"Lo ngapain duduk di sini?” Gin bertanya heran dari atas motornya ketika melihat Tita duduk di trotoar pada undakan kecil dekat pagar tanaman yang ada di sepanjang jalan itu. “Kayak anak ilang aja."
"Pegel gue berdiri terus," jawab Tita lesu sambil tetap duduk tanpa berniat untuk bangun dan menghampiri motor Gin.
Sejak meninggalkan kantor Kaivan siang tadi, Tita berjalan kaki menyusuri jalan-jalan area perkantoran dengan perasaan tidak karuan. Sejujurnya Tita sedih. Meski tampilannya selalu ceria dan santai, bukan berarti seorang Tita tidak punya perasaan. Ia hanya gadis biasa yang juga bisa sedih ketika harga dirinya terluka dan diinjak-injak. Tuduhan Vina bahwa dirinya merusak rencana pernikahan mereka yang disuarakan di depan umum seperti tadi membuat harga diri Tita terluka, tapi dia tidak akan mengizinkan siapa-siapa mengetahuinya. Rasa sedihnya cukup untuk dirinya sendiri saja.
Gin mengamati wajah sahabatnya dengan perasaan curiga. "Lo nunggu di sini dari tadi?"
Tita mengangguk kecil. "Dari pas gue minta jemput."
Siang tadi, setelah berjalan tanpa arah untuk menenangkan diri, Tita memutuskan untuk kembali ke apartemen saja. Sudah tidak ada seleranya untuk bekerja. Kebetulan juga sedang tidak ada janji temu dengan siapa-siapa hari itu. Namun, ada kendala yang membuatnya terpaksa menghubungi Gin untuk meminta pertolongan.
Alih-alih Tita yang bangun, malah Gin yang turun dan menghampiri gadis itu lalu berjongkok di depannya. "Salah sendiri nunggu di pinggir jalan. Kan gue udah bilang rada lama, ada kerjaan dulu. Bukannya nunggu di tempat makan sambil duduk. Lagian tumben lo minta gue jemput hari biasa gini."
"Gue nggak punya duit Gin. Kalo ada duit, gue enggak akan minta jemput. Daripada duitnya buat beli makan sambil nunggu lo, mending gue pake buat ongkos pulang."
"Lo beneran enggak ada duit?" Gin mendelik terkejut. Pasalnya Tita tidak mengatakan alasan dirinya meminta dijemput tadi.
"Heeh."
"Kok, bisa?"
"Dompet gue ketinggalan di Luminous."
"Lo kan bisa panggil ojol. Bayar pake saldo," ujar Gin gemas.
"Saldonya tinggal tiga rebu, mana cukup nyampe Orchid."
"Top-up kan bisa," sahut Gin mulai jengkel.
"Tanggal tua gini mana ada saldo di rekening gue, Gin."
"Duh, Sha!” Gin menggeleng sambil mengembuskan napas kencang. “Nasib lo gimana kalo enggak ada gue coba?"
"Makanya gue minta jemput," ujar Tita lirih.
"Udah, udah, jangan nangis. Ayo, pulang!" Seketika Gin panik saat melihat mata Tita mulai berkaca-kaca. Cepat-cepat ia berdiri dan menarik Tita agar ikut bangkit bersamanya. Ditariknya tangan gadis itu menuju motor. "Jaket lo mana?"
"Gue enggak bawa."
Gin tidak berkomentar. Ia hanya diam sambil membuka bagasi motor lalu menyodorkan sesuatu ke tangan Tita. "Nih, pake!"
Tita yang sedang lesu dan sedih langsung berkedip bodoh melihat benda di tangannya. "Jas ujan?"
Jangan bayangkan Gin akan bersikap gentle dengan memberikan jaketnya sendiri untuk Tita seperti yang pernah Alby lakukan. Gin bukanlah tipe lelaki manis seperti itu.
"Daripada lo kedinginan?" balas Gin cuek.
"Tapi-" Tita mencoba protes, tapi langsung dihentikan oleh Gin.
"Cepetan!" Gin mengambil kembali jas hujan yang sudah Tita pegang lalu mengentaknya sekali hingga terbuka. Dipaksanya Tita memakai jas hujan itu dengan tidak sabar. Setelah yakin Tita mengenakannya dengan benar, Gin meraih helm dan menyerahkannya pada gadis itu. "Nih, pake!"
Tita tidak berkomentar apa-apa lagi. Kalau sedang seperti ini, Gin bisa jadi sangat galak dan sedikit banyak membuat Tita gentar juga. Gin sendiri langsung naik ke atas motor dan menunggu Tita. "Udah?"
Tita mengangguk kecil.
Gin mengedik ke arah belakang. "Naek sini!"
Dalam perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hening. Gin semakin yakin ada yang salah dengan Tita. Gadis yang biasanya cerewet luar biasa ini mendadak begitu pendiam.
"Lo ngantuk?" tanya Gin saat merasakan kepala Tita beberapa kali terantuk ke depan.
"Hm."
"Tidur aja, gue pegangin." Selesai mengatakan itu, Gin langsung menyatukan tangan Tita yang melingkari pinggangnya, kemudian memeganginya.
Begitu mendapat izin dari Gin, tanpa sungkan Tita langsung menyandarkan kepala di punggung Gin.
"Gin …," bisik Tita setelah beberapa waktu.
"Belom tidur lo?"
"Jas ujan lo apek, bikin ngantuk gue bantet," keluh Tita. "Gue lebih suka bau jaket lo. Tapi ini jadi enggak fokus antara bau jaket lo sama bau jas ujan."
"Lo hobi banget sih sama bau-bauan," gerutu Gin. Sejak dulu ia tidak mengerti mengapa Tita selalu tergila-gila pada aroma khas lelaki, terutama dirinya. Menurut Tita, aroma tubuh Gin sangat menyenangkan, membuatnya merasa tenang hingga kecanduan.
"Enggak semua bau gue suka kok, tertentu aja."
"Serah lo aja dah!" sahut Gin. "Lo abis ketemu klien?"
"Mantan klien," gumam Tita malas. "Batal nikah."
"Yang lo dikira nikung calon pengantin cowok?"
"Hooh. Gue diteriakin pelakor sama tu cewek." Setiap teringat kejadian itu, rasanya tidak karuan.
"Lo ngapain ketemu dia?"
"Enggak sengaja. Ketemu di kantor si cowok."
"Ngapain lo ketemu yang cowok?"
"Gue pengin tau kenapa dia bawa-bawa nama gue."
"Terus?"
"Ternyata karena dia nggak mau nikahin ceweknya. Mereka dijodohin."
"Sekarang udah beres?" Gin tidak peduli urusan mereka, baginya yang penting Tita tidak terseret lebih jauh.
"Enggak tau juga. Semoga aja udah deh."
Obrolan mereka terus berlanjut hingga Gin menepikan motornya.
"Sha …,” panggil Gin sambil menepuk tangan Tita yang masih melingkari pinggangnya.
"Hm?"
"Turun."
"Hah?" Disuruh turun Tita malah celingukan.
"Ayo, turun! Ntar lo jatoh kalo gue tinggal," desak Gin tidak sabar.
"Mau ngapain, sih?" Meski malas, Tita turun juga.
"Beli makan."
"Buat lo?"
"Mungkin gitu buat Cokodot?" sindir Gin sambil menggeleng heran.
"Gue tunggu sini aja."
"Masuk aja! Ntar lo digondol orang gue yang repot ngejar-ngejar." Gin menyambar pergelangan tangan Tita dan menyeretnya masuk ke warung makan ayam geprek langganan mereka.
"Lo kira gue barang maen digondol aja!" Tita mendengkus sebal.
"Bawel!" omel Gin.
Mereka tidak perlu menunggu lama karena pesanan Gin langsung siap hanya dalam waktu sekitar lima menit. Gin memang sudah memesan lebih dulu, jadi mereka tinggal mengambil saja. Maklum, sudah langganan. Jaraknya yang dekat dengan Orchid Land, juga harga yang terjangkau, serta rasa yang nikmat membuat Gin dan Tita sering sekali membeli makanan di sana.
***
"Mandi sana!" Tiba di apartemen, Gin langsung menggebah Tita ke arah kamar mandi.
"Lo?"
"Lo dulu."
"Lo enggak mandi?"
"Mau mandi bareng gue?" goda Gin.
"Gila lo!" omel Tita. Tangannya refleks memukul lengan Gin.
Gin tergelak kencang. "Makanya sana!"
"Tapi kan lo paling enggak betah abis dari luar enggak langsung mandi."
"Makanya cepetan!” sahut Gin jengkel sambil tidak lupa berpesan. “Enggak usah cukuran ketek sama betis dulu, enggak usah luluran, enggak usah maskeran rambut."
"Kapan gue kayak gitu, Gin?!" Tita mendelik tanda protes.
"Pas SMA kayaknya."
Tita melotot tajam pada Gin. Perasaan malu dan jengkel berpadu sekaligus. Tita memang pernah berada pada fase menggelikan itu.
Mereka telah saling mengenal sangat lama, dari sejak SMP tepatnya. Mereka tumbuh bersama dengan saling mengetahui perubahan yang terjadi pada satu sama lain. Momen menstruasi pertama Tita, momen mimpi basah pertama Gin, momen keduanya mendapatkan jerawat pertama, momen pertumbuhan bulu di berbagai bagian tubuh yang berakhir cukur-cukuran, momen jatuh cinta pertama Tita hingga yang ke-31 kalinya, momen jatuh cinta Gin yang hanya sekali lalu patah hati mendalam karena gadis pujaannya pergi ke lain benua hingga selanjutnya pemuda itu pacaran tanpa hati, dan masih banyak momen-momen lainnya.
"Cepetan! Udah malem, Sha!" Gin kembali menggebah Tita.
Selama Tita mandi, Gin dengan setia menunggu di depan kamar mandi sambil memburu gadis itu agar cepat selesai. Hanya dalam waktu sepuluh menit, Tita sudah keluar dari kamar mandi dengan bathrobe terikat asal dan rambut panjangnya yang terurai basah, juga pastinya wajah sebal karena gangguan Gin.
"Keringin tuh rambut, awas aja sampe minta gue kerokin lagi!" omel Gin sebelum masuk ke kamar mandi. “Kebiasaan banget enggak pernah bawa handuk ke kamar mandi, keramas seenaknya, rambut dibiarin basah sampe tidur.”
"Lo berisik amat sih, Gin?" sahut Tita heran.
Bukannya mengindahkan protes Tita, Gin malah menambah wejangannya. "Abis itu langsung makan."
"Kesambet apa dia hari ini?" gumam Tita sambil berlalu ke kamarnya untuk berpakaian.
Selesai berpakaian, Tita menghabiskan waktu bersantai di depan televisi. Sedang asik-asiknya melihat cowok ganteng menyanyi di salah satu ajang pencarian bakat, Tita menjerit ketika merasakan nyeri di puncak kepalanya.
"Aw! Apaan sih dateng-dateng main jitak aja?!"
Gin mengempaskan bokongnya di sebelah Tita. Bukan takut dengan pelototan Tita, Gin malah menunjukkan sikap lebih galak lagi. "Udah gue bilang langsung makan. Ini bukannya makan malah nonton!"
"Makan apaan, Ginjiro?!" sahut Tita sewot. "Stok makanan gue abis. Duit yang tinggal segitu-gitunya ketinggalan di Luminous."
"Tadi kan gue beli makan, Sha!" balas Gin jengkel.
"Ya, itu kan buat lo!"
Gin menjewer telinga Tita dan menggoyangnya ke kiri dan kanan. "Lo enggak liat itu ada dua bungkus?"
"Kan lo gentong, Gin. Satu enggak kenyang."
"Bawel lo, ah! Cepetan makan!" Gin memajukan duduknya lalu menyambar dua dus makanan yang tadi ia simpan di atas meja tamu. Begitu Gin membuka dus makanan, aroma gurih bercampur pedas dari ayam geprek langsung menguar, membuat Tita tergiur.
Tita refleks ikut memajukan duduknya dan mengintip ke dalam dus makanan dari balik bahu Gin. "Lo makan juga?"
"Hm."
Tita memiringkan kepalanya, bergelayut di tangan Gin, kemudian nyengir lebar.
"Ngapain lo cengar-cengir?"
"Suapin," pinta Tita manja.
"Pacar gue aja enggak pernah minta disuapin, Sha," gerutu Gin.
"Emang lo lagi ada pacar?"
"Enggak sih."
"Makanya suapin gue. Nanti kalo lo jadian lagi, gue enggak bisa bebas ngejajah."
"Maksud?"
"Kayak waktu lo jadian sama si Vero." Tita langsung teringat pada pacar terakhir Gin sebelum ini.
"Emang kenapa sama dia?"
"Dia kan cemburuan banget. Tiap lagi di sini, liat gue nongol, matanya langsung melotot. Pas lo meleng dikit, dia langsung ngusir gue jauh-jauh."
Gin hanya tertawa.
"Malah pernah dia kasih gue duit buat kos cari kos, saking enggak pengin gue numpang di sini."
"Gue tau," ujar Gin sambil mulai menyuapkan makanan ke mulut Tita.
Mata Tita langsung membelalak. "Lo tau?"
"Hm." Gin mengangguk santai.
"Serius lo tau?" Tita mengguncang lengan Gin.
“Awas tumpah, Sha!” tegur Gin.
“Ayo, jawab! Lo beneran tau?” desak Tita.
"Makanya gue udahan sama dia," jawab Gin enteng.
Hampir saja Tita tersedak. "Lo udahan sama Vero gara-gara gue?"
Gin menaikturunkan alisnya sebagai jawaban.
"Kok, lo b**o sih, Gin?" protes Tita terkejut.
"Kenapa lo malah ngatain gue b**o?" sahut Gin tidak terima.
"Ya, masa lo putusin dia gara-gara gue!"
"Sha, gue baru kenal dia empat bulan. Jadian dua bulan, terus dia ngerasa udah bisa ngatur idup gue? Sori sori aja, gue enggak butuh cewek kayak gitu. Gue mau cewek yang bisa ngerti pilihan gue, hargain keputusan gue, dan bisa terima lo yang kayak lintah ini. Gue kenal lo udah belasan taon, kalo dia yang baru dateng enggak bisa hargain lo, malah mau sok nguasain gue, sori sori, mending ngegelinding aja sono."
Jawaban Gin yang diutarakan dengan cara serampangan dan tidak ada manis-manisnya itu toh ternyata mampu membuat Tita nyaris menangis. Air matanya sudah siap meluncur turun. "Gue enggak nyangka lo sesayang ini sama gue, Gin."
Gin tersenyum jail. "Bukan sayang sih, tepatnya gue kasian sama lo yang idupnya apes terus."
"Sial lo!" gerutu Tita. Hilang sudah keinginannya untuk menangis.
***
Keduanya terus menghabiskan waktu dengan saling debat dan bertukar ejekan sambil menikmati makan malam bersama. Hingga jauh malam, keduanya masih duduk bersama di depan televisi, menyaksikan acara ajang pencarian bakat yang bisa selesai lewat tengah malam itu.
"Ngantuk lo, Sha?" tegur Gin saat menyadari Tita semakin sedikit bicara. Kalau tadi gadis itu gencar sekali melontarkan komentar, bahkan lebih-lebih dari para juri mengomentari kontestan, kini gadis itu hanya diam. Berbaring di sofa dengan mata merem melek dan perut buncit, bak kucing gendut yang kekenyangan.
"Dikit," aku Tita.
"Tidur sana!" usir Gin.
"Ntar lagi, masih mau nonton."
"Sha …," tegur Gin tidak lama berselang.
"Hm?" sahut Tita malas.
"Kaki,” ujar Gin.
Tita yang tidak paham maksud Gin hanya diam saja.
"Sha, kaki lo!" tegur Gin lebih keras.
"Apa, sih?!" protes Tita.
"Kaki lo di p****t gue dari tadi!" ujar Gin jengkel.
Paham maksud Gin, Tita malah tersenyum tanpa rasa bersalah. Memang sejak tadi ia berbaring lurus di sofa dengan posisi kaki diselipkan di belakang tubuh Gin. "Pegel gue tadi bediri lama, pengin lonjoran."
Hebatnya lagi, bukannya menekuk kakinya agar tidak lagi mengganggu Gin, Tita malah sengaja mengangkatnya dan menumpangkannya di atas paha sang sahabat. Kini Tita bisa berselonjor dengan sempurna.
"Di kamar sana!"
"Enggak mau," bantah Tita.
"Bebal!" Meski mulut Gin pedas mengomeli Tita, tapi sebelah tangannya malah bergerak memijat telapak kaki gadis itu.
"Lo lagi ngapain sih?" Saat jeda iklan, Tita merasa tertarik untuk mengusili Gin. Sahabatnya itu terlihat sibuk terus dengan ponselnya. "Serius amat."
"Ngurusin kerjaan."
"Ada proyek baru?"
"Hm."
"Sama siapa?" tanya Tita tertarik.
"Orang baru."
"Cewek?" Tita menggelitik perut Gin dengan jempol kakinya.
Gin menoleh ke arah Tita lalu menaikturunkan alisnya sambil tersenyum menyebalkan. "Yoyoy."
"Masih muda?" Tita semakin penasaran.
"Yoyoy."
"Umur berapa?"
"Kepo lo!"
"Gin, ih!" desak Tita.
"20."
"Wih! Cocok tuh!"
"Cocok apaan?"
"Cocok jadi pasangan."
"Hubungannya apa?"
"Kan beda 8 taon sama lo. Kata orang tua, bagus tuh. Kelipatan 4."
"Gue juga tau 8 itu kelipatan 4. Terus apa urusannya?"
"Kaki empat tuh kayak kaki meja. Kokoh."
"Rumusan apa lagi sih, Sha?" dengkus Gin malas. Menanggapi celoteh Tita seringkali membuat Gin terjebak pada mitos-mitos konyol.
"Ih! Itu petuah orang tua tau!"
"Jadi kalo beda setaun kayak kita gini nggak bagus gitu?"
"Banget! Bukan enggak bagus lagi tapi ancur, Gin. Parah."
"Karena?"
"Ya bayangin aja. Kaki meja mestinya empat ini cuma satu. Tumbanglah mejanya."
"Heh, kalo mejanya emang model kaki satu mau apa lo?" tantang Gin.
"Emang ada?" tanya Tita polos.
"Ada lah!"
"Meja apaan kakinya satu?"
"Lo nggak percaya?"
Tita menggeleng.
"Nengok ke kanan!" seru Gin dongkol sambil menunjuk meja lingkaran di dekat Tita.
"Hm?"
"Itu meja kakinya berapa?"
"Satu."
"Jadi?"
"Eh? Iya bener!” Setelah beberapa saat barulah Tita tersadar. Ia segera bangkit berdiri lalu berpindah ke atas meja kecil mungil itu. Menjajal duduk di sana sambil bergoyang heboh. “Ini kaki satu tapi kuat banget!"
"Ya enggak usah lo dudukin juga kali, Sha!" seru Gin.
***
Lewat tengah malam Gin menangkap sinyal-sinyal Tita yang semakin melemah. Gadis itu kini sudah berbaring sempurna di atas sofa, sementara Gin mengalah dan pindah ke lantai sejak beberapa waktu lalu. Pemuda itu duduk bersandar ke sofa yang Tita tempati dengan kaki diselonjorkan. Perlahan Gin menoleh ke belakang dan mendapati mata Tita sudah terpejam. Ditepuknya pelan pipi Tita untuk membangunkannya. "Sha, pindah ke kamar!"
"Nanti," gumam Tita enggan.
"Sha …," tegur Gin.
"Males," sahut Tita tidak jelas.
"Ntar lo ketiduran di sini."
"Biarin. Jangan pindahin ya."
Gin menggeleng. Tita kalau sudah mengantuk memang jadi seperti ini. Menyusahkan.
"Sha …?" panggil Gin lagi. Ia masih berusaha membujuk Tita agar pindah ke kamarnya. Namun, tidak ada lagi tanggapan. Gadis itu benar-benar sudah terlelap indah sekarang.
"Emang paling-paling ini anak satu." Gin bangkit berdiri menuju kamarnya sendiri, menyambar selimut coklat tua milik pemuda itu yang sangat digilai oleh Tita. Gin membentangkan selimutnya untuk menutupi tubuh Tita. Kenapa harus selimut milik Gin? Ingat kalau Tita sangat menggilai aroma tubuh Gin? Itulah alasannya.
Saat tengah sedih dan gundah, Tita paling senang tidur di kamar Gin, memakai selimut milik Gin, dan berbaring di dekat Gin. Niscaya tidurnya pasti akan lelap. Dan malam ini, Gin tahu Tita sedang bersedih meski gadis itu tidak menceritakannya. Maka, inilah yang bisa Gin lakukan. Membungkus Tita dengan selimutnya, membiarkan gadis itu terlelap ditemani aroma tubuhnya. Gin sendiri memilih menggelar kasur lipat di sebelah sofa dan berbaring di dekat Tita. Selain untuk menemaninya, Gin juga perlu memastikan Tita tidak akan jatuh terguling dari sofa.
"Awas lo bangun tengah malem, Sha. Tidur baik-baik sampe pagi, oke?" Demikianlah pesan Gin sebelum ia sendiri menyusul Tita ke alam mimpi.