Bab 11. Sabar Dong Sayang

1276 Kata
“Informasi apa yang kamu dapatkan?” tanya Axel. Axel kembali melihat ke arah berkas yang sedang dia periksa. Dia menantikan laporan Bima, tentang tugas penting pertama yang dia berikan pada asisten pribadinya itu. “Begini, Pak. Bu Siena dulu pernah berkuliah di salah satu un—“ Axel mengangkat pandangannya. “Bukan itu! Saya gak perlu tau yang itu! Yang lain!” bentak Axel kesal karena dia mendengar informasi yang sudah dia ketahui. Bima yang kaget pun jadi semakin bingung. Dia yang tidak tahu informasi seperti apa yang diinginkan atasannya, kini semakin gugup berdiri di depan atasan barunya. Axel menarik napas dalam mencoba menenangkan diri agar tidak emosi. Dia menatap tajam asisten bodohnya, yang dipilihkan Siena untuknya. “Cari informasi kenapa Siena bisa nikah sama papaku. Itu yang harus kamu lakukan!” ucap Axel tegas. “Maaf Pak kalo saya salah. Saya tidak tahu informasi apa yang Bapak inginkan. Jad—“ “Keluar sana kalo gak ada lagi yang mau kamu laporkan.” Axel memotong ucapan Bima. “Saya hanya ingin menanyakan, apakah tahun ini perayaan ulang tahun Pak Irwan akan kembali di adakan seperti tahun sebelumnya, Pak?” tanya Bima. Axel kembali melihat ke arah asistennya. “Ulang tahun?” “Ck! Tua bangka masih aja ulang tahun. Apa dia mau memamerkan istri mudanya itu. Dasar gak tau mau,” gerutu Axel. “Lakukan seperti biasanya. Saya ingin tahu apa yang akan mereka lakukan,” jawab Axel sambil sedikit menertawakan apa yang sedang ada di pikirannya tentang hubungan Siena dan papanya. “Baik, Pak. Akan segera saya susun acaranya.” “Jangan lupa dengan informasi yang saya minta.” “Iya, Pak. Secepatnya saya akan cari tahu.” Bima segera mohon diri. Dia membiarkan Axel bekerja lagi. Axel tidak memedulikan asistennya lagi. Dia ingin mengoreksi perusahaan papanya sekaligus memonitor perusahaannya sendiri. Bima melepas napas berat saat dia sudah berdiri di depan ruang kerja atasannya. Ternyata tawaran gaji yang besar, juga memiliki tantangan yang lebih besar dan menyeramkan. “Kenapa kamu?” tanya Leo yang melihat Bima tampak lemas di depan ruang kerja Axel. Bima kembali berdiri tegap dan melihat ke arah Leo.” Gak kok, Pak. Saya gak papa,” jawab Bima. Leo melihat sebentar ke arah pintu coklat di belakang Bima. “Kena marah lagi?” tebak Leo. Bima segera menggeleng. “Gak papa kok, Pak. Sudah tanggung jawab saya.” “Oh ya, Pak. Kebetulan ada Pak Leo, saya mau tanya soal rencana ulang tahun Pak Irwan,” tanya Bima ingin tahu karena selama ini yang mengurus selalu Leo. “Sudah bilang ke Pak Axel?” “Sudah, Pak. Dan katanya boleh.” Leo mengangguk. “Ikut saya.” Leo segera berjalan ke arah ruang kerjanya. Dia akan memberi tahu Bima apa saja yang harus disiapkan untuk salah satu acara tahunan perusahaan itu. Dia memang menyuruh Bima menanyakan hal ini pada Axel. Secara kini bukan Siena lagi pimpinan perusahaannya, jadi dia harus meminta persetujuan dari Axel dulu. Di dalam ruang kerja Leo, pria muda itu memberi tahu Bima apa saja yang harus disiapkan di pesta itu. Terlebih lagi, makanan untuk Irwan harus sangat diperhatikan, mengingat banyaknya timbunan penyakit di dalam tubuh pria paruh baya itu. “Kamu udah mengerti kan?” tanya Leo. “Sudah, Pak. Nanti saya boleh tanya lagi kan Pak, kalau ada yang kurang,” ucap Bima. “Boleh. Nanti undangan biar saya aja yang urus dan kamu siapkan yang lainnya.” “Baik, Pak. Oh ya Pak, lalu soal Pak Axel. Apa perlu ada pesta sendiri untuk mengumumkan tentang jabatan beliau sekarang?” “Jangan dulu. Belum ada informasi dari Pak Irwan. Kita tunggu setelah acara berlangsung.” “Baik, Pak. Maaf Pak, saya boleh tanya sesuatu?” “Apa?” “Maaf sebelumnya, tapi apa boleh saya tahu tentang Bu Siena dan Pak Irwan?” Leo mengerutkan keningnya. “Buat apa kamu tau soal itu?” tanya Leo dengan nada lebih serius. “Anu Pak, tadi tiba-tiba saya kepikiran mau buat VT gitu soal Bu Siena dan Pak Irwan.” Tentu saja Bima hanya beralasan saja, karena dia berharap akan mendapat informasi dari Leo. “Gak usah. Fokus aja ke acara ulang tahun Pak Irwan.” Leo langsung menolak. “Baiklah kalau begitu. Saya permisi dulu, Pak.” Bima segera beranjak pergi dari ruang kerja Leo. Meninggalkan Leo yang masih duduk bersandar di kursi kerjanya dan melihat jauh ke depan. “Apa Axel yang nyuruh Bima tanya soal ini?” gumam Leo bermonolog sendiri. “Tapi buat apa? Kalo dia ingin tahu, dia kan bisa tanya langsung ke Pak Irwan ato Siena. Ah, mungkin itu emang ide Bima aja.” Leo berusaha menepiskan kecurigaannya. Dia tidak ingin menambah masalah, karena pekerjaannya sendiri masih banyak yang harus dia pikirkan. *** Siena sedang menyiapkan makan malam di rumah. Dia baru saja melihat Axel datang dari kantor dan berjalan begitu saja tanpa menyapanya saat masuk ke dalam kamarnya. Siena sedikit merasa aneh dengan tindakan Axel itu. Pria yang biasanya selalu mencari masalah dengannya itu, malah terlihat cuek dan pendiam. “Dia kenapa ya? Apa ada banyak kerjaan yang gak beres?” tanya Siena pada dirinya sendiri. “Biarin lah. Mending dia diem dari pada dia banyak omong,” lanjut Siena. “Siena, Axel mana?” tanya Irwan yang berjalan mendekati ruang makan. “Dia baru datang. Baru aja masuk kamar,” jawab Siena. “Panggil Axel. Ajak dia makan malam.” “Dia baru dateng. Pal—“ “Gak usah bantah! Panggil sana!” Siena mendengus kesal. Dia bukan tidak mau memanggil, tapi dia malas kalau nanti Axel akan buat masalah lagi saat dia ke kamar pria itu. Dengan berat hati, Siena pun berjalan ke arah kamar Axel. Dia mengetuk pintu kamar anak tirinya itu pelan, berharap Axel akan segera membuka pintu. “Axel,” panggil Siena pelan. “Masuk,” jawab Axel dari dalam. Siena membuka pintu kamar itu perlahan. Dia melihat ke arah kamar itu dan tidak menemukan sosok Axel di dalam sana. Siena yang penasaran dengan keberadaan anak tirinya, memaksakan kakinya masuk ke dalam dan tetap membiarkan pintu kamar itu terbuka. “Apa?” tanya Axel lagi saat melihat ibu tirinya datang. Kaget mendengar suara dari arah kamar mandi, Siena pun segera menoleh ke sumber suara itu. Mata Siena hampir saja membulat lebar kalau saja dia terlambat mengontrol rasa kagetnya. Axel berdiri di depannya hanya memakai boxer saja tanpa penutup yang lain. Kenangan menyentuh dan membuai perut datar itu langsung merasuki kepala Siena. Dia dulu melarang Axel membentuk perutnya menjadi roti sobek karena dia tidak menyukainya meski Axel menginginkannya. Dan kini setelah 3 tahun berpisah, Axel masih mempertahankan penampilan seperti kesukaannya. “Siena,” panggil Axel yang menahan senyumnya saat dia tahu mantan kekasihnya itu sedang melihat ke arahnya. “Em iya. Anu, papamu ngajak kamu makan malam. Cepet keluar,” ucap Siena yang segera mengembalikan akal sehatnya. “Hemm. Aku ganti baju dulu.” “Ok. Aku tunggu di ruang makan.” Siena segera beranjak pergi meninggalkan kamar Axel. Dia melepaskan napasnya kasar dan memegang dadanya menahan dentuman keras jantungnya. “Sadar Siena. Sadar! Jangan tergoda lagi sama iblis itu,” ucap Siena menyadarkan dirinya sendiri. Siena segera kembali ke ruang makan. Dia menyuruh pelayan untuk melengkapi makanan, karena mereka akan segera makan malam. Axel mengambil kaos di dalam lemarinya lalu memakainya. Dia memang belum mandi dan hanya cuci muka saja tadi karena dia ingin makan. Axel tersenyum sendiri mengingat aksi Siena tadi. Dia merasa senang, karena Siena ternyata masih mengagumi badannya seperti dulu. “Tenang aja, Sayang. Sebentar lagi kamu bisa menikmatinya lagi. Aku akan segera membawamu ke ranjangku lagi,” ucap Axel sambil merapikan rambutnya dan melihat bayangannya sendiri di depan cermin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN