5. Gadis Psikopat

1488 Kata
Aku melangkah masuk ke apartemen sempit itu diikuti oleh Bastian yang kuperintahkan untuk menutup pintu apartemen dibelakangnya. Kepalaku menoleh ke sekeliling apartemen kecil itu. Pecahan piring nampak tercecer di lantai di dekat meja makan. Sementara botol botol kosong bekas alkohol berserakan di mana mana. Mataku langsung tertuju pada tumpukan plastik berisi bubuk putih diatas meja kaca di ruang duduk. Kusapukan jariku keatasnya dan kuendus sekilas sebelum menjilatnya untuk memastikan. Sialan! Cocaine! Hanya ada satu alasan kenapa suami Maria memiliki setumpuk cocaine di rumahnya. Dia adalah pengedar untuk Vito Bersaudara di selatan. Ck..hal ini akan membuat semuanya menjadi lebih rumit. Tapi aku sudah terlanjur basah dan menceburkan diri ke dalam kolam untuk keluar lagi. Kuraih sebuah pipa besi yang tergeletak di dekat pemanas ruangan. Perlahan aku melangkah makin masuk ke dalam apartemen. Kubuka pintu pertama di ujung lorong, hm..kamar mandi. Akhirnya kutemukan yang kucari di balik pintu kedua. Terdengar suara mendengkur dari atas kasur dimana tubuh suami Maria sedang terlelap. Mungkin dari berbotol-botol minuman yang di tenggaknya, atau dari bubuk putih yang dihisapnya. Bisa kulihat sisa benda itu masih menempel di sekitar lobang hidungnya. Aku menoleh ke arah bodyguardku yang mengikutiku dari tadi. “Bast, berjagalah di pintu. Pastikan b******n ini tidak keluar dari kamar ini, tapi apapun yang terjadi jangan ikut campur. Ini urusanku dengan pemukul wanita ini.” “Tapi Red—“ Kupotong selaan Bastian dengan pandangan tak suka, dan pria itupun mengangguk. Kumaafkan kelancangannya, yang mungkin hanya disebabkan oleh kekhawatirannya padaku. Walaupun tidak tinggi, tapi badan suami Maria yang gemuk berukuran 2x dariku. Aku berjalan mendekati pria itu memikirkan cara apa yang akan kugunakan untuk membangunkannya ketika kulihat segelas air di atas meja di sisi ranjang. Kuraih gelas itu dan kusiramkan isinya ke atas kepalanya, setelah kosong sekalian kuhantamkan gelas kosong itu ke pelipisnya. PRAKKK!!! “AWWW!! ADUH!!” Pria itu langsung berteriak terbangun sambil melompat duduk. Matanya yang kaget beralih dari wajahku ke arah Bastian yang berdiri menghalangi satu satunya jalan keluar. “Apaa apaan ini???!! Siapa kalian? Bagaimana kalian bisa masuk??!? Apa maumu??” tanyanya sambil memegangi pelipisnya yang berdarah. “Aku teman dari istrimu. Jadi kau kah yang suka memukuli wanita selama ini. Cuihh!” kuludahi wajahnya. Pria itu langsung tersentak, dan melompat berdiri sambil mengelap wajahnya. Mukanya yang tadinya kaget kini menjadi murka. Bisa kulihat matanya yang makin menyipit menatapku. Tanpa aba aba, PLAKKK!! Tangannya terangkat menampar pipi ku keras. Rasa panas langsung menjalar dari tempat tamparannya. Sekilas kurasakan cairan hangat mengalir dari ujung bibir ku yang mungkin sobek. “RED!” teriak Bastian hendak melangkah maju. Suami Maria menoleh ke arah Bastian mendengar teriakan pria kekar itu yang langsung kupakai kesempatan itu untuk menghantamkan pipa besi di tanganku telak ke sisi kepalanya. Suami Maria terhuyung ke belakang terkena hantaman pipa, tanpa ampun, kuulangi pukulanku ke pipinya, hidungnya, rahangnya. Dan ketika tubuhnya roboh ke lantai, ku hantamkan lagi pipa itu berkali kali. Aku baru berhenti ketika tanganku mulai terasa pedih. “Bagaimana rasanya menjadi Maria?” desisku dengan nafas terengah engah.  Aku berjongkok di sebelah pria itu yang hanya mampu mengerang sambil menggulungkan tubuhnya meringkuk menjadi bola, mengingatkanku pada seekor armadilo. Kutarik rambutnya sebelum mendekatkan bibir ku ke telinganya. “Ingat! Sekali lagi aku mendapati Maria masuk bekerja dengan lebam atau gigitan nyamuk sekecil apapun, aku akan kembali kemari. Jika kudengar kau berani meletakkan tanganmu kepada kedua anak gadis mu yang cantik di depan, percayalah..aku akan kembali kemari. Dan kala itu, akan kubiarkan Bastian untuk mengurusmu.”  Kuucapkan tiap kata dengan suara pelan agar meresap dalam pikiran pria itu. “Mengangguklah bila kau paham!” perintahku yang langsung di jawab oleh anggukan dari pria itu. “Bagus!” Kulempar pipa besi itu ke lantai dan kututup pintu kamarnya rapat rapat. Sebelum meninggalkan apartemen itu, ku berikan sedikit uang untuk kedua anak Maria dan meminta mereka untuk jangan masuk ke kamar ayahnya dulu. Aku sudah kembali duduk di dalam mobil ketika Ricky akhirnya membuka suara. “Sialan Red. Apa yang terjadi pada wajahmu? Bastian! Kenapa kau tidak menjaganya?” “Bukan salah Bastian. Aku hanya lengah. Lagipula luka di wajahku tidak ada apa apanya dibanding apa yang kulakukan pada wajah pria itu.” Aku tergelak mengingat wajah suami Maria yang lumat terkena pukulan pipa besi di tanganku. “Tidak lucu, Red!” teriak Ricky. “Tomas bakalan membunuhku. Dan dirimu juga!” tunjuk nya ke arah Bastian. “Ck.. sudah kubilang aku akan bertanggung jawab.” Ucapku sambil menyeka sedikit darah yang bersisa di bibirku. Luka sekecil ini tidak ada apa apa nya bagiku. Besar di rumah yatim piatu, aku sudah terbiasa dengan perkelahian hanya untuk hal hal kecil. Berebut makanan, pakaian baru, bahkan mainan karena semuanya memang serba terbatas bagi kami. Ditambah, Tomas yang ketika kecil berbadan kurus dan lemah, membuatnya sering menjadi bahan bulan-bulanan anak yang lain. Aku sebagai kakaknya, tentu saja selalu berusaha melindungi adikku itu dari bully an penghuni panti asuhan dan teman sekolah nya. Tanpa iba, aku akan menghajar siapapun yang berani mengganggu Tomas. Kadang aku menang, kadang aku pulang dengan wajah yang hampir tidak dikenali. Tidak masalah bagiku, karena paling tidak kini mereka mulai berpikir dua kali untuk berani mengusik kami. Karena mereka tahu bahwa Lucia Salazar tidak mengenal rasa takut. Hanya setelah duduk di bangku SMA lah tubuh Tomas mulai bermetamorphosis. Seakan dalam semalam, pria itu tumbuh keatas menjadi jangkung melebihi semua anak di panti asuhan dan disekolahnya. Di saat itu jugalah lah Tomas bertemu dengan Ricky. Memiliki hoby yang sama yaitu boxing, menyemen pertemanan kedua pemuda.  Ditambah Ricky yang  dari keluarga broken home dan anak tunggal, sudah menganggap Tomas dan diriku sebagai keluarga sendiri. Bersama Ricky, kami bertiga adalah awal terbentuknya The Salazar. Organisasi kami kuat, karena kami memiliki satu sama lain. Kesetiaan, kehormatan, kepercayaan satu sama lain. Tiga hal penting bagi kami  dan organisasi. Loyalty, Honor, and Faith. Moto organisasi. Ricky melangkah masuk ke dalam rumah dengan ku yang berjalan di belakangnya, sementara Bastian di sebelahku. Ku lirik Tomas yang berdiri di dekat meja makan. Wajahnya tampak masih menahan emosi, mungkin karena aku sudah menganiaya kekasihnya tadi pagi. “Dari mana kalian?” tanyanya ke arah Ricky. Matanya kemudian menatap wajahku dan sejenak bisa kulihat alisnya berkerut sebelum pria itu melangkah mendekatiku. “Apa yang terjadi pada wajahmu?” Tangannya menarik daguku agar bisa melihat lebih jelas bekas tamparan dan bibir ku yang sobek. Aku menarik wajahku dari tangannya dan mendengus. “Aku baik baik saja.” Tomas hanya menatap wajahku sejenak sebelum memalingkan pandangannya pada Ricky dan Bastian, “Kalian! Seharusnya menjaga dia.” Tunjuknya. “Kenapa sekarang kakak ku pulang dalam keadaan babak belur?” Diraihnya kerah baju Bastian dan dengan sekali dorong di hentakkannya tubuh Bastian yang cukup besar menabrak tembok. Aku langsung berlari menghalangi mereka berdua berusaha melindungi bodyguardku  sebelum Tomas makin mengamuk dan menghajar pria malang itu. “Tomas! Stop!” teriakku berdiri di antara Tomas yang menjulang dan Bastian yang terpepet di tembok. “Aku yang memaksa mereka ikut. Berhenti menyalahkan Bastian atau Ice.” Akhirnya kuceritakan semua yang kami lakukan pagi itu, sementara Tomas hanya terdiam mendengarkan. “Kau bukan hanya masuk ke wilayah Vito tapi juga menghajar salah satu prajuritnya?” tanyanya setelah aku selesai. “Sudah saatnya kita menguasai Gremlin. Aku yakin Vito juga sedang merencanakan hal yang sama, Tom. Lebih baik kita menyerang duluan sebelum diserang.” “Ck..Red!” Decaknya kesal sebelum kemudian menarik nafas panjang. “Kita mungkin tidak punya banyak pilihan setelah apa yang kau lakukan.” Lanjutnya. Pria itu kemudian menoleh ke arah tangan kanannya.  “Ice, kumpulkan para Kapten malam ini setelah pabrik tutup.” Perintahnya yang langsung dijawab oleh anggukan dari Ricky. “Kamu!” tunjuknya pada Bastian. “Keluar dari sini sebelum aku hancurkan wajahmu.” Aku menoleh ke arah Bastian yang buru buru berjalan keluar rumah sebelum memalingkan wajahku kembali ke adikku yang kini berjalan ke arah teras. Memakai kemeja tergulung sampai siku, vest dan celana panjang, sabuk gunholdernya tergantung di bahunya dengan dua pucuk pistol terpasang di dalamnya. Wajahnya yang tampan terlihat murung. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana sementara satunya terangkat mengelus dahinya. Hal yang terjadi bila dirinya sedang berpikir keras. Aku melangkah mendekatinya. Dan walaupun tidak terlalu peduli,kutanyakan juga bagaimana kabar kekasihnya. “Bagaimana Ada-Mae?” Tomas nampak kaget atas keberadaanku. Jika sedang banyak pikiran memang kadang dia suka lupa akan adanya orang di sekelilingnya. Tomas menarik nafas pelan sebelum menjawab, “Dia akan hidup, hanya kaget.” Aku hanya mendengus mendengarnya. “Kopiku juga sudah tidak terlalu panas ketika kusiramkan ke arahnya, kok.” “Kau harus memberinya kesempatan, Red. Dia gadis yang baik dan lembut. Berbeda dengan kita. Mungkin jika kau lebih mengenalnya, kalian akan bisa menjadi teman baik.” Lanjutnya. “Kau ingin kita berteman?” tanyaku. “Jika kuingat, sejak di Gremlin, kau tidak punya teman perempuan. Bagaimana kalau kau dan Ada-Mae pergi makan siang? Untuk mengenal lebih jauh. Please. Lakukan untukku?” Aku memikirkan ucapan Tomas. Sejak dibuang kemari oleh paman, aku memang tidak berniat mempunyai teman dekat perempuan. Ketika kecil, aku tidak suka dengan cara mereka berbisik bisik di belakangku, mengata ngataiku dengan berbagai sebutan seperti gadis psikopat, atau anak setan. Setelah beranjak dewasa, aku makin tidak suka dengan cara mereka memandangi adikku dan bersikap manis padaku hanya untuk mendekatinya. Tapi, aku juga sadar bahwa aku bersedia melakukan apapun demi pria ini. Dan kini dirinya ingin aku berteman dengan kekasihnya? Kuhela nafas ku panjang-panjang sebelum akhirnya setuju. “Baiklah. Makan siang.” Bibir Tomas mengembang mendengar jawabanku, “Bagus, akan ku telepon Ada-Mae. Dia tadi pulang setelah kau aniaya.” Aku tertawa kecil mengingat kejadian pagi ini. “Red!” panggil adikku sebelum aku masuk ke kamar. “Nanti berlakulah baik-baik. Jangan sakiti Ada-Mae. Berjanjilah.” “Hm..janji..”gumamku walaupun aku tidak yakin bisa menahan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN