15. Andai Bisa Jadi Cokodot

1749 Kata
"EUSLEUM!" teriak Tita begitu membuka pintu dan hendak keluar dari apartemen. Di hadapannya, berdiri sesosok pria tampan yang pernah ia sangka sebagai pengantar Bakmi GM. "Selamat pagi, Bu!" sapa Dirga sopan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali meski sebenarnya ia terkejut juga diteriaki oleh Tita. Namun, demi harga diri dan kehormatannya sebagai seorang general manager, Dirga Anggasta harus bersikap profesional. "Aduh, Pak bikin jantungan aja!" Titanya membungkuk karena lututnya lemas sambil memegangi dadanya yang berdebar tidak karuan. Bukan karena Tita merasakan sesuatu untuk Dirga, sama sekali tidak. Dia hanya jantungan setengah mati. "Bapak kenapa diam kayak patung gini di depan pintu orang? Lagi  lewat apa emang mau ke sini?" "Saya mau ke sini," jawab Dirga tenang. "Baru dateng, Pak?" "Sudah cukup lama." "Kenapa enggak ngebel, Pak?" Ditanya demikian, ada sekelebat ekspresi jengkel mampir di wajah Dirga. Benar-benar hanya sekilas saja karena setelahnya wajah Dirga kembali tenang. "Sudah saya tekan belnya sejak 20 menit yang lalu." "Masa sih, Pak?” sontak Tita terkejut. Selama itu dan ia juga Gin tidak mendengar apa-apa? “Kok, saya enggak dengar apa-apa, ya?" "Seharusnya saya yang bertanya begitu," sindir Dirga penuh senyum. “Kayaknya eror, atau emang semalam dimatiin sama temen saya belnya," ujar Tita sedikit memberi pencerahan pada Dirga yang sebetulnya tidak perlu itu. “Tapi Bapak 20 menit pencetin bel enggak pegel apa, Pak?" "Ini pekerjaan saya," sahut Dirga penuh wibawa. "Kerjaan Bapak pencetin bel?" Langsung saja darah di tubuh Dirga seolah berkumpul di puncak kepala. Heran! Berhadapan dengan Tita selalu memancing emosi Dirga yang biasanya jarang muncul ke permukaan. Dirga ini selalu dikenal sebagai orang dengan penguasaan diri sangat baik, tapi entah mengapa dua kali bertemu Tita, dua kali juga emosinya langsung tersulut, bahkan baru di pembukaan kalimat saja jengkel sudah terasa pekat.  Hal terbaik yang bisa Dirga lakukan adalah memejamkan mata erat-erat selama tiga detik, mengambil napas dalam, kemudian membuka mata sambil mengembuskan napas perlahan. "Bukan, Bu. Saya ada urusan dengan Ibu, karena itu saya ke sini untuk menemui Ibu." "Urusan apa ya, Pak?" "Balkon.” Lebih baik langsung ke inti daripada berbelit-belit dengan gadis menjengkelkan macam Tita. “Seperti yang sudah saya sampaikan beberapa waktu lalu." "Ah! Iya inget-inget! Bapak ini yang Pak GE-EM kan ya?" Ingat! Diucapkan dengan lafal ge-em, bukan ji-em. "Benar." Setidaknya Dirga bersyukur gadis ini mengingatnya. Kalau dia harus memperkenalkan diri lagi dari awal dan menjelaskan duduk perkaranya, bisa semaput Dirga. "Jadi Bapak dari tadi pencetin bel mau ketemu saya gitu?" "Iya." "Gigih juga si Bapak." Tita terkekeh pelan. "Ketemu saya mau apa, Pak?" "Saya mau kasih surat." "Aduh, Pak! Buat apa? Kan ngomong langsung bisa." "Hal ini harus disampaikan lewat surat, Bu." Seketika wajah Tita merona dan ia tersipu-sipu. "Aih, enggak nyangka si Bapak kaku-kaku gini ternyata romantis juga." "Maksud Ibu?" Dirga mengernyit bingung. "Jaman sekarang udah jarang loh cowok yang suka kasih surat, Pak. Tapi maaf ya, Pak. Saya enggak bisa terima suratnya. Saya takut terbeban." Ada perasaan tersanjung juga bahagia yang Tita rasakan mendengar Dirga ingin memberinya surat. Dirga mengulurkan sebuah amplop berwarna gading yang sejak tadi ia pegangi. "Bu, Ibu harus terima dan harus baca suratnya, supaya masalah ini jadi jelas." "Pak, maaf.” Tita mendorong kembali surat yang Dirga berikan sambil menggeleng penuh sesal. “Saya ini baru patah hati. Saya masih belum siap buat buka diri." "Sha!" panggil Gin dari dalam. "Uy?!" balas Tita kencang. Gin menghampiri sambil menatap heran. "Lo masih di sini juga?" "Heeh." "Enggak jadi berangkat?" "Ini ada yang cegat gue." Tita mengatakannya sambil menunjuk terang-terangan pada Dirga. "Siapa?" Gin bertanya tanpa merasa perlu melihat lawan bicara Tita. "Bapak GE-EM yang waktu itu,” ujar Tita menjelaskan, kemudian dilanjut dengan kedipan kecil dan bisikan halus. “Mau anter surat." Gin langsung mengangguk paham. Ia ingat pada Bapak Bakmi GM. "Oh, sekarang jadi tukang anter surat, Pak? Pindah ke mana? TIKI-tikkitik? JN-Ehkemanaaja? J&Terobosterus? Pos Indomitelorkornet?" "BUKAN!" seru Dirga tiba-tiba. Sedikit terlalu kencang dan disertai aroma kedongkolan yang membuat lawan bicaranya langsung bergidik. "Eh, kenapa teriak, Pak?" tanya Tita kaget. Untung saja dia tidak sampai latah. "Saya bukan alih profesi jadi pengantar paket!" ujar Dirga kesal. Harga dirinya terluka. Dulu disangka tukang antar bakmi, sekarang dikira pengantar paket. Apa sepasang manusia ini buta atau cacat otak? Bisa-bisanya abai akan penampilan berkelas Dirga dan malah menduganya sebagai kacung. "Emang bukan. Kan yang Bapak anter surat," sahut Gin santai. "SAYA ANTAR SURAT DARI MANAJEMEN ORCHID LAND!" Kembali Dirga berseru. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. "EUSLEUM!" Mendengar suara menggelegar Dirga, latah Tita menjadi. Dan seorang Gin tetap selow seolah melow. "Ooo …, anter surat dari manajemen. Buat apa, Pak?" Dirga sampai harus mengatur napasnya yang memburu sebelum bisa menjawab pertanyaan Gin. "Ini surat peringatan terkait pelanggaran aturan pemanfaatan area balkon." Sejujurnya Dirga malu. Tidak seharusnya ia terbawa emosi begini, tapi mau bagaimana lagi? Dua manusia ini bukankah benar-benar terlalu? Tita mendekat ke arah Gin dan menarik pundak sahabatnya agar mendekat. Tita berujar di telinga Gin, maksudnya berbisik. Sayang, suaranya terlalu keras untuk ukuran bisik-bisik. "Tadinya kirain dia kirim surat cinta ke gue, ternyata surat peringatan dong!” "Ngaco aja, lo! Mana mungkin dia kirim surat cinta sama lo!" Dan Gin yang jauh dari peka membalas ‘bisikan’ Tita dengan suara segede toa. "Iya juga ya. Kenal aja kaga." Tita terkekeh malu. "Otak lo kaga beres, sih!" omel Gin sambil menyentil kening Tita. Sentilan di kening Tita balas dengan geplakan di bahu. "Lo juga sama aja ngaconya, bisa-bisanya ngirain dia ini tukang anter paket!" "Otak gue kan kalo pagi belom konek bener." Itulah pembelaan diri seorang Ginjiro Hayashi yang sebenarnya mau pagi siang petang malam sama saja ngawurnya. "Ehem, permisi!" Dirga berdeham untuk menarik perhatian kedua manusia ajaib di hadapannya. "Bisa lanjutkan bergunjingnya nanti?" "Enggak bisa, Pak. Kata ibu saya, ngomongin orang tuh dosa kalo di belakangnya, harus di depan orangnya langsung," jawab Tita dengan wajah serius. Sudahlah! Tamatlah Dirga! Emosinya kembali tersulut. Kepalanya kembali cenut-cenut. "Saya tidak peduli urusan dosa kalian, saya hanya ingin mengingatkan, kalau Ibu masih melanggar aturan dengan menjemur pakaian di balkon, kami akan melayangkan surat peringatan kedua." "Kalo masih dilanggar lagi?" tanya Gin dengan nada menyebalkan. Entah menantang, entah menggoda. "Kami akan tindak langsung." "Tindak gimana?" tanya Gin lagi. "Ada denda yang harus dibayar." Hal ini sebenarnya belum dirundingkan. Tercetus begitu saja dari mulut Dirga karena dia jengkel seampun-ampun. Mendengar kata denda, Tita meneguk ludahnya sudah payah. "Jumlahnya?"  "Nominalnya setara dengan satu bulan biaya maintenance." Ini pun karangan Dirga semata. Toh pikirnya kalau manusia normal pasti langsung takut dan mematuhi aturan. Denda yang ia bualkan tidak akan sampai terjadi. "HASHYEM!" umpat Gin sambil menggosok hidungnya. Aslinya Gin mau bilang ASEM, tapi sengaja ia samarkan. "Gin, itu lebih gede dari biaya makan gue sebulan!" Tita langsung menjerit panik tepat di telinga Gin. Gin menggosok telinganya yang linu mendengar jeritan cempreng Tita. "Enggak ada jalan damai, Pak?" "Jalan damainya mudah. Berhenti menjemur pakaian di balkon," tandas Dirga. "Pak, Bapak ini kurang kerjaan apa gimana sih, Pak?!” Seketika emosi Tita meninggi. “Apa Bapak enggak punya kerjaan lain yang lebih penting buat diurus? Saya kira orang sekelas GE-EM itu kerjaannya banyak loh. Sibuk loh. Tapi kok sempet-sempetnya ngeliatain ratusan balkon apa malah ribuan balkon tiap harinya? Bapak ini enggak capek apa? Enggak jereng apa? Mending Bapak urusin yang lain aja deh daripada ngurusin tempat saya jemur BH sama CD. Atau jangan-jangan Bapak terobsesi sama-" "Sha!" seru Gin menegur Tita sambil dengan sigap membekap mulut sahabatnya yang terlihat sudah tidak bisa dikontrol itu. "Hmp!" Tita memukuli tangan Gin yang membekapnya sebagai bentuk protes minta dilepaskan.  Namun, Gin bertahan. Bukan saja membekap Tita, kini Gin memeluk pinggang gadis itu dan mulai menyeretnya ke dalam. Setelah yakin Tita tidak akan terhajar pintu, Gin tersenyum cepat pada Dirga. "Pak, biar saya yang urus. Silakan lanjutkan pekerjaan Bapak. Selamat pagi!" BLAM! Pintu langsung terbanting menutup sebelum Dirga sempat menyahut. Setelah yakin aman, barulah Gin melepaskan Tita. "Kenapa, sih?" protes Tita kesal.  "Itu orang udah mau meledak denger ocehan lo, Sha! Mukanya udah mejikuhibiniu. Daripada lo kena damprat balik, mending stop!" "Waduh! Masa sih? Seriusan?" tanya Tita terkejut. Maklum saja, saat mulutnya merapal begitu cepat, matanya jadi kehilangan fungsi.  "Kalo udah ngomong lo suka buta, sih!" omel Gin sambil mengacak rambut Tita, membuat cepol gadis itu berantakan. "Kita bakal kena masalah enggak, Gin?" Tiba-tiba saja Tita merasa cemas. "Mana gue tau!" sahut Gin cuek. "Lagian lo sih kalo udah nyerocos enggak pake mikir lagi. Enggak disaring lagi. Asal jeplak aja itu mulut." "Abis gue senewen! Ngapain coba orang penting kayak dia ngurusin urusan yang enggak penting?" "Lo juga ngeyel sih! Udah dibilang jangan jemur di luar lagi, masih aja dilakuin!" "Abis gue mesti jemur di mana kalo enggak?" "Dih! Nanya gue?" "Iyalah, abis tanya siapa lagi?" "Mana gue tau! Bukan urusan gue kali, Sha!" "Ih, urusan lo dong!" "Kenapa juga daleman lo jadi urusan gue?" sahut Gin tidak terima. “Nikmatin isinya aja enggak pernah. Nyicip dikit aja enggak.” “GINJIRO!” jerit Tita sebal sambil menghajar punggung Gin berkali-kali. Setelah kelabakan menangkis pukulan Tita, Gin mencekal kedua pergelangan tangan gadis itu. “Salah gue apa coba? Gue ngomong kenyataan, kan?” “Tau, ah!” sahut Tita sebal. "Coba lo tinggalnya di apartemen biasa, bukan yang elit kayak gini. Kalo enggak di rumah susun gitu. Enggak bakalan ribet gini kan! Malah lebih bagus lagi tinggal di rumah biasa, yang halamannya luas." "Lah? Jadi gue lagi yang salah? Bapak lo bukan, laki lo bukan, pacar aja bukan, Sha!" protes Gin. Hanya butuh sekitar dua detik untuk membuat lelehan air di wajah Tita membanjir. "Yah, kok lo nangis, sih?" Cepat-cepat dilepasnya cekalan di tangan Tita lalu berpindah memegangi pipi gadis itu. Bukannya berhenti menangis, Tita malah jadi tersedu. "Gue keterlaluan ya?" ujar Gin menyesal. "Sori deh, gue enggak bakal ledekin lo lagi, oke?" "Gue bukan sedih gara-gara lo ledekin," sahut Tita sambil tersedu. "Terus gara-gara apa?" "Cuma tiba-tiba aja gue mikir, andai gue ini ….”  "Hm?" Gin menunggu kelanjutan kata-kata Tita. "Coba aja misalnya gue …," ujarnya kembali menggantung. "Lo apa? Lo jadi pacar gue gitu?" tebak Gin asal. "Bukan!" bantah Tita tidak terima. "Terus apa?" desak Gin penasaran. "Coba aja gue ini Cokodot." "Hah?" Seketika wajah Gin berubah bodoh. "Kalo gue jadi Cokodot, lo kan bakal jadi pemilik gue. Otomatis lo bakal tanggung jawab sama keberlangsungan idup gue," ujar Tita sedih, tangisnya semakin menjadi saja. Entah harus kasihan atau tergelak, Gin bingung. Akhirnya, yang bisa Gin lakukan hanya meraih tubuh Tita mendekat dan memeluk sahabat ajaibnya ini erat-erat. "Sha, kenapa otak lo enggak pernah beres sih!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN