9. Kau dan Aku, Melawan Dunia

1133 Kata
Bukan tanpa alasan Tomas tidak menyukai peredaran obat terlarang. SMA bukanlah masa masa yang indah untuk ku. Perubahan fisik adikku yang sangat berbeda 180 derajat dibandingkan ketika kecil, menjadikannya langsung melejit ke kalangan murid populer di lingkungan sekolah. Berprestasi di Club tinju, dan berkencan dengan gadis-gadis cantik, membuat aku yang selalu di balut oleh kemarahan, semakin memisahkan diri darinya. Ada sebuang geng kecil yang berkuasa di dekat panti asuhan tempatku tinggal. Lebih mirip kelompok anak berandalan daripada organisasi gangster yang kini dipimpin Tomas. Beranggotakan tak lebih dari 20 an orang, kerjaan pemuda yang kebanyakan tidak lulus sekolah itu sehari hari, hanyalah nongkrong di sebuah rumah tua yang dijadikan sebagai markas. Menunggu anak-anak panti lewat sebelum menodong dan menguras isi kantong mereka. Yang kemudian di pakai untuk membeli heroin. Ketua geng mereka adalah seorang pemuda umur 20 an yang bernama Zombie. Julukan yang mungkin di dapatnya dari perawakannya yang mirip Zombie. Jangkung, kurus dengan wajah pucat karena kebanyakan obat yang mengalir di dalam darahnya. Kemarahanku karena merasa tidak bisa masuk ke dunia Tomas yang di kelilingi orang-orang populer di sekolah, menjadikanku mulai sering nongkrong dengan Zombie dan temannya. Merokok, membully, mencuri bahkan ikut menodong guna mendapatkan uang untuk memuaskan kebutuhan obat-obatan Zombie dan teman temannya. Selama ini aku selalu menolak tawaran mereka untuk ikut menyuntikkan benda itu. Hingga suatu hari sebuah kejadian di sekolah membuatku terjatuh bebas tanpa pegangan. Hari bencana itu dimulai ketika guru biology tiba-tiba memanggilku ke kantornya sesudah pulang sekolah. Untuk membicarakan nilaiku yang sangat di bawah rata-rata, katanya ketika aku bertanya. Tomas sedang sibuk berlatih di ring bersama Ricky dan teman-temannya, mempersiapkan diri mereka dalam kejuaraan antar sekolah. Sesuatu yang tidak kumengerti apa gunanya ketika aku duduk di ruangan Pak Doni sendirian. “Lucia,” panggilnya sambil menyandarkan lengannya ke atas mejanya dan mencondongkan tubuhnya ke arahku yang duduk di seberangnya. “Kamu sekarang duduk di kelas 3. Untuk bisa lulus dari sekolah ini, nilai Biology mu perlu paling tidak mencapai rata-rata 70 poin.” Pria berambut tipis itu menunduk membaca kertas nilaiku yang di letakkan di atas meja. “Saat ini rata-rata nilaimu hanya mencapai 45. Jauh dari cukup.” Mata kecilnya menatap wajahku seolah menunggu ku merengek atau memohon. Tapi ketika aku hanya diam, dia melanjutkan. “Kau tidak sadar bagaimana inginnya aku membantumu mengingat kau hanyalah anak panti yang tidak mungkin mempunyai biaya tambahan untuk mengulang kelas. Berbeda dengan adikmu yang berprestasi dan mendapat beasiswa, dirimu hanyalah anak buangan.” Pria itu berhenti lagi beberapa detik sebelum menyandarkan punggungnya ke belakang. Tangannya kini terlipat di atas meja di depannya seolah sedang berdoa. “Jika… Aku bersedia menghapus nilai 45 ini dan menggantinya menjadi 70… Apa yang akan kau berikan padaku?” Sebuah seringaian tertarik di bibirnya. Membuatku langsung sadar apa maksudnya. Kutatap matanya dalam–dalam sambil melepaskan beberapa kancing teratas pada blouse yang kukenakan. “Ini kah yang bapak mau?” tanyaku. Bisa kudengar dengus nafasnya yang menjijikkan makin kencang. Pria itu mulai melepaskan sabuk yang di pakai di pinggangnya dan menarik celananya turun hingga ke lutut. “Kemarilah, Lucia. Jongkok di hadapanku sementara aku menghapus nilai mu,” geramnya membuat perutku berdesir oleh api. Aku menegakkan tubuhku berdiri dan melangkah perlahan ke arahnya. Semula tertutup oleh meja, kini aku bisa melihat dengan jelas bagian dari tubuhnya yang berwarna coklat dan menjijikkan, menegang di sela pahanya. “Ah… Begitu… teruslah mendekat, kemarilah sayangku…” Tidak kupalingkan pandanganku dari wajahnya yang kini mulai berkeringat memandangku, tanpa menyadari bahwa tanganku telah meraih sebuah benda dari mejanya. Garpu, yang mungkin habis di pakainya untuk memakan apel dari bekal makan siangnya. Kusembunyikan tanganku yang memegang benda itu ke balik punggungku sambil aku terus melangkah maju mendekatinya. Bisa kulihat pria itu makin membuat dirinya duduk nyaman dengan menggerakkan pantatnya di kursinya, menggeser-geserkannya seolah mencari posisi terenak, sebelum kemudian menggeram pelan ke arahku yang kini sudah berdiri menjulang di hadapannya. “Apa yang kau tunggu sayang? Segera lakukan satu-satu nya hal yang kau bisa. Menghisap ku.” Aku pasti tersenyum ketika aku menjawab, “Hmmm guruku tersayang, untung saja itu bukanlah satu satunya yang kubisa.” Tanpa peringatan dan tanpa ditebak olehnya, ku hujamkan tanganku yang memegang garpu langsung ke arah tubuhnya yang berani menampakkan diri tanpa undangan dariku. Pria itu meraung kesakitan. Darah berceceran ke mana-mana, membasahi pangkuannya dan kursi yang di dudukinya, turun mengalir hingga ke betisnya. Kuludahi wajahnya sebelum kaki ku perlahan mundur menjauh tanpa mengalihkan pandangan. Melihatnya kesakitan dan menangis dengan panik membawa sebuah kebahagian tersendiri di dalam hatiku yang panas. Paling tidak kini, pria ini tidak akan bisa mempertontonkan benda itu lagi kepada siapapun. Dengan perasaan puas, aku berjalan keluar dari kantornya dan langsung berlari menuju rumah kosong markas Zombie dan kawanan nya. Yakin polisi akan mencari keberadaanku setelah apa yang kulakukan, aku memutuskan untuk tidak pulang ke panti asuhan dan bersembunyi bersama Zombie beberapa hari. Dikelilingi berandalan yang paling tidak melindungiku dari jangkauan polisi, Zombie kembali membujukku untuk mencoba benda yang di pakainya. “Percayalah, Luce. Benda ini akan membuat semua masalahmu pergi,” ucapnya padaku suatu malam. Aku menatap alat suntik berisi cairan di tangannya. “Semua masalah?” tanyaku. “Semuanya. Hanya kehangatan dan perasaan aman yang tersisa.” Hmm… terdengar seperti sebuah fairy tale. Kehangatan? “Ok sekali saja, Z. Aku tidak ingin kecanduan dan menjadi zombie sepertimu,” jawabku dan itulah hal terakhir yang kuingat karena beberapa hari berikutnya berlalu tanpa kusadari. Entah berapa lama aku berada di markas Zombie, sebuah tangan kekar menarikku dari atas lantai kotor.  Menggendongku ke dalam pelukannya, membuatku semakin merasa terbang. Sekilas kulihat tubuh Zombie dan geng nya tergeletak di lantai babak belur. Ku picing kan mataku menatap orang yang mengangkatku, “Tom???” Kepalaku menoleh ke sosok lain yang berjalan di sebelah ku, “Ricky??” Rupanya aku sudah berada di markas Zombie hampir 2 minggu lamanya. Terlalu teler untuk menyadari kondisiku yang mulai tidak bisa lepas dari benda itu. Kedua pria itu menyembunyikan aku di basement rumah Ricky yang ditinggalinya bersama ibunya, Iris. Wanita dengan sosok paling keibuan yang kukenal selama di Gremlin. Tomas dan Ricky bergantian menemaniku, memaksaku untuk membersihkan racun dari tubuhku. Membuat mereka berdua kehilangan kesempatan untuk ikut turnamen dan harus kehilangan bea siswa. Semua karena aku. Dua hari sesudah mereka mengeluarkanku dari markas Zombie, bisa kurasakan seluruh badanku terasa makin lama makin panas seolah terbakar.  Sakitnya yang luar biasa membuatku tidak ingat apa yang terjadi hari itu kecuali rasa sakit di sekujur tubuhku. Ricky mengatakan aku sempat melemparkan kursi ke arahnya karena melarangku untuk keluar dari rumah. Hari ketiga, rasa panas di tubuhku tidak surut juga malah sekarang diikuti rasa pening luar biasa di kepalaku. Terasa hendak pecah, otakku berteriak meronta sekuat tenaga untuk kumasuki lebih banyak heroin. Tomas mengikatku ke atas ranjang hanya untuk mencegahku makin mengamuk dan kabur. Untunglah setelah 5 hari, tubuhku mulai menyerah. Seakan kehabisan tenaganya, kini hanya kelelahan yang amat sangat yang bisa kurasakan. Membuatku akhirnya berhenti mengamuk, dan hanya mampu terbaring lemas diatas ranjang. Muntah, tidur, dan bangun hanya untuk kembali muntah. Hanya itulah yang bisa kulakukan seminggu kedepan. Samar kurasakan belaian lembut tangan Tomas ke dahiku yang berkeringat, “Aku ada di sini, Luce. Maafkan aku sudah meninggalkanmu terlalu sering. Setelah ini hanya akan ada kau dan aku. Melawan dunia, ok?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN