"Ta, tolong dicek ya!" Ry yang duduk di seberang Tita menggeser laptopnya ke depan sang WO untuk menunjukkan pekerjaannya. "Ini konsepnya udah Ry revisi sesuai notes yang Tita forward kemarin."
Saat ini keempatnya tengah berkumpul di apartemen Gin, menghabiskan hari libur di tengah minggu yang tidak bisa dimanfaatkan untuk hal lain karena serba tanggung. Mau berlibur, masa hanya sehari? Mau tidur seharian, sayang juga. Mau kerja, rugilah!
"Ini yang mana, Ry?" Tita menanggapi lesu.
"Yang kawinan rasa ultahan anak TK itu," jawab Ry.
Vio segera menggeser duduknya ke dekat Tita dan mengintip layar laptop Ry. "Yang gue diminta bawain lagu-lagu theme song Disney?"
"Betul sekali!" Ry menjentikkan jarinya di depan muka Vio. "Vio cerdas!"
"Oh … oke." Tita mengangguk kecil, wajahnya terlihat tanpa ekspresi.
Vio menjawil pipi Tita. "Lo kenapa datar banget responnya?"
"Gapapa."
"Pusing palingan dia," celetuk Mia pelan.
"Seorang Tita bisa pusing?" ujar Ry sok dramatis.
Vio menunjuk layar laptop Ry. "Kalo permintaannya ajaib begini, yakin gue kelakuan kliennya model ibu hamil yang lagi birahi tinggi tapi enggak dapet-dapet jatah terus kena sakit gigi."
"Hah?!" Ry mendelik bodoh, tidak paham maksud Vio. Wajarlah, pacaran saja belum pernah, mana mengerti anak ini soal urusan sepasang manusia.
"Maksud gue kebayang rewelnya kayak apa," ujar Vio lagi agar Ry paham.
"Hoo ...." Ry manggut-manggut bodoh.
Vio mencolek pipi Tita yang sejak tadi tidak menanggapi celoteh mereka, padahal biasanya kalau sudah berkumpul tidak ada yang bisa mengerem bicara. "Lo lagi pusing gara-gara pasangan ini rese banget ya?"
"Rese doang udah biasa. Tita itu pusing karena nikahan mereka terancam batal," celetuk Mia santai, tapi seketika membangkitkan rasa penasaran yang lain.
"Hah? Really?!" seru Vio dengan wajah kepo.
"Ta?" panggil Ry kalem, tapi matanya jelas menyiratkan pertanyaan.
"Uy?" sahut Tita datar.
"Kita nunggu," ujar Ry lagi.
"Nunggu apa?" ujar Tita berlagak pilon.
"Penjelasan lo, dong!" tuntut Vio tidak sabaran.
Tita menggeleng lesu. "Aku males bahas."
Jarang-jarang Tita menunjukkan sisi dirinya yang seperti ini. Belum tentu sekali dalam setahun terjadi. Kalau sampai demikian, itu artinya Tita sedang benar-benar gundah.
"Kenapa, sih? Sikap lo mencurigakan, deh!" desak Vio terus.
Melihat Tita yang kusut, Mia segera menengahi. "Udah jangan diganggu."
"Mbak Mia juga mencurigakan, ah! Kasih tau dong!" protes Vio jengkel.
Mia mengangkat bahunya. "Tita enggak mau kalian tau."
"Ta, mulai rahasia-rahasiaan nih?" bujuk Ry.
"Bukan gitu. Aku cuma males aja ingetnya."
"Tapi kayak gini juga lo otomatis udah inget, kan?" cecar Vio.
"Iya, sih," aku Tita.
"Ya udah makanya cerita!" ujar Vio gemas.
Tita menyerah. Vio dan Ry tidak akan melepaskan dirinya sampai ia bercerita. "Calon pengantin ini aneh banget. Yang cewek manjanya ampun-ampun."
"No wonder! Liat aja seleranya yang childish banget."
"Tapi yang cowok cueknya enggak ketolongan."
"Biasa kan kayak gitu?" balas Ry.
Tita menggeleng cepat. "Ini cueknya menjurus ke ogah-ogahan, enggak peduli, dan enggak mau tau."
"Terus urusannya sama lo apa?" tanya Vio bingung.
"Si cowok dengan sablengnya ngomong di depan ceweknya kalo dia lebih mending disuruh kawin sama Tita daripada sama cewek itu."
"Hah?!" Ry melongo.
"Lo kenal cowok itu?" tanya Vio curiga.
"Enggak!" sahut Tita cepat.
Vio masih menatap curiga. "Terus?"
"Aku juga enggak ngerti!" seru Tita sebal. Kalau saja ia mengerti alasan Kaivan bicara seenaknya minggu lalu, mungkin Tita bisa mencari jalan keluar dari tuntutan Vina yang tanpa ampun sejak beberapa hari lalu.
"Berisik banget, Sha!" tegur Gin dari pintu kamarnya.
"Bangun juga lo akhirnya." Bukan Tita yang menyahut, tapi Vio.
"Ngapain pada di sini?" tanya Gin judes.
"Menurut lo?" balas Vio tidak kalah judes.
Gin malas menanggapi Vio, ia beralih pada Tita. "Sha, ngapain pada di sini?"
"Mau meeting. Kita ada event bareng." Tita tidak bohong. Rencananya mereka memang ingin membahas sedikit tentang acara pameran tiga bulan mendatang, tapi yang terjadi malah mereka belum juga mengerjakan apa-apa selain bergosip.
"Terus ngapain meeting di sini?"
"Enggak boleh?" Lagi-lagi Vio yang menyahut.
"Ini apartemen gue woy! Bukan apartemen dia! Seenaknya aja ngejajah tempat orang," balas Gin dongkol. Tidur nyenyaknya terganggu akibat kecerewetan para perempuan ini, terutama Vio yang suaranya paling keras dan selalu meninggi.
"Pelit lo! Biasa juga enggak masalah," sahut Mis santai.
"Biasa gue khilaf, Mbak. Sekarang udah sadar."
"Maksud lo?" tanya Ry bingung.
"Kalian ini kalo udah ngumpul nyeremin." Gin bergidik ngeri. Jelas ini didramatisir. "Gue serasa jadi pengungsi di tempat gue sendiri."
"Ya udah lo pergi aja biar enggak pusing liat kita di sini," usir Vio kejam.
Gin menggeleng tidak percaya. "Sha, gue di ruang recording aja. Jangan masuk. Jangan panggil gue kalo enggak ada yang penting."
Setidaknya ruangan itu memiliki peredam suara dan pastinya cukup mampu menangkal keberisikan keempat perempuan yang menjajah apartemen Gin.
"Oke!" sahut Tita patuh.
Begitu Gin menghilang, Ry bertanya. "Tadi sampe mana?"
"Lupa," sahut Mia.
"Gara-gara si Gin, sih!" ujar Vio gemas.
"Oh, sampe calon yang cowok bilang mending kawin sama Tita," ujar Ry.
"Ah, bener!" sambut Vio. "Terus, terus gimana reaksi si cewek?"
Belum sempat Tita menjawab, Mia sudah menyambar penuh jengkel. "Langsung meledaklah dia. Vas bunga gue aja jadi korban."
Ry mendelik. "Dia ngamuk di ruangan Mbak Mia?"
"Bukan. Di mana-mana. Di lorong, di ruang tunggu, di lobi. Sambil lari-lari ngejar lakinya ala Bollywood, tapi perang-perangan ala Hollywod," jawab Mia.
"Wah, parah!" desis Vio kagum. Sayang ia tidak di sana untuk menyaksikannya secara langsung.
"Emang parah." Mia mengangguk kencang. Ia saja yang saat kejadian sedang di lantai atas, sampai berlari turun saking rusuh dan ramainya pertengkaran itu. Ada teriakan, ada u*****n, ada suara barang dibanting, ada yang pecah pula. "Si cewek ngirain cowoknya ada main sama Tita. Dia ngamuknya anarkis banget. Kalo enggak diseret sama cowoknya, ancur tuh Lumiere."
Vio mendelik tidak percaya. "Minta ganti rugi?"
Mia mengedik angkuh. "Aku sih enggak minta, tapi si cowoknya sendiri yang kirim cek buat ganti kerugian di Lumiere."
Ry berkedip senang. "Cukup?"
Mia mengangguk dramatis. "Cukup banget."
"Lebih?" tanya Vio.
"Banget."
"Dibalikin?" tanya Vio lagi.
"Dia nolak."
"Asek! Bagi-bagi!" seru Ry senang. Berharap dirinya kecipratan rejeki sebagai ajudan Mia.
"Ngawur!" gerutu Mia. "Pikirin dulu urusan Tita. Kasian dia diteror terus tuh."
Lagi, ucapan Mia memancing rasa penasaran yang lain. Vio yang rada gosipnya lebih kencang, langsung bertanya. "Diteror gimana?"
"Udah berapa lama?" Ry membeo.
"Ta?" Mia menepuk pundak gadis yang sejak tadi lebih banyak diam.
"Semingguan."
"Ngapain aja dia?" tanya Vio.
"Awalnya marah-marah di telepon. Aku jelasin baik-baik, enggak mau ngerti juga. Telepon-telepon terus, lama-lama aku cuekin. Mulai dia spam chat. SMS juga. Enggak ditanggepin juga, dia telepon ke Luminous, kirim email juga."
Ketika masalah ini mulai sampai ke ranah kantor, di situlah Tita kebat-kebit. Tinggal menunggu waktu sampai Erwan tahu dan habislah Tita.
Vio memicingkan mata. "Lo enggak jelasin ke dia?"
"Udah. Aku udah jelasin pas telepon pertama dia itu. Aku udah bilang, kenal sama calon suaminya aja enggak. Dia tetep enggak percaya."
Vio langsung bersiul. "Perlu gue turun tangan?"
Tita berkedip ngeri. Kalau Vio sudah bertindak, bisa panjang urusannya. Bisa-bisa pakai cara bar-bar Vio ini. Perempuan itu jago bela diri, tapi lebih jago lagi menabok, mencakar, menjenggut, dan mengigit. Pakai cara resmi, Vio banyak kenalan orang hukum. Tinggal pilih saja mau yang mana.
"Bilang, Ta. Biar gue yang maju," ujar Vio tidak sabar.
"Jangan!" Tita menggeleng panik.
"Kenapa?"
"Enggak mau aja cari masalah. Biar gimana kan dia klien."
"Kalo jadi. Kalo batal?" sahut Vio kejam.
"Jangan gitu dong! Nasibku terancam kalau sampe batal."
Belum sempat mulut pedas Vio menyahut lagi, konsentrasinya segera terganggu melihat penampakan Gin.
"Mau ke mana, Gin?" Tita bertanya tidak enak. Mungkinkah mereka terlalu berisik sampai Gin harus pergi? Dari tampilannya, Tita tahu Gin pasti mau keluar.
"Katanya mau diem di kamar terus," sindir Vio gatal.
"Kabur!" desis Gin jengkel. "Berisiknya kalian enggak ketolong."
"Sana pergi! Jangan inget pulang!" usir Vio.
Gin tidak menanggapi, hanya berjalan melewati mereka di ruang tengah lalu bertanya sebelum mencapai pintu. "Kalian mau sampe jam berapa di sini?"
"Belum tau," jawab Mia.
"Enggak dicariin sama laki masing-masing emangnya?" sindir Gin.
Vio mendelik kesal lalu menyahut galak. "Lo ngajak ribut, Gin?"
"Tau, ah! Sha, gue pergi!"
"Stop bahas soal klien rese ini ya." Begitu Gin pergi, Tita mencoba mengalihkan fokus pembicaraan. Jengah terus membahas pasangan 537 yang Kham Vred itu. "Mending fokus sama acara kita aja, oke?"
"Oke!" sambut Ry ceria.
Sebelum Vio membelokkan pembicaraan lagi, Tita segera menyetirnya. "Kita jadi bikin satu booth gede buat kolaborasi?"
Kalau sudah begini, biasanya mereka akan serius dengan sendirinya.
"Mending gabung atau tetap misah-misah, sih?" sahut Mia.
"Plus minus kalo menurut aku," jawab Tita. "Buat yang cari praktis, liat dalam satu booth ada kita rame-rame mereka pasti happy. Tapi buat yang pertimbangan utamanya biaya, disodorin booth gede langsung ciut dulu sebelum masuk."
"Kalo dari segi harga gimana?" tanya Ry. Dia yang paling buta soal hitung-hitungan budget.
"Sebenernya berimbang. Yang all in lebih up dikit, tapi terima beres. Yang lepasan mungkin bisa lebih low, tapi pasti ubek-ubeknya cape banget," ujar Tita.
"Kalo menurut gue enggak masalah gabungan. Toh selama ini pangsa pasar kita emang menengah atas. Mereka tipe yang enggak masalah sama uang," usul Vio.
"Ry juga setuju!"
Mia mengangguk setuju. "Tinggal kita tonjolin aja benefit buat mereka apa. Pasti kepincutlah."
Tita mengangguk semangat. Kesibukan bisa membuatnya teralih dari si Vina. "Oke, aku coba konsepin ya."
Saat mereka tengah menyusun konsep untuk pameran gabungan nanti, tiba-tiba sosok Gin muncul lagi.
"Udah balik lagi aja dia," gumam Mia.
"Lo ngapain sih bolak-balik enggak jelas?" tanya Vio sebal.
"Masalah?" sahut Gin.
"Katanya kabur," ejek Vio. "Mana ada orang kabur sekejap gitu."
"Berisik!" Gin mendengkus sebal, berjalan melewati mereka menuju pantry sambil mengacungkan kresek hitam di tangan. "Ta, makan!"
Tita melirik sekilas lalu tersenyum lebar. "Thanks!"
"Buat Tita doang?" tanya Vio tidak percaya.
Gin mengangkat bahu. "Enggak bawa duit."
"Terus itu?"
"Kasbon."
"Kenapa enggak sekalian kasbon buat kita?" tanya Vio tidak puas.
"Gue enggak tau selera kalian."
"Selera Tita lo tau?"
"Tau."
"Lo yakin dia bakal makan yang lo beliin."
"Yakin."
"Pede banget lo!" sembur Vio.
"Kenapa juga lo yang repot sih?" sahut Gin sebal.
"Sebel aja. Lo cuma beliin buat Tita. Padahal jelas-jelas orangnya banyak."
"Sekarang gue tanya. Emang kalian suka kalo gue beliin nasi pake balakutak, sambel pete, sama tumis genjer?"
Vio mendelik sempurna. Ucapan Gin terdengar bagai rapalan mantra super gaib di telinganya. "Makanan apaan tuh?"
Mia terkekeh. Sebagai warga tanah Sunda, ia tidak asing dengan masakan yang Gin sebutkan. "Kamu kenal makanan kayak gitu, Gin?"
"Kenal, Mbak."
"Balakutak apaan sih, Mbak?" tanya Ry penasaran.
"Itu, cumi yang dimasak bareng tintanya, warnanya hitam semua." Mia menjelaskan.
"Buset makanan lo aneh amat!" sembur Vio kaget.
"Bukan aneh. Selera kalian aja yang ketinggian. Kalo Tita, seleranya sama kayak gue," jawab Gin santai.
"Muka impor, lidah ndeso!" ujar Vio takjub.