anak tangga sebelum berbalik menatap adikku. “Itukah yang kau inginkan? Wanita yang simpel?”
Tomas mengangkat bahunya, “Bersama dengannya membuatku… entahlah, tenang dan damai?”
Matanya kemudian terarah pada sisi wajahku yang masih memerah.
“Bagaimana wajahmu?” tanyanya mengeluskan tangannya perlahan ke pipiku.
Aku tersentak. Bukan karena sakit, tapi lebih karena tidak ingin disentuh olehnya.
“Sorry,” bisiknya mengira telah menyakitiku.
“Sudah tidak begitu sakit,” jawabku pelan.
Setiap pandangan, setiap sentuhan dari pria ini kini terasa bagaikan ratusan tamparan di dadaku. Menyakitkan.
Aku membalikkan badanku kembali berjalan naik sebelum membanting pintu kantorku menutup, menghalangi Tomas mengikutiku.
“Aku banyak kerjaan. Pergi! Jangan ganggu!” jeritku dari balik pintu yang tertutup.
Kudengar suara langkah Tomas yang menuruni tangga sementara aku menghempaskan badanku di atas kursi. Kupikirkan lagi ucapan Tomas tentang menginginkan sesuatu yang simpel, tenang, dan damai.
Sepanjang hidupku, tidak pernah ada yang namanya simpel. Apalagi ketenangan dan kedamaian. Seperti apa kah rasanya? Mungkin ketika aku masih kecil hal masih simpel, tenang dan damai
Dimana Ayah dan Ibu masih saling mencintai dan menghormati. Dimana aku masih memiliki seorang adik yang mengagumiku dan mengikuti kemanapun aku pergi. Sesuatu yang seolah terjadi di kehidupan yang lain.
Argg!
Persetan dengan Tomas! Persetan dengan simpel, tenang dan damai! Aku butuh bersama dengan seseorang yang sama rumitnya denganku.
Kuraih handphone ku dari dalam tasku sebelum mencari nomor telepon pria itu.
“Hei, George.” Sapaku ketika kudengar suara pria itu di ujung sambungan.
“Bagaimana kalau kita lanjutkan kencan kita yang tertunda semalam?...Uhmm aku bisa ke rumahmu sekitar jam 11an?...Ok, Baiklah. Sampai jumpa nanti malam.Bye.”
Kututup handphoneku dan melemparkannya balik ke dalam tasku.
Jam 7 malam, para Kapten mulai berdatangan ke kantor Tomas. Bawahan Tomas dan Ricky, para Kapten yang berjumlah 5 orang itu mengepalai sekitar 10 prajurit. Berdasarkan buku payroll yang kupunya, setidaknya kami memiliki 60 anggota aktif saat ini di dalam organisasi.
Aku memasuki ruangan dan melihat kelima orang Kapten sudah ada di dalamnya. Duduk tersebar di dalam ruangan, masing-masing memegang piring dan gelas whisky di tangannya. Para pria dengan julukan Potter, Pyton, Fish, Tiger, dan Kid.
Tomas duduk di meja kerjanya dengan Ricky berdiri di sebelahnya.
Aku berjalan ke meja panjang yang ada di depan sofa dan langsung meraih sepiring meatloaf dan kentang yang sudah disiapkan untuk makan malam. Lalu berjalan ke salah satu kursi kayu yang kosong dan mendudukkan tubuhku. Sebelahku duduk seorang pria dengan julukan ‘Potter’ karena bekas luka mirip petir di sisi wajahnya.
“Hei Red!” sapa Potter tersenyum yang ku jawab dengan dengusan.
Pria berumur 30 tahun itu memiliki badan yang lebih besar dan jangkung dari Tomas. Lebih mirip raksasa dari pada pria normal. Hulk merupakan julukan yang lebih cocok untuknya daripada Potter.
Menurut pengakuannya, pria itu jatuh cinta padaku sejak pertama kalinya melihatku menghajar seorang pria yang mencoba merayuku. Entah sudah berapa kali Potter mencoba menyatakan cintanya padaku yang selalu berakhir buruk baginya.
Pria itu berdiri dan mengambil dua gelas whisky sebelum menyerahkan satu padaku.
“Thanks, Potter. Bagaimana kabarmu?” jawabku.
“Eh..Biasa saja Red. Akan lebih bagus denganmu di sisi ku.” Sahutnya tertawa terkekeh.
Kugelengkan kepalaku berusaha mengabaikan rayuan gombalnya malam itu.
“Baiklah.” Ucap Tomas ketika semua orang sudah selesai makan dan hanya terdiam memandanginya.
“ Aku memanggil kalian kemari karena ingin kalian untuk mulai menyiapkan para prajurit. Aku khawatir peperangan dengan keluarga Vito tidak bisa dihindari lagi. Terlebih setelah apa yang Red lakukan pagi ini.”
Sekarang semua wajah menoleh padaku.
“Apa yang kau lakukan Red?” tanya Potter tertawa.
Pria itu selalu tampak terhibur dengan kelakuanku yang tidak bisa ditebak.
Aku berdehem sebelum menjawab. “Aku hanya menghajar seorang pria pemukul wanita yang kebetulan tinggal di selatan dan mungkin memiliki hubungan dengan keluarga Vito, mengingat tumpukan cocaine yang kutemukan di meja nya.”
“Diakah yang meninggalkan bekas memar di wajahmu? Uffh… Pria yang malang!” ucap Potter langsung tertawa terbahak bahak mendengar penjelasanku.
Beberapa orang malah bertepuk tampak senang dengan berita ini karena aku tahu kebanyakan dari mereka mulai bosan dengan segala rutinitas yang kami kerjakan. Orang orang seperti kami menyukai kekacauan, dan keributan. Kehidupan yang simpel, tenang dan damai bukanlah hal yang kami inginkan.
Hanya Tomas, Ricky dan seorang Kapten yang dipanggil Pyton yang terdiam.
“Vito memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak, Boss.” ucap Pyton.
Tomas mengangguk, “Aku tahu. Tapi kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Kita memiliki prajurit yang lebih berpengalaman.”
“Tepat sekali, anak anak. Apakah sekarang kau mengharapkan kami membunuh anak anak?” tanyanya.
“Tentu saja tidak. Usahakan tidak ada pertumpahan darah. Kita perbanyak penjagaan di perbatasan dan menunggu mereka mengambil langkah dulu.” Jawab Tomas.
“Kita sebaiknya menyerang duluan, Boss! Hajar mereka sebelum mereka sadar.” Usul Kid, seorang Kapten yang bertubuh paling kecil dan juga paling muda dari yang lain. Mahir dalam mencuri kendaraan bermotor, Kid sudah mengagumi Tomas sejak mereka bertemu di Ring beberapa tahun yang lalu.
“Red sudah melakukan serangan pertama, Kid.” Sela Ricky. “Kita tidak ingin semakin membuat mereka marah jika tidak perlu. Lagipula, tadi sore Vito bersaudara sudah menelepon dan mengatakan mereka ingin bertemu Boss besok. Siapa tahu jalan tengah bisa dicari mencegah pertumpahan darah.”
“Akan ada pertemuan dengan Vito?” tanyaku ke arah adikku. “Kenapa kau tidak menceritakannya padaku? Dimana? Kapan?”
“Kamu tidak ikut, Red!” sela Tomas seakan tahu apa yang kuinginkan.
“Apa? Kenapa?!?” seruku memprotes.
“Kita bicarakan nanti!” jawab Tomas singkat.
Nada suaranya terdengar marah membuatku menahan diri untuk tidak mencercanya lagi dan menunggu sampai pertemuan berakhir.
Tomas menghabiskan beberapa jam berikutnya menjelaskan wilayah wilayah yang harus perlu di jaga oleh para Kapten dan prajuritnya. Kulihat Tomas memanggil Potter keujung ruangan dan membisikkan sesuatu pada pria itu sebelum mengakhiri pertemuan.
“Apa maksudmu aku tidak boleh ikut?” tanyaku ketika hanya tersisa aku, Tomas dan Ricky di dalam kantornya.
“Kau tahu kenapa!! Kemungkinan besar kami akan membicarakan hal yang sudah kau lakukan tadi pagi. Suami Maria kemungkinan besar adalah pengedar atau prajurit Vito. Kau sudah menghajarnya habis habisan. Kau tahu bagaimana mereka beroperasi. Mata dibayar mata. Mereka pasti menginginkanku untuk menyerahkan orang yang melakukan pemukulan itu. Yang jika kau lupa… adalah, kau, Red!” seru Tomas.
Semua yang diucapkannya masuk akal tentu saja. Tapi aku tidak ingin membiarkan adik ku pergi sendiri ke pertemuan dengan organisasi yang terkenal bukan hanya membunuh tapi menggantung mayat musuhnya di tempat umum hanya karena ingin memberi peringatan bagi yang lain.
“Makanya kau tidak seharusnya menemui mereka. Benar kata Kid, kita seharusnya menyerang lebih dulu.” Jawabku berapi api, setengah frustasi karena adikku kukuh dengan pendiriannya menjaga kedamaian dengan Vito.
“Please Red, jika ada kesempatan untuk menghindari peperangan di kota ini, aku akan mengambilnya. Aku tidak ingin adanya pertumpahan darah yang tidak perlu.” Suara Tomas terdengar lelah.
“A..aku..hanya khawatir..” ucapku pelan.
“Jika kau khawatir akan keselamatan Tomas, dia tidak akan sendirian, Red. Aku dan Potter akan menemaninya.” Sela Ricky.
Aku menghela nafas. “Baiklah. Kita ikuti rencanamu. Kabari aku jika ada apa apa.”pintaku pada Tomas.
Kulirik jam di tanganku, 11 lewat. “Aku mungkin tidak pulang malam ini. Sampai jumpa besok?”
“Mau kemana kau?” tanya Tomas.
“Jangan khawatir. Aku tidak berencana menghajar siapapun malam malam begini.” Jawabku berjalan keluar pabrik menuju mobilku.
Ketika sudah sendirian dengan Bastian dan supirku di dalam mobil, kupencet no telp Potter.