13. Pelakor

2764 Kata
"Kemari, Ta!" panggil Erwan dengan nada ketus ketika Tita melangkah masuk ke ruangan si bos. Melihat sikap Erwan, Tita langsung waspada. Adakah ia buat sesuatu yang salah? Karena kalau sudah disuguhi sikap sedemikian ketus, tidak jauh-jauh penyebabnya. Paling-paling Tita habis bikin salah. Perlahan Tita mendekat lalu berdiri ragu di depan meja Erwan. Kalau lagi begini rasanya serba salah. Mau duduk takut disemprot. Berdiri juga belum tentu aman.  "Ta, bisa jelaskan apa ini?" Erwan menghadapkan layar monitor komputernya ke arah Tita dan memperlihatkan deretan email yang masuk ke admin Luminous dari satu pengirim yang sama. Pria ini sampai mau pecah kepala ketika memeriksa email satu per satu. Sudah pengirimnya sama, isinya pun tidak ada beda. Ditanya begitu oleh Erwan, Tita membisu. Benar sudah dugaannya! Padahal rasanya baru kemarin si bos memanggilnya karena ia berbuat salah, belum juga lewat satu bulan Tita sudah kembali disidang oleh Erwan.  "Ada apa, Latisha?" tanya Erwan tidak sabar. Kalau nada humor dalam suara Erwan menghilang, serta ekspresi nyeleneh di wajahnya berubah keruh, ditambah lagi si bos menyebut nama panjangnya. yakinlah ini merupakan pertanda buruk. Tita masih diam. Sedang berusaha menghitung banyaknya email yang masuk atas nama Vina, Vina, Vina. Mau muntah rasanya Tita melihat nama itu satu pekan terakhir. "Saya sudah pernah bilang sama kamu, Ta. Kerja di industri ini harus profesional,” ujar Erwan tegas. “Jangan libatkan perasaan. Kalau memang kamu pernah punya masa lalu dengan klien, lebih baik sejak awal jangan terima project-nya. Kasih sama anak lain. Kalau begini jadi runyam, Ta." “Tita enggak ada cerita apa-apa sama klien ini, Mas,” bantah gadis itu lelah. “Buktinya?” Erwan menunjuk layar monitornya sambil tersenyum sinis. "Mas, tolong dong percaya sama saya,” balas Tita mulai jengkel. “Saya enggak ada hubungan apa-apa sama Pak Kaivan. Kenal pun bahkan enggak." Tita ini memang biasanya cuek dan santai. Dimarahi pun tak pernah ambil pusing, tapi kalau dipersalahkan atas sesuatu yang tidak dilakukannya, apalagi dituduh merebut kekasih orang lain, Tita juga bisa tersinggung.  "Tapi kenapa mereka bisa bertengkar hebat gara-gara kamu, bahkan sampai membatalkan pernikahan?" Kalau saja teror dari Vina tidak sedemikian gencar, Erwan juga tidak akan ambil pusing. Masalahnya sekantor-kantor jadi ikut terkena imbas. Setiap saat telepon berdering dari Vina dan antek-anteknya, belum lagi ratusan email yang masuk. Semuanya untuk satu tujuan yang sama, mengadukan Tita dan menuntut pertanggungjawaban atas batalnya pernikahan Vina dengan Kaivan. "Kita rugi berapa, Mas? Masih bisa saya cicil?" tanya Tita datar. Dia sudah muak berusaha meluruskan masalahnya pada Vina. Sampai berbusa mulutnya, perempuan manja nan egois itu tidak kunjung mendengarkannya. "Bukan soal kerugiannya, Ta! Kaivan Liem enggak minta uangnya kembali sepeser pun, bahkan dia bersedia memberi kompensasi," tutur Erwan geram. "Yang jadi masalah, ada apa sebenarnya? Apa kamu sudah enggak bisa lagi bersikap profesional?" Andai ini hanya masalah uang seperti kejadian yang lalu, Erwan dengan mudah bisa pasang badan untuk Tita. Lain soal kalau masalahnya Tita dibilang sebagai perusak hubungan orang. Ini sudah di luar kuasa Erwan sebagai atasan. "Mas, bisa enggak kasih Tita waktu buat clear-in semua masalah ini?" "Kamu mau apa?" tanya Erwan curiga. "Pokoknya saya minta waktu. Kalau gini, nama Tita jadi jelek dan Tita enggak terima!" Sesungguhnya Tita juga belum tahu mau apa dia dengan Vina yang ngototnya tidak tanggung-tanggung itu. Namun, ia tidak bisa diam saja dan membiarkan Vina merusak nama baiknya yang sebenarnya tidak baik-baik amat. Erwan mengamati wajah Tita dan melihat keseriusan di sana. "Oke, saya kasih waktu. Saya tunggu penjelasan kamu secepatnya." Keluar dari ruangan Erwan, Tita termenung di toilet. Mungkin ada barang 30 menit ia semedi, memikirkan langkah yang harus ditempuhnya. Setelah menimbang dengan otaknya yang pas-pasan, Tita memantapkan hati mengambil langkah berani. Tanpa berkonsultasi dengan siapa-siapa lagi, Tita langsung berangkat menuju alamat kantor Kaivan yang tertera di data diri calon klien. Bersama siapa? Tentunya babang ojol tersayang andalan Tita yang selalu setia menemani kapan saja di mana saja. Tiba di kantor Kaivan, dengan percaya diri Tita langsung mencari tahu keberadaan pria itu tanpa bertanya. Ia hanya berkeliling membaca sign saja. Berdasarkan pengalaman, sulit menemui orang tanpa membuat janji, apalagi dirinya yang hanya butiran pasir di balik keset WELCOME. Jadi, Tita terbiasa bergerilya dan pada umumnya selalu berhasil. "Saya mau ketemu dengan Bapak Kaivan Liem,” ujar Tita saat sudah menemukan lantai direksi dan berhadapan dengan sekretaris Kaivan. "Dengan Ibu siapa dan dari perusahaan mana?" balas wanita itu dengan sikap profesional. "Tita, dari Luminous Wedding Organizer," jawabnya penuh percaya diri. Ingat, jangan gugup! Harus ekstra percaya diri jika tidak ingin diremehkan. Sang sekretaris yang cukup cekatan ini berusaha mengingat jadwal bosnya, tapi ia merasa asing dengan nama yang meluncur dari mulut gadis di hadapannya. "Sudah buat janji, Bu?" "Sudah." "Saya cek dulu ya, Bu." Sekretaris Kaivan menunduk memeriksa jadwal, lalu menggeleng penuh sesal. Ia tidak salah ingat. Memang tidak ada janji temu dengan gadis ini. "Bu, maaf. Di sini tidak ada catatan kalau Bapak Kaivan ada janji dengan Ibu Tita." "Mungkin Pak Kaivan lupa bilang," sahut Tita enteng. "Tapi-" "Saya akan tunggu di sini," potong Tita cepat. Ia berdiri bak patung minyak fortuna yang membuat mata sekretaris Kaivan iritasi mendadak. "Saya coba tanya Pak Kaivan dulu," ujar sekretaris Kaivan setelah 10 menit berlalu dan Tita tetap berdiri di hadapannya tanpa niat beranjak sedikit juga. Ajaibnya, begitu mendengar kedatangan Tita, Kaivan langsung mengizinkan gadis itu menemuinya tanpa banyak tanya. Sungguh di luar perkiraan sang sekretaris. “Permisi, Pak …,” sapa Tita ragu ketika diantarkan masuk ke ruangan Kaivan. “Masuk,” balas Kaivan dengan nada yang tidak tertebak. Entah kesal entah biasa saja. “Maaf mengganggu ya, Pak.” Sudah berhadapan begini, barulah Tita dilanda rasa tidak enak. Baru terpikir olehnya mungkin saja Kaivan akan kesal akibat ulahnya. “Kamu di sini mau lama atau sebentar?” “Eh?” Tita kebingungan dengan pertanyaan Kaivan. “Kalau berniat lama, silakan duduk.” Kaivan menunjuk sofa di tengah ruangan yang terlihat nyaman. “Kalau cuma sebentar, berdiri saja tidak masalah.” Setelah menimbang beberapa saat, Tita memutuskan untuk duduk. Melihat tamunya duduk, Kaivan ikut pindah dan mengambil posisi di seberang gadis itu. "Ada apa datang ke sini? Saya sudah kirim surat pernyataan kalau pernikahan dibatalkan. Urusan biaya juga sudah selesai. Tidak ada kerugian untuk pihak Luminous,” ujar Kaivan ketika melihat Tita kebingungan memulai percakapan.  Tita hanya menggeleng kecil mendengar ucapan bernada arogan itu. Sangat khas dan konsisten. Kaivan si angkuh. Maklum saja, turunan konglomerat. Kalau saat di Lumiere sikap Kaivan seolah hangat pada Tita, itu semua pasti hanya pura-pura semata untuk membuat Vina kesal. Tapi tenang, seorang Tita tidak akan tersinggung hanya karena sikap semacam ini. "Bapak enggak ngerasa perlu ngejelasin sesuatu sama saya?" balas Tita dengan suara dibuat sesantai mungkin.. "Maksud kamu?" tanya Kaivan curiga.  "Bapak seenaknya bawa-bawa nama saya sebagai alasan pernikahan Bapak batal. Apa Bapak enggak ngerasa hutang penjelasan sama maaf ke saya?" "Penjelasan okelah, tapi kalau maaf untuk apa?" "Bapak enggak tau kalo calon istri Bapak neror saya terus-terusan? Enggak pagi, enggak siang, enggak malam, enggak tengah malam, enggak subuh! Calon Bapak itu telepon saya, chat, SMS, bahkan kirim email dan telepon ke Luminous juga!" Mengingat kerusuhan yang Vina buat, dongkol Tita kembali kumat dan lupalah ia pada rasa sungkannya terhadap Kaivan.  "Serius?" Kaivan tercengang. Tidak disangkanya Vina akan bertingkah sedemikian memalukan. Dikiranya Vina hanya kekanakan, tahunya tidak tahu diri. "Nama saya jadi jelek gara-gara Bapak tau! Saya dikira tukang tikung, bikin rusak hubungan orang sampe batal nikah! Padahal sumpah ya, kenal juga enggak sama Bapak!" sembur Tita dongkol. "Serius kamu? Vina sampai begitu?" ulang Kaivan lagi. Ia tahu Vina memang aneh dan menyebalkan, kekanakan juga berlebihan, tapi tidak dikiranya sampai sedemikian parah. "Bapak enggak kenal calon istri sendiri? Berapa lama pacaran sih? Masa enggak tau adatnya? Heran!" sindir Tita ketus. Sikap Kaivan yang berlagak polos membuat Tita jadi sebal. "Saya memang enggak kenal sama Vina, dan enggak pernah pacaran." "Becandanya enggak lucu, Pak!" Tita mendelik galak. "Saya serius, Ta. Kami ini dijodohkan. Saya enggak ada niat nikah sama dia," sahut Kaivan sungguh-sungguh. "Halah! Alasan basi, Pak! Hari gini masih main jodoh-jodohan! Cari alasan yang lebih masuk akal kalo mau bohongin saya." Tiba-tiba Kaivan tertawa sendu. Sikap angkuhnya yang sejak awal ditunjukkan, perlahan luntur. “Memang enggak masuk akal kan hari gini masih pakai perjodohan.” “Eh? Bapak serius?” tanya Tita terkejut ketika melihat sorot lelah di mata Kaivan. Lalu setelahnya, Tita tidak bisa menghentikan rentetan pertanyaan yang keluar begitu saja dari mulutnya. “Emang Bapak enggak bisa cari pasangan sendiri? Bapak enggak laku? Atau jangan-jangan Bapak sukanya sama yang sejenis, ya?” Seketika itu juga Kaivan tergelak kencang. “Eh? Malah ngakak?” Melihat perubahan suasana hati Kaivan yang naik turun secepat itu, Tita hanya bisa melongo. “Bapak kenapa, sih?” “Astaga, kamu lucu banget!” Kaivan terus saja tertawa. “Sebentar, saya masih mau ketawa.” Meski tidak paham di mana letak kelucuannya, Tita menunggu sampai Kaivan menyelesaikan tawanya. “Udah?” Kaivan mengangguk lalu menatap Tita serius. “Ta, saya ini dijodohkan bukan karena saya enggak bisa cari pasangan sendiri, atau karena saya penyuka sesama jenis, tapi demi kepentingan bisnis.” Entah mengapa rasanya Kaivan ingin berbagi cerita ini pada Tita. Mungkin karena gadis itu ternyata polos, konyol, dan cablak. Tidak palsu seperti gadis-gadis penuh pencitraan yang biasa ditemuinya. “Bapak mau bangkrut?” terka Tita.  “Hah?” Kaivan melongo. “Kenapa tiba-tiba membahas masalah bangkrut?” “Kan kalo di novel sama drama biasanya gitu, Pak. Keluarga berduit, mau bangkrut, dibantu sama rekan bisnis dengan syarat anaknya dijodohin.” Kembali tawa Kaivan pecah berderai demi mendengar tanggapan konyol dan ajaib yang keluar dari mulut Tita. T “Malah ngakak lagi!” sembur Tita. “Aduh, kamu ini! Isi kepala kamu unpredictable, Ta.” Kaivan sampai menyeka sudut matanya karena tertawa terlalu heboh. Belum pernah ia menemukan gadis selucu Tita yang mampu membuatnya tergelak tanpa maksud ingin melucu, dan itu semua membuat sikap angkuh dan ketus yang biasa Kaivan tunjukkan berangsur menghilang. Sikapnya mulai lebih santai dan ramah. “Jadi bukan bangkrut?” tebak Tita.  “Bisnis keluarga saya baik-baik aja, Ta. Enggak lagi menuju bangkrut. Keluarga Vina juga.” “Terus?” “Buat orang yang sudah terbiasa punya banyak harta dan aset, menanggung kehidupan keluarga lain yang jauh berbeda itu jadi seperti beban. Ada kekhawatiran akan digerogoti dan dimanfaatkan. Lebih baik mencari yang levelnya berimbang supaya semua sama-sama nyaman. Tidak perlu takut akan digerogoti, malah bisa menambah aset.” “Intinya demi uang?” Kaivan mengembuskan napas perlahan kemudian mengangguk kecil. “Kira-kira begitu.” “Enggak perlu cinta?” tanya Tita polos. “Cinta? Enggak penting. Itu kata orang tua saya,” jawab Kaivan disertai senyum miris. “Mereka menikah tanpa saling cinta, sampai hari ini juga biasa saja, tapi berhasil saling jaga, saling menghormati, saling dukung, dan yang pasti saling menopang dalam urusan bisnis.” “Wow!” Mata Tita melebar takjub. “Saya baru pernah tau. Ternyata begitu.” “Enggak semua begitu, tapi rata-rata ya seperti ini.” “Jadi Bapak bakal tetap batal nikah?” “Hm.” Kaivan mengangguk tenang. “Emang boleh?” “Sama siapa?” “Ya sama keluarga kalian.” “Keluarga saya enggak terlalu masalah, keluarga Vina yang belum bisa terima. Ide perjodohan ini memang awalnya datang dari keluarga Vina. Keluarga saya cuma mendukung saja karena melihat saya belum juga berniat menikah sampai sekarang.” “Jadi sekarang orang tua Bapak enggak maksa lagi?” “Setelah runyam begini, mereka akhirnya mau mendengarkan saya, dan beruntung mereka enggak memaksa lagi.” “Oke, deh! Semoga masalah Bapak cepat selesai.” Hanya itu yang perlu Tita tahu, kebenaran bahwa ini memang murni kesalahpahaman belaka. “Maaf jadi buat kamu terseret dalam urusan saya dan Vina.” Tanpa Kaivan sadari, kata maaf itu terucap juga. “Gapapa, Pak. Saya sih udah biasa dapet masalah. Yang penting saya tau alasan Bapak bertindak begini. Kalau gitu saya permisi, Pak.” Tita melenggang dengan perasaan ringan meninggalkan ruangan Kaivan. Ia sudah mendapatkan bukti ketidakbersalahannya. Tanpa sepengetahuan Kaivan, Tita merekam percakapan mereka. Bukan untuk tujuan buruk, hanya ingin membersihkan namanya di hadapan semua orang kantor. Namun, rupanya Tita sedang tidak mujur siang itu. Saat hampir meninggalkan lobi kantor Kaivan, tiba-tiba saja sosok perempuan yang paling sedang dihindari oleh Tita tiba-tiba muncul. "Bagus! Ternyata lo beneran di sini! Enggak salah feeling gue!” teriak Vina tanpa malu sambil menunjuk ke arah Tita, padahal mereka tengah berada di lobi dengan banyak mata. Mana jarak mereka masih cukup berjauhan, sontak orang-orang celingukan dan merasa tertarik melihat drama siang gratisan ini. "Kamu ke sini cari saya atau mau ketemu Pak Kaivan?" sahut Tita berusaha ramah. "Gue mau mergokin kalian berdua!" hardik Vina. "Mergokin gimana maksud kamu?" "Gue mau buktiin kalo lo beneran pelakor!" Suara Vina semakin menggelegar saja. "Tiap gue hubungin berani-beraninya bantah, kenyataannya lo nyosor juga!" Untung Tita sedang siap siaga, hingga tidak dilanda latah aneh-aneh. Sikapnya bahkan cenderung tenang dan bijak. "Vin, semua ini salah paham. Bisa enggak bicara baik-baik? Malu kalo kamu teriak-teriak begini. Semua orang liatin." "Biar! Bukan gue yang malu! Di sini statusnya yang salah tuh lo! Lo yang ngancurin hubungan gue sama Mas Kaivan!" "Kalo emang kamu enggak bisa bicara baik-baik, mending kita enggak usah bicara sama sekali. Saya harus pergi, banyak kerjaan." Sejak kejadian di Lumiere minggu lalu, entah sudah berapa kali Tita menjelaskan pada Vina bahwa tidak ada apa-apa di antara dirinya dan Kaivan. Namun, gadis agresif itu tidak mau mengerti. Awalnya Tita tanggapi dengan sabar, lama-lama ia abaikan juga. Dan ngerinya, semakin hari semakin menjadi saja teror dari Vina. “Ngumpet aja terus! Begini nih kalo udah kepergok salah! Cuma bisa menghindar!" "Vin, berapa kali aku mesti jelasin kalo aku enggak ada hubungan apa-apa sama calon suami kamu." "Basi tau enggak lo!" "Kenapa sih kamu enggak mau percaya? Apa cuma karena omongan calon kamu waktu di Lumiere?" "Itu bukan cuma! Itu udah nunjukin semua!" jerit Vina histeris. Tita menggeleng miris. "Kamu susah banget ya dikasih pengertian." "Maksud lo gue bebal?! Denger baik-baik! Mas Kaivan mutusin pertunangannya sama gue gara-gara lo. Terus lo berharap gue percaya waktu lo bilang kalian enggak ada apa-apa. Gitu?" serang Vina terus. "Hello! Gue enggak b**o kali. Biar kata otak gue pas-pasan, masih bisa dipake buat mikir. Apalagi buat ngedeteksi cewek pengerat kayak lo!" "Sekarang gini deh, Vin. Kasih tau aku kamu mau apa?" "Lepasin Mas Kaivan!" "Astaga, Vin! Apa yang mau dilepasin kalo dipegang aja enggak pernah? Aneh, deh!" sahut Tita capek hati. "Susah ngomong sama batu kayak kamu." "Berani lo ngatain gue?!"  Tita sudah menyerah. Ia menggeleng pasrah kemudia memutuskan pergi meninggalkan Vina saja. Percuma diteruskan juga. Bikin capek saja. "Jangan pergi lo!" Melihat Tita melenggang meninggalkannya, Vina semakin murka. Ia menerjang maju untuk memukul Tita dari belakang, tapi sayang gadis itu lebih gesit. Sebelum Vina sempat mengenai punggungnya, Tita bergeser ke samping dan membuat Vina ngusruk. Melihat Vina mendarat sempurna di lantai granit yang mewah milik lobi kantor Kaivan, Tita cuma melongo. Ternyata tidak ada bedanya antara rakyat biasa dengan kelas atas. Kalau jatuh ya sama-sama ke bawah. Kalau jatuh ya sama-sama berdebam juga. Dan kalau jatuh di hadapan puluhan pasang mata manusia ya ekspresinya jelek-jelek juga. Dan lagi, kalau sudah begitu ujung-ujungnya malu juga. Campuran antara rasa sakit di lutut juga rasa malu membuat Vina berang. Ia bangkit dengan penuh amarah, bersiap kembali menerjang Tita. "b******k!" "Vina, cukup! Jangan buat keributan di sini!" Sayangnya, Kaivan tiba-tiba berdiri menghadang. Jangan bayangkan kalau Kaivan menahan pinggang Vina, atau memegangi bahu untuk menahannya. Kaivan menghentikan Vina dengan cara mendorong kening gadis itu.  Tahu jurus kamehameha di serial Dragon Ball? Tahu waktu Goku menahan tangannya setelah melepaskan jurus itu? Begitulah cara Kaivan menahan kepala Vina hingga gadis itu terpental. Untung ada bapak satpam yang baik hati menahan Vina hingga tidak sampai jatuh lagi. Kalau tadi ngusruk dan lutut korbannya, yang sekarang pasti terjungkal dang bokongnya jadi korban. Setelah yakin telah mengamankan Vina, Kaivan menoleh ke belakang untuk memeriksa keadaan Tita. "Kamu enggak apa-apa?" "Saya gapapa, Pak.” Tita menggeleng santai kemudian mengedik ke arah Vina. “Harusnya Bapak tanya sama dia, dia yang jatoh tuh. Jangan salahin saya ya, asli saya enggak ngapa-ngapain loh." "Iya, saya juga lihat." Sejak awal Vina memulai keributan, Kaivan sudah menerima laporan dan ia bergegas turun. Begitu sampai di bawah, ia menyaksikan sendiri bagaimana liarnya Vina meneriaki Tita yang menanggapi dengan cuek. "Baguslah.” Tita mengangguk tenang. Yang penting dirinya tidak kembali disalahkan. Soal hubungannya dengan Vina yang pasti rusak, Tita tidak peduli lagi. Toh gadis itu bukan kliennya lagi sekarang. “Saya pergi ya! Beresin deh masalah kalian, plis jangan libatin saya lagi, idup saya udah susah enggak perlu ditambahin sama urusan kalian. Oke, oke?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN