“Masuklah,” ucap George mempersilahkan aku masuk.
“Maaf aku telat,” jawabku.
“Tidak apa apa. Aku juga sedang tidak melakukan apa apa.”
Kami berjalan ke ruang tengahnya. Kulirik sekilas lukisan lukisan yang tergantung di dinding berharap benda itu sudah tidak ada. Harapanku sia sia karena lukisan itu masih berada di tempatnya seperti yang kuingat kemarin.
“Minum?” tanya George.
Aku mengangguk. “Sedikit saja.”
George menyerahkan segelas wine padaku yang langsung kuteguk untuk meredakan perasaan tidak nyamanku akan lukisan lukisan itu.
“Apa yang terjadi pada wajahmu?” tanyanya mengelus pipiku yang masih memerah karena bekas tamparan suami Maria.
“Tidak penting. Hanya kecelakaan kecil,” sahutku singkat.
“Lukisan ini,” tunjukku berusaha mengalihkan pembicaraan. “Kau membelinya?”
George mengangguk, “Kebetulan aku kenal dengan modelnya.”
Aku hampir tersedak mendengarnya, “Modelnya?! Gadis ini mungkin berumur belasan tahun, George.”
“Aku tahu.”
Wajahnya manatapku lekat lekat.
Kepala polisi ini sepertinya tidak sebersih yang semua orang kira, pikirku.
“Kau menyukai…gadis semuda ini?” tanyaku pelan.
Suasana hening sesaat sebelum George tertawa terbahak bahak.
“Dia adalah anak kenalanku. Hanya wajah nya yang mereka gunakan. Tubuhnya 100% imajinasi dari sang pelukis.”
Kucium ketidak jujuran diucapannya.
“Oh.. jadi semacam fantasi?” tanyaku.
George meraih botol wine dari atas meja dan menambahkan isi gelasku hingga penuh.
“Bisa dibilang begitu. Lagipula kau harus melihat nya dari sisi seninya. Perpaduan warnanya dan emosi yang tergambar.”
Kupandang lagi lukisan itu berusaha mengamati nya sebagai sebuah karya seni. Tapi hanya wajah sendu gadis itu yang terbayang di benakku. Seolah menjerit dalam kebisuan, meminta tolong. Membuatku kembali menelan wine di dalam gelas hingga habis. Mengusir keinginanku untuk kabur dari rumah George.
Malam ini aku tidak ingin berada di rumah.
Malam ini, aku ingin melakukan sesuatu yang membuatku merasa hidup.
Malam ini aku menginginkan pria dengan tatapan mata berbahaya.
George berjalan menghampiriku dari belakang. Tangan kanannya menyibak rambutku yang menjuntai ke punggung dan mulai menciumi leherku. Aku menutup mataku berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang berputar mengganggu benakku. Wajah gadis dalam lukisan itu, wajah Ada-Mae, Wajah Tomas…
Tangan kiri George mulai meremas dadaku pelan dari belakang, dan membuatku mendesah. Sementara tangan kanannya mulai turun menjelajahi perutku dari luar gaunku, ke pangkal pahaku, terus turun hingga ke ujung rok selutut yang kupakai. Jemarinya menyingkap bawahanku ke atas untuk menarik turun celana dalam yang kukenakan.
Pria itu kemudian kembali memasukkan tangannya ke dalam rokku, meraba pahaku. Sebelum menyelipkan tangannya memasuki tubuhku yang kini sudah tidak memakai celana dalam.
“Uhmhh...” Aku mendesah menikmati belaian jemarinya di dalam tubuhku yang mulai basah, bergerak pelan di situ, membuatku makin membuka pahaku.
Kepalanya masih berada di sisiku menciumi leherku. Kuraih rambut hitamnya dengan tangan kiriku dan menariknya pelan membuatnya makin mempercepat gerakan jemarinya. Dadaku bergerak naik turun terengah mengikuti irama jari nya makin lama makin cepat hingga tiba tiba George menarik tangannya keluar.
Aku membuka mataku dan membalikkan badanku hendak protes, tapi pria itu dengan keras mendorong tubuhku terduduk ke atas sofanya, menunduk dan menarik turun resleting gaun di punggungku. Masih setengah kaget atas dorongannya, George menurunkan gaun yang kupakai hingga kepinggang dan menarik Bh ku lepas.
“Jangan bergerak!” perintahnya. “Naik kan tanganmu ke atas kepalamu, Nona Salazar!”
Belum pernah ada pria yang berani memerintahku sebelumnya. Aku tertegun sejenak.
“Haruskah aku mengulang ucapanku?” tanyanya. Suara nya pelan tapi terdengar mengancam. Membuat jantungku kembali berdesir.
Aku menggeleng kemudian menuruti perintahnya. Kuangkat kedua tanganku jauh keatas kepalaku. Telapak tangan kanannya yang besar meraih kedua pergelangan tanganku dan menahannya sebelum bibirnya kemudian menyapu bibirku dengan penuh hasrat, membuat bekas luka tamparan suami Maria kemarin menjadi terbuka dan kembali berdarah.
George mengangkat wajahnya mungkin merasakan asinnya darah di bibirku. Pria itu menjulurkan tangannya dan menyapu ujung bibirku dengan jemarinya. Dipandanginya sejenak cairan berwarna merah di jarinya sebelum kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya dan menjilatnya seakan menikmati lumeran coklat yang tersisa dijemarinya.
Kupejamkan kembali mataku ketika bibirnya kembali menciumi dadaku, menghisap dan menggigit payudaraku. Membuatku melenguh kesakitan tapi juga menginginkan lebih.
“Buka pahamu, Nona. Angkat kakimu keatas. Perlihatkan padaku, dirimu seutuhnya!”
Sekali lagi aku menuruti perintahnya. Ku naikkan telapak kakiku ke dudukan sofa sebelum membuka pahaku lebar lebar. Seolah mempersembahkan diriku padanya. Memperlihatkan milikku untuk dinikmatinya.
Pria ini nampaknya tahu apa yang diinginkannya. Setiap gerakannya pasti. Tidak ada keraguan dimatanya ketika dirinya mulai menurunkan celananya dan memasuki ku. Mendesak ku dalam dalam. Memenuhi rongga kosong di dalam hatiku yang berbentuk bayangan Tomas.
Malam itu, aku melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Membiarkan diriku tunduk di hadapan seorang pria. Dan aku menyukainya.
***
Keesokan paginya aku terbangun oleh aroma kopi dan telor goreng. Kubuka mataku sedikit yang langsung disapa oleh sinar matahari pagi yang masuk lewat jendela rumah George.
“Selamat pagi,” sapa pria itu dari dapur.
Sudah terlihat segar dan bersih, ku lirik tubuhku yang masih telanjang. Tertidur di sofa, gaun yang kupakai masih tergeletak di lantai berserta pakaian dalamku.
“Ugh..” erangku berusaha duduk.
Leherku terasa kaku mungkin karena tertidur dalam posisi yang tidak enak semalaman.
“Jam berapa ini?”tanyaku sambil meraih dan memakai pakaianku.
“Uhm.. Jam 9.” Sahut George mengangkat tangannya yang memakai jam.
“Hari apa ini?” tanyaku lagi, kepalaku terasa berdenyut akibat banyaknya wine yang kuminum semalam.
“Minggu.Dan…sarapan sudah siap.” Ucapnya sambil meletakkan piring dan gelas kopi di meja makan.
Ohh benar...Tomas bertemu dengan Vito hari ini. Hm..masih ada waktu, pikirku.
Ku raih tas kecilku di atas meja dan tersentak ketika menemukan semua senjataku lenyap. Seketika aku menoleh ke arah George.
“Maafkan aku. Bagaimanapun juga aku adalah seorang polisi. Tidak kubiarkan seorang wanita sepertimu berkeliaran membawa senjata sebanyak itu.”
“A..Apa?” tanyaku kaget. “Kau tahu aku mempunyai lebih banyak di rumah kan?”
George tertawa. “Dan akan kukosongkan isi tasmu setiap kau datang kemari hingga kau tidak membawa senjata lagi ke rumahku.”
Aku berjalan menghampirinya. “Apakah kau mengharapkan aku datang kemari tanpa perlindungan?” tanyaku.
George menarik pinggangku mendekat, dan meletakkan sebuah ciuman yang menarik seluruh nafasku keluar dari paru paruku.
“Aku yang akan melindungimu.” Bisiknya pelan.
“Hm..Baiklah Romeo. Paling tidak bisakah kau kembalikan pisau lipatku? Aku memerlukannya untuk… uhm… memotong apel ketika lapar.” Kulayangkan sebuah ciuman di bibirnya yang terasa pahit kopi sambil sedikit menyenggol tonjolan di celananya.
George mendengus merasakan sentuhanku.
“Ummhh...Nona Salazar, dengan nyalimu yang sebesar ini, kau lah yang sepantasnya memegang kursi pimpinan Salazar dan bukannya Tomas.”
“Tidak tahukah kau bahwa Salazar adalah aku? Jadi...bisakah kau kembalikan pengupas apelku, Tuan Kepala Polisi?”
George meremas pinggangku sambil menggigit ujung dadaku dari balik gaun yang kupakai sebelum berjalan ke laci dapurnya dan mengeluarkan sebuah pisau lipat tipis milikku.
“Hati hati lah dengan benda ini.” Ucapnya sebelum menyerahkan benda itu ke tanganku yang langsung kuselipkan ke dalam sepatu heel ku.
“Janji. Sekarang bagaimana kalau kita coba apakah kau sama jagonya dalam hal memasak dengan merayu.” Balasku.