AIR MATA SAHDA SEASON 2 - CHAPTER 14

1645 Kata
Makan siangpun selesai, kali ini Sahda dan Dendi segera mengantar Umma nya untuk beristirahat sejenak. Mereka sengaja memesan kembali kamar Hotel yang lebih besar dari sebelumnya dan sepanjang perjalanan menuju tempat keduanya, Dendi tak lepas menggendong dan memeluk Azkia, sepertinya Dendi sangat menyayangi Azkia. Sahda maupun Risna begitu bahagia melihatnya, “Den, nanti kalau punya anak mau perempuan apa laki-laki?” tanya Dera kepadanya, Dendi tersenyum, lalu menatap wajah sang istri. Tanpa berpikir lama, Sahda segera menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Dera. “Kalau Sahda dan Mas Dendi sepakat, mau apapun jenis kelamin nya adalah bayi yang benar-benar Allah Subhanahuwata’Alla berikan sebagai pelengkap rumah tangga kami.” “Dan tentunya apapun jenis kelamin bayi tersebut adalah Anugerah yang diberikan oleh Allah kepada kami, jadi apapun itu kami akan menerimanya dengan senang hati,” Timpal Dendi sembari tersenyum. Sahda pun menghela napasnya dengan ringan, “Baba dan Umma pernah bilang terimakasih sama Sahda juga Sahra,” “Maksudnya?” tanya Dera. Sahda menarik tangan Umma nya, apapun yang dilakukan Sahda memang selalu terkesan manis. “Apakah Umma ingat, dulu Baba dan Umma pernah berterimakasih pada Sahda.” Risna mengangguk, Dendi dan Dera pun terlihat menyimak pembicaraan yang sedang Sahda lakukan. “Begini.. ‘Sahda, Sahra.. Baba sangat beruntung memiliki cinta dan kasih kalian, bahkan Baba sangat merasa menjadi orang tua teristimewa di dunia.” “Lalu aku bertanya pada Baba, ‘Apa yang membuat Baba merasa seperti itu?’ Lalu Baba menjawab, ‘Karena kalian,’ Aku terhenyak, begitupun Sahra.” Jelas Sahda. “Lalu baba mu jawab Apa?” tanya Dera kembali. “Baba berterimakasih pada kami, karena kami telah membantu Baba dan Umma untuk bersabar dan ikhlas menerima apapun yang Tuhan berikan. Bahkan Baba dan Umma pernah mengatakan bahwa karena kami lah mereka belajar, belajar menjadi orang tua yang baik walaupun seringkali Baba dan Umma merasa belum bisa menjadi orang tua yang sempurna.” “Tidak begitu Umma..” timpalnya kembali, “Bagi Sahda dan Sahra, Umma dan Baba adalah Orang tua yang sangat sempurna. Bahkan Umma dan Baba sangat istimewa, kami tidak pernah bisa membalas kasih sayang Umma dan Baba.” “Apalagi dengan apa yang sudah Baba dan Umma lakukan sedari kami lahir sampai saat ini,” Air mata Risna menetes, kalimat yang di ucapkan anaknya itu membuatnya merasa bersedih. Namun rasa bahagia karena mendengar sebuah kalimat manis semakin membesar, Risna sadar bahwa dirinya memang lah orang tua yang sangat beruntung karena sudah memiliki anak sebaik Sahda. Risna mengusap wajah anaknya, “Umma tidak boleh menangis, Sahda ingin sekali menjadi Umma juga Baba. Sahda ingin mendidik anak-anak Sahda dengan apa yang sudah Baba dan Umma berikan, dan sampai kapanpun Sahda tidak akan pernah melupakan satu persatu petuah yang diberikan oleh Umma maupun Baba.” “Umma sangat bahagia Nak, Umma berdoa agar kau dan Dendi memiliki kebahagiaan dalam berumah tangga. Ingat Nak, Doa Umma dan Umi Edah akan selalu menyertai kalian. Terimakasih sudah mau menerima Umma sebagai ibu mu.” “Sahda yang seharusnya berterimakasih Umma.” Dendi menoleh kearah belakang dimana Sahda dan Risna duduk di dalam mobil tersebut, “Umma, Dendi yang seharusnya berterimakasih kepada Baba maupun Umma.” Risna tersenyum, “Kenapa harus berterimakasih Nak Dendi?” Tanya Risna. “Karena Umma dan Baba sudah berhasil mendidik wanita yang kini menjadi istri Dendi,” jawab Dendi, “Dendi bahagia sekali Umma, Dendi yakin jika apa yang saat ini selalu Sahda lakukan terhadap Dendi adalah nasihat dan petuah yang diberikan Umma juga Baba.” Mata Dera menoleh kearah wajah Dendi, lalu ia menatap kaca penghubung antara dirinya dan Sahda. Dera tersenyum, “Bodoh sekali Fathur itu, wanita sebaik Sahda malah di sia-sia kan! Aku sudah menduga Den, kalau kau akan mendapatkan wanita sebaik Sahda. Eh Tuhan mendengar Doa ku,” Celetukan nya itu membuat Sahda dan Risna merasa terkejut, Dendi segera menepuk lengan Dera, lalu Dendi mengedipkan sebelah matanya. “Ummhh… Sorry Sahda. Bukan Maksud Mas Dera mau ungkit luka lama Sahda,” “Gak apa-apa kok Mas, lagian hal itu sudah terjadi dan mungkin akan teringat oleh siapapun yang mengetahuinya.” jawab Sahda, “Lagipula Sahda juga udah maafin Mas Fathur, dan Sekarang Sahda selalu mencoba untuk mengintropeksi diri Sahda agar tidak lagi terjadi kegagalan.” “Bukan kamu kok yang mau gagal Sahda, maaf sebelumnya Mas sudah tahu permasalahan di dalam pernikahan mu sebelum Dendi mengetahuinya. Bahkan jujur Sahda, akulah yang memberitahu Dendi.” ujar Dera. “Apakah itu betul Mas?” tanya Sahda. “Ya sayang, betul sekali.” Jawab Dendi sejenak, napasnya terasa berat. Dendi pun menoleh kearah istrinya, “Awalnya Mas ingin menyerah, tidak lagi mau mengejar mu. Tapi Mas harus lakukan itu Sahda, karena mantan suami mu tidak menepati janjinya padaku.” Terang Dendi. “Tapi sudahlah, anggap saja semua yang sudah terjadi telah selesai. Mas sudah tidak mau menjelaskan bahkan menceritakan semuanya.” Sahda mengelus pundak suaminya, “Ya sudah, kita bicarakan saja yang lain ya?” “Eh Den, maaf loh sebelumnya. Bukan maksud aku untuk..” “Sudahlah Dera, tidak perlu merasa tidak enak seperti itu. Aku tahu semua maksud mu baik,” “Iya Den, aku merasa tidak enak saja.” “Mas Dera gak usah gak enak gitu, lagian Sahda dan Mas Dendi juga gak apa-apa kok.” Dera tersenyum, “Umma, maafkan Dera ya.” “Tidak apa-apa Nak Dera, sudahlah tidak perlu lagi di bahas. Apalagi sampai membuat Nak Dera merasa tidak enak,” Dera mengganggukkan kepalanya, lalu mereka kembali melakukan perjalanan menuju tempat menginap yang baru. Dan di dalam perjalanan, mereka kembali berbincang seputar perjalanan yang sempat di lalui oleh mereka, bahkan Dera berperan penting sebagai orang yang sedang menjelaskan satu persatu pertanyaan Sahda mengenai Negara dan Kota di Turki. Dera pun menjelaskan satu persatu yang ia ketahui, bahkan Dera menjelaskan beberapa tempah bersejarah yang sempat ia datangi dan berjanji akan mengajak Dendi, Sahda dan Risna untuk menjelajahi tempat-tempat terbaik di Negara Turki. “Kalian masih lama kan disini?” tanya Dera. “Seminggu Der,” “Lah kok seminggu? Bukannya Lu nambah 2 minggu Cuti.” “Iya nambah, tapi kan aku mau enak-enak dan leha-leha dulu di rumah bareng Istri, mertua dan anak ku.” jawab Dendi, “Apalagi Umi sudah meminta hak nya untuk mengajak Sahda dan Umma Risna menginap di rumahnya,” terang Dendi kembali. “Oh gitu, Ya udah nanti kalau urusan gua udah beres disini. Gua susul elu kerumah Umi ya, sekalian ketemu Umi.” “Ya temui lah, Umi pasti sudah rindu berat sama kamu.” ucap Dendi. “Iya Abang Dendi. Gua juga kangen sama Umi.” “Bagus lah kalau rindu, Umi tuh selalu nanyain kamu.” “Gua suka telpon Umi kok,” “Mmmm, telpon tapi gak lama.” Protes Dendi. “Ya habisnya kan gua sibuk Den,” “Ngeless aja!” Dera terpekik dengan kalimat penutup yang diberikan oleh Dendi, Dera memang sosok anak asuh yang sangat di sayangi oleh Edah. Bagi Edah, Dera adalah anak keduanya setelah anak sulung satu-satunya yaitu Dendi. Walaupun Dera hanyalah seorang anak asuh, kasih sayang yang diberikan Edah padanya sama besarnya seperti yang diberikan Edah pada Dendi, anak kandungnya itu. “Der, aku cuma titip pesan sama kamu. Umi itu gak butuh apapun selain ditemui, Umi sangat menyayangi kamu. Umi selalu membanggakan kamu, Umi juga bilang katanya bahagia karena kamu udah jadi Dokter terbaik seAsia.” “Umi cerita kalau beliau merasa kecewa karena sewaktu pernikahan ku bersama Sahda kau tidak sempat untuk hadir, tapi aku mencoba memberikan pengertian pada Umi.” “Aku ingin sekali hadir Den, tapi saat itu, aku harus memberikan bimbingan pada Anggota Koas di Turki.” “Iya aku sangat mengerti Der, tapi setidaknya kau bisa menghubungi Umi.” “Maaf Jika aku menyakiti dan membuat Umi mu kecewa.” “Dera, beliau bukan hanya Umi ku. Tetapi Umi mu juga, bahkan kau dan aku memiliki tempat yang sama di hatinya.” “Aku mengerti Dendi, Umi selalu baik padaku. Walaupun sebenarnya aku hanyalah anak tiri yang menjadi anak asuh nya,” “Kau bukan saudara tiriku, kau juga bukan saudara asuh ku. Kau Adik ku Dera, kau akan selalu menjadi adik ku.” Dera merasa bersedih dengan kalimat yang di ucapkan oleh Dendi, Dendi memang sosok sahabat, kakak dan saudara yang baik untuknya. Dendi selalu menekankan bahwa dirinya akan selalu menjadi kakak yang baik untuknya, walaupun Dera selalu beranggapan bahwa dirinya hanyalah saudara Tiri atau Saudara asuh dari Dendi. Dendi menepuk bahunya, “Dengar, Darah itu tidak bisa di cuci oleh Air. Dan bagaimanapun kau adalah anak Abi, walaupun kita berbeda ibu. Tapi kau tetap anak Abi, kau dan aku memiliki tempat yang sama dihati Abi maupun Umi. Kau tidak berbeda, kita tetap Sama.” Matanya berkaca-kaca, ingin sekali rasanya Dera memeluk tubuh Dendi. Dan tanpa berpikir lama, Dera menghentikan laju pada kendaraan yang sedang ia kemudi. Lalu Dera menatap wajah Dendi dan memeluk tubuh sang kakak, “Terimakasih Den, terimakasih karena kau sudah mau menganggap ku sebagai adikmu.” “Sebenarnya aku malu, aku malu karena ibu ku..” Dera menangis di dalam pelukan Dendi, Dendi pun terlihat mengusap pelan punggung milik Dendi. “Ssssh, sudahlah. Semua sudah selesai dan yang sudah terjadi biarlah terjadi.” Tandas Dendi, “Jangan lagi beranggapan bahwa apapun kesalahan orang tua kita di masa lalu adalah penghalang kebahagiaan mu, jangan pernah lagi beranggapan bahwa Umi tidak menyayangi mu. Kau dan aku sama di mata Umi, tidak ada bedanya. Umi sangat mencintai dan menyayangi kita, Umi selalu mencintai kita.” lanjut Dendi kembali. “Aku bahagia memiliki mu Den, semoga Allah membalas semua kebaikan mu juga kebaikan Umi.” “Aamiinn Allahhuma Aamiin..” balas Dendi. Sahda tersenyum tipis, matanya berkedut menahan air mata yang akan segera turun itu. Bagaimanapun Sahda bangga dengan sikap yang di tunjukkan oleh suaminya, Dendi memang sangat dewasa, bahkan Dendi selalu memberikan kejutan indah di setiap waktunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN