“Apa yang kamu lakukan, Dewi?!” tanya Siena ketus.
Dewi menoleh ke Siena. “Ada apa, Bu?” tanya Dewi balik.
Axel yang duduk di singgasananya juga melihat ke arah Siena. Wanita yang selalu menganggap dia anak tiri itu terlihat aneh karena tiba-tiba marah pada sekretarisnya.
Siena mengerutkan kedua alis cantiknya. “Tutup itu! Apa kamu mau goda dia?!” ucap Siena ketus sambil mengarahkan pandangannya pada belahan d**a Dewi yang mencuat karena kancing wanita itu terbuka sampai di tempat yang semestinya.
Axel tersenyum tipis melihat kemarahan Siena. Dia memilih menunduk, menahan senyumnya, tidak ingin mengurusi apa yang dilakukan Siena pada sekretarisnya.
Dewi yang memang sengaja membuka kancing kemejanya lebih ke bawah, bahkan menyangga payudaranya agar terlihat lebih cantik, kini terpaksa menunduk dan mengancingkan kemejanya lagi.
Dia juga menurunkan sedikit roknya, agar tidak semakin kena marah. Dewi mendengar selentingan, kalau Axel adalah p****************g, yang menyukai wanita seksi. Tentu saja Dewi berharap dia akan menjadi salah satunya.
“Maaf, Bu. Tapi baju saya dari tadi begini,” ucap Dewi membuat alasan agar tidak terlalu dimarahi.
“Kalo gitu kamu ganti bajumu mulai besok. Pake yang lebih tertutup dan sopan!” tegas Siena.
Axel mengangkat pandangannya. “Jangan terlalu ketat. Gak ada aturan seperti itu di kontrak pekerjaan,” sahut Axel sambil menatap Siena.
“Aku yang buat aturannya!” tegas Siena.
Siena melihat ke arag Dewi. “Kalo kamu gak mau, silakan ajukan surat pengunduran diri!”
“Tinggalkan berkasnya. Nanti saya panggil lagi,” sela Axel menyuruh Dewi pergi.
“Baik, Pak. Saya permisi, Bu,” ucap Dewi sambil menunduk dan kemudian segera keluar dari ruang kerja Axel.
Axel kembali melihat ke arah Siena. Dia tersenyum licik melihat wanita yang sedang marah, seperti sedang cemburu.
“Apa kamu lagi cemburu?” tanya Axel datar.
Siena menoleh ke Axel dengan pandangan datar. “Cemburu? Gak ada gunanya aku cemburu. Kamu bukan siapa-siapa, Axel!”
“Tapi cara kamu masih sama. Dulu kamu sering banget kayak gini ke perempuan yang dekati aku. Ap—“
“Tanda tangani ini. Aku butuh cepet!” Siena memotong ucapan Axel dan memberikan berkas yang dia bawa.
“Jawab dulu,” desak Axel.
“Buruan, Axel! Aku ditunggu ini.”
Axel masih tetap tidak bergeming. Dia tetap melihat ke arah Siena, menatap netra bening uang dulu selali dia puja itu.
Sikap Siena tidak berubah. Caranya cemburu dan melindungi dirinya dari godaan para wanita tetap sama. Dan itu selalu membuatnya senang karena merasa sangat diinginkan dan dicintai.
“Axel! Buruan!” bentak Siena yang makin kesal karena melihat pria itu malah melamun.
Axel hanya memiringkan bibirnya saja. Di kemudian mengambil berkas itu lalu segera menandatangani apa yang diminta Siena.
Melihat Axel sudah tanda tangan, Sien segera mengambil lagi berkas itu lalu segera pergi. Tamunya masih menunggu dan dia tidak enak kalau tamunya menunggu terlalu lama.
Axel tidak berkomentar apapun. Dia hanya diam dan bersandar di kursinya sambil sedikit dia goyang-goyangkan.
Axel memegang pena dengan kedua tangannya di depan dadanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang sedang melihat jauh menembus dinding ruangannya.
“Siena cemburu. Apa dia masih bisa cemburu?” gumam Axel bermonolog sendiri.
“Ok, mari kita buktikan. Aku yakin, dia menyesal meninggalkanku dulu,” ucap Axel penuh percaya diri.
Axel yang masih tidak bisa melupakan Siena sampai detik ini, jadi semakin bersemangat untuk mendapatkan Siena lagi. Tapi, baru sedetik dia merasa bersemangat, tiba-tiba semangatnya itu runtuh dengan kenyataan yang ada.
“b******k! Kenapa dia harus nikah sama tua bangka itu. Apa gak ada orang lain yang harus dia nikahi, hah?!” umpat Axel yang kembali kesal saat dia mengingat kalau Siena ada ibu tirinya.
“Aku harus tahu kenapa Siena nikah sama papa. Siena bukan orang yang segampang itu menyukai orang. Pasti ada alasan sampai dia melakukan ini. Aku harus cari tahu secepatnya!” tekad Axel sambil menggenggam pena di tangannya erat-erat.
Siena berjalan cepat menuju ke ruang tamu tempat tamunya menunggu. Dia sempat melihat Dewi di meja kerjanya.
Wanita yang baru saja mendapat peringatan keras darinya itu, tampak memilih menunduk saja, berusaha menghindari tatapan Siena. Tapi Siena tetap saja memberikan tatapan tajamnya ke arah Dewi, sedikit memperingatkan, agar wanita itu tidak macam-macam.
Dewi balas melihat ke arah Siena, saat hanya punggung Siena saja yang bisa dia lihat.
“Sial! Apa sih maksudnya ngomong gitu di depan Pak Axel. Lagian Pak Axel kan bukan anak kecil lagi, jadi suka-suka dia lah mau ngapain. Lagian tadi Pak Axel juga gak komen apa-apa kok. Kenapa malah dia yang sewot,” gerutu Dewi kesal karena rencananya kini sepertinya akan terhalang Siena.
“Apa dia nyesel nikah sama Pak Irwan karena ternyata Pak Irwan punya anak cakep? Bodo amat lah, yang penting Pak Axel gak marah,” lanjut Dewi.
“Pak Axel marah kenapa, Wi?” sahut Leo yang sedikit mendengar ucapan Dewi.
Dewi yang kaget, segera menoleh ke arah Leo tiba-tiba muncul. “Oh enggak kok, Pak. Gak marah. Pak Axel gak marah kok,” jawab Dewi sedikit gugup.
“Emang kamu ngapain?”
“Sa-saya? Enggak kok. Ini loh, ada yang typo dikit. Tapi kayaknya Pak Axel tadi gak liat. Agak takut aja, Pak. Soalnya katanya Pak Axel orangnya teliti.”
“Iya, emang teliti orangnya. Periksa baik-baik kerjaan kamu sebelum disetorkan. Buruan benerin, jangan salah lagi.”
“Baik, Pak.”
Dewi bisa bernapas lega saat Leo pergi meninggalkan meja kerjanya. Dia takut Leo akan marah juga, karena dia tahu kalau Leo sangat dekat dengan Siena sejak wanita itu ada di perusahaan ini.
Axel masih berkutat dengan pekerjaannya. Dia mempelajari banyak hal, agar dia bisa memahami tentang perusahaan yang sebentar lagi akan jadi miliknya ini.
Dia juga tidak lupa mengoreksi prestasi yang diperoleh Siena, selama menjabat jadi pimpinan di tempat ini. Axel merasa sedikit bangga dan tidak menyangka Siena mampu memimpin, sedang dulu dia hanya mengenal Siena yang hanya seorang karyawan biasa di perusahaan kecil.
Pintu ruang kerja Axel diketuk dari luar. Tidak lama kemudian Bima masuk dan langsung berdiri di depan meja kerja Axel.
“Ada apa?” tanya Axel tanpa memindahkan pandangannya dari berkas yang sedang dia periksa di atas meja.
“Hanya ingin mengingatkan saja Pak, kalau nanti ada undangan makan malam dari Pak Heru,” jawab Bima.
“Jadwal sama Mr. Adrian sudah kamu dapat?” tanya Axel.
“Sudah, Pak. Mr. Adrian ingin mengundang Bapak main golf bersama weekend nanti.”
“Kosongkan jadwal Siena. Saya akan pergi sama dia.”
“Baik, Pak. Akan saya sampaikan ke Pak Leo nanti.”
“Heem.”
Bima yang baru saja melapor tentang jadwal terakhir atasannya hari, terus berdiri di depan meja kerja Axel. Pria muda itu terus melihat ke arah Axel yang membuat Axel mengangkat pandangannya, ingin tahu maksud Bima.
“Ada apa? Ada yang mau kamu sampaikan?” tanya Axel.
“Begini, Pak. Saya ingin melaporkan tentang tugas saya kemarin. Tentang Bu Siena,” jawab Bima.
Mendengar nama Siena, Axel kemudian segera menegakkan punggungnya. Dia ingin tahu berita apa yang didapatkan oleh asisten pribadinya itu.
“Apa itu?” tanya Axel.