Siena duduk di depan Axel. Dia berusaha tetap tenang, meski iblis jahat masih menggodanya dengan menayangkan ulang peristiwa di kamar tadi dalam pikirannya.
Suasana ruang makan sangat tenang. Hanya suara alat makan saja yang terdengar saat bertabrakan dengan piring.
“Axel. Aku denger katanya kamu yang akan urus pesta ulang tahun papamu,” ucap Siena ingin memastikan kabar yang dia dengar dari Leo tadi.
“He em,” jawab Axel sambil mengunyah makanannya.
Irwan menoleh ke putranya. “Beneran kamu yang akan urus semuanya?” Irwan juga tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Bukan Axel. Tapi Bima. Lagi pula katanya ini juga acara rutin perusahaan, jadi harus tetap dilakukan kan,” jawab Axel.
Siena memandang sinis ke arah Axel, penuh kewaspadaan. “Ada apa ini. Kenapa dia tiba-tiba berubah. Bukannya dia benci banget sama papanya. Kenapa sekarang malah dia yang mau siapkan semuanya,” ucap Siena dalam hati.
Irwan tersenyum. “Papa seneng kamu akhirnya bisa benar-benar kembali ke perusahaan.”
“Siena, setelah acara ini, mulai persiapkan pesta pengangkatan Axel. Aku akan benar-benar pensiun,” perintah Irwan pada istri palsunya.
“Iya.”
“Gak perlu buru-buru. Axel juga belum memutuskan akan kembali ato enggak. Masih dalam tahap mempelajari perusahaan dulu,” ucap Axel.
“Emang kenapa? Apa ada yang gak sesuai?” tanya Siena.
Axel menggeleng pelan sambil menatap ibu tirinya. “Sejauh ini enggak. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang tidak aku ketahui,” jawab Axel sambil menatap Siena penuh makna.
Melihat sorot mata aneh Axel, Siena memilih menundukkan kepalanya. Dia malas menebak-nebak isi pikiran Axel yang selalu tidak menguntungkan baginya.
“Oh ya Pa, Axel juga akan kasih hadiah besar buat Papa. Tapi kayaknya gak pas ulang tahun. Soalnya, terlalu mepet,” ujar Axel sambil menoleh ke papanya.
“Hahaha ... kamu gak perlu siapkan hadiah. Kamu ada di sini aja udah jadi hadiah besar buat Papa. Kamu satu-satunya harapan Papa,” ucap Irwan yang malam ini hatinya sedang sangat senang.
“Gak lah. Namanya ulang tahun, pasti harus dapet hadiah.” Axel kembali melihat ke arah Siena. “Kamu juga udah siapkan hadiah kan?”
“A-aku? Aku belum beli apa-apa. Tapi nanti akan aku siapkan,” jawab Siena sedikit gugup karena selama ini dia tidak pernah menyiapkan hadiah apapun untuk Irwan.
“Harus siapkan yang special lah. Apa perlu aku bantu?” Axel menawarkan diri.
“Gak usah. Aku ak—“
“Kalo kalian siapkan bersama pasti akan bagus. Nanti di pesta juga pasti akan keliatan bagus,” sela Irwan.
Siena menoleh sebentar ke arah Irwan. “Iya, ntar aja. Aku masih banyak kerjaan juga.”
Siena mengangkat pandangannya untuk melihat pria yang duduk di depannya itu. Tampak Axel dengan tenang menikmati makan malamnya, bahkan tidak terlihat ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Tapi Siena tidak ingin semudah itu percaya. Dia masih sangat curiga, kalau pasti ada yang sedang bersembunyi di balik otak jahatnya Axel saat ini.
“Apa yang dia rencanakan sebenarnya? Apa yang akan dia lakukan di pesta itu? Awas aja ya kalo sampe dia berbuat macam-macam. Bakalan aku habisi dia,” geram Siena yang tidak bisa menebak niat busuk Axel.
Siena mencoba tetap tenang. Dia tidak ingin berpikiran jauh dulu namun tetap waspada.
“Oh iya. Siena, tolong Chelsea kamu kasih klien. Biar dia bisa belajar untuk tanggung jawab,” ucap Irwan.
“Klien itu urusan masing-masing. Kalo nanti klien Siena tapi ditangani Chelsea, bagaimana dengan Siena?” Axel tidak sependapat dengan papanya.
“Ya tapi kan dia belum pernah dapet klien. Dia mau buktikan kalau dia bisa.”
“Kalo dia bisa, berarti dia juga harusnya bisa dapat klien. Dapat klien aja belum bisa apa lagi ngelayani klien.” Axel masih terus membantah.
Irwan mulai kesal dengan bantahan putranya yang beberapa saat lalu sempat membuatnya tertawa bahagia.
“Tapi dia belum pengalaman. Makanya kasih dia klien dulu, biar dia bisa buktikan!” Nada suara Irwan makin meninggi.
Axel menoleh ke Irwan. “Kalo dia sampe sekarang bel—“
“Nanti akan aku carikan klien yang proyeknya gak besar. Besok aku panggil dia,” potong Siena yang tidak ingin terjadi keributan lagi di rumahnya.
“Siena!” protes Axel yang tidak setuju dengan sikap wanita di depannya.
“Aku akan awasi dan ajari dia secara langsung. Aku yang akan tanggung jawab. Lagi pula kalian sedarah, kalo kamu bisa, Chelsea pasti juga bisa. Mungkin cuma belum di asah aja.”
“Bener itu kata Siena. Sekarang kamu yang harus ajari dia.” Irwan setuju dengan pendapat istri palsunya.
“Sedarah. Aku aja gak yakin kalo dia anak papa,” gumam Axel.
“Axel!” bentak Irwan karena putranya sudah kelewatan.
“Axel, cukup! Gak usah diteruskan lagi. Nanti jantung papamu kumat lagi.” Siena memberi peringatan pada Axel.
Axel terdiam. Dia masih kesal karena Siena malah berpihak pada papanya dan membantahnya.
Siena tidak mau kalau Irwan masuk rumah sakit lagi. Itu sangat merepotkan dan dia juga belum mendapat bayarannya karena sudah hampir berhasil membawa Axel kembali ke perusahaan.
Tentu saja Siena tidak peduli dengan hidup Irwan. Hubungan di antara mereka hanya sebatas uang.
***
Siena baru saja mengikuti briefing pertama yang dipimpin oleh Axel. Ternyata anak tirinya itu memang benar-benar andal dalam memimpin perusahaan.
Siena menoleh ke kanan dan ke kiri, sebelum dia meninggalkan ruangan. Tentu saja hal ini menarik perhatian Leo yang selalu berdiri di dekatnya.
“Cari siapa?” tanya Leo.
“Chelsea. Di mana dia? Aku mau bicara dengannya,” jawab Siena sambil terus mencari keberadaan anak kedua Irwan.
Leo ikut mengedarkan pandangan. “Kayaknya dia gak dateng.” Leo melihat ke arah Siena. “Ada apa?”
“Gak papa. Cuma soal kerjaan aja. Titipan Irwan.”
“Ya udah, biar aku cari dia di ruangannya. Kamu naik aja dulu.”
“Ok.”
Siena berpisah dengan Leo. Dia segera berjalan ke arah lift karena dia harus segera menyelesaikan tugas yang sudah menunggunya.
“Eh, bentar,” ucap Siena saat dia melihat lift untuk atasan akan tertutup.
Sialnya Siena, ternyata yang ada di dalam sana adalah Axel dan Bima. Tatapannya kini malah sudah beradu dengan Axel yang seperti sedang menunggunya masuk.
“Masuk gak?” tanya Axel saat melihat Siena malah hanya diam di depan lift.
“Iya,” jawab Siena yang kemudian melangkah masuk ke dalam lift.
“Turun kamu,” titah Axel pada asisten pribadinya yang sejak tadi berdiri di depannya.
“Baik, Pak.”
“Loh, ken—“ Siena bingung saat melihat Bima malah turun saat dia masuk ke dalam lift.
Saat Siena akan ikut turun, tangannya di pegang oleh Axel. Saat dia menoleh, pintu lift langsung tertutup.
Siena mulai kesal dan mengempaskan tangan Axel. “Lepas!” ucap Siena tegas.
Axel tidak menjawab apa-apa. Dia hanya tetap berdiri sambil tersenyum.
Siena yang iseng melirik ke arah Axel, malah dibuat semakin geram saat dia melihat pria itu malah tersenyum.
“Ngapain senyum-senyum?” tanya Siena.
“Kenapa? Kamu takut satu lift sama aku?” tanya Axel.
“Gak. Ngapain takut,” bantah Siena.
Axel akhirnya menoleh ke Siena. “Yakin?”
Melihat sorot mata aneh Axel, Siena dibuat terdiam. Dia semakin panik, saat dia melihat Axel berjalan mendekat ke arahnya, yang otomatis membuatnya mundur teratur hingga punggungnya menempel ke dinding besi itu.
“Jangan macem-macem kamu, Axel! Di dini ada CCTV-nya!” Siena memberi peringatan, berharap kalau Axel akan takut.
Bukannya mundur, Axel malah mencondongkan badannya ke depan, sampai wajahnya kini ada di samping wajah Siena.
“Emang kenapa kalo ada CCTV? Apa kamu malu kalo mereka akan melihat kita? Ibu tiri yang selingkuh dengan anak tirinya sendiri,” ucap Axel yang lebih mirip dengan bisikan.